Kaskus

Entertainment

dekrit737Avatar border
TS
dekrit737
Menelisik Jejak Pengkabaran Injil di Mowewe

-Petrus Wongga Pertama Dibaptis, Sebarkan Kesehatan dan Pendidikan Modern

Puncak peringatan 100 tahun Injil masuk Sultra akan dilaksanakan di Kecamatan Mowewe, Koltim, 13 Februari 2016. Adalah pria berkebangsaan Belanda bernama DS. Hendrik Van Der Klift pertama kali membawa misi pengkabaran Injil di Mowewe, Sultra tahun 1915, termasuk pelayanan kesehatan dan pendidikan modern. Pembaptisan pertama pun dilakukan di daerah lembah itu terhadap seorang pria bernama Petrus Wongga.

Mowewe merupakan titik awal penyebaran Injil di Sultra yang dipelopori pria berkebangsaan Belanda bernama Ds. Hendrik Van Der Klift dalam misinya pertama kali ke Kolaka tahun 1915 silam. Jejak pekabaran Injil yang dibawa Ds. Hendrik Van Der Klift masih berbekas di sana seperti klinik kesehatan, bak mandi, pondasi sekolah. Namun situs-situs yang berada di sekitar Gereja Protestan Jemaat Matahilo ini tidak begitu terawat dan belum mendapat perhatian dari pemerintah. Adapula pohon jati tertua yang diprediksi berusia 98 tahun. Jati itu dipercaya sebagai jejak datangnya pria berkebangsaan Belanda, olehnya itu tidak dijual atau ditebang.

Bahkan tersiar kabar, bila beberapa warga Mowewe berangkat ke Belanda dan Jerman secara cuma-cuma hanya dengan mengabadikan gamabar pohon jati itu yang kemudian dibawah ke Belanda. Biaya keberangkatan mereka sepenuhnya ditanggung pemerintah Belanda dan Jerman. Keberangkatan mereka berdasarkan perintah pemerintah Jerman dan Belanda untuk mengabadikan gambar pohon Jati sebagai bukti peninggalan Van Der Klift.

“Diperkirakan lebih dari lima orang yang berangkat ke Jerman dan Belanda hanya dengan bermodalkan memotret pohon jati sebagai bekas peninggalan Hendrik Van Der Klift yang membawa misi pengkabaran Injil di Mowewe,” ujar warga Mowewe, Dekri Adriadi saat ditemui, kemarin (11/2).

Kata dia, jati tersebut pernah ditawar oleh warga asal Jepara untuk dijadikan furniture. Namun majelis umat kristiani menolak untuk menjual jati tersebut dengan alasan pohon tersebut adalah situs sejarah yang membuktikan adanya pengkabaran Injil di Mowewe.

Hingga kini pohon jati tersebut masih berdiri kokoh di pelataran Gereja Protestan Jemaat Matahilo. “Para jemaat tidak pernah bernisiatif untuk menebang pohon tersebut. Mereka hanya memangkas dahan jati tersebut. Adapula inisiatif pemerintah untuk menebang jati itu karena menanam tiang listrik. Tapi ditolak oleh jemaat, lalu tiang listrik itu dipindahkan tempat lain agar tidak mengganggu jati tersebut,” ujar pria alumni jurusan Sastra FKIP USN itu.

Di sana, terdapat pula bekas bak mandi dengan ukuran 11 x 12 meter peningalan Ven Der Klift yang terletak dekat dengan rumahnya. Sayangnya, bak mandi itu tidak begitu terawat, tidak dimusnahkan pula. Pondasi dan Lantai kediaman Van Der Klift tidak bisa dimusnahkan. Sebab sebagian material bangunan rumah Van Der Klift didatangkan dari Belanda. Dari negri kincir angin, kata Dekri sebagian material bangunan, seperti besi dan semen dibawa ke Mowewe untuk mendirikan rumah dan bangunan lainnya. Jarak bekas rumah Van Der Klift dengan Gereja Matahilo sekitar 50 meter.

Selain itu, ada juga 50 bongkahan batu yang dipercaya sebagai bekas slof alias dudukan tiang gedung sekolah yang didirikan Van Der Klift. Bongkahan batu tersebut berbentuk huruf L, letaknya dibagian kiri gereja. Adanya bongkahan batu yang dipercaya sebagai bekas gedung sekolah, warga setempat percaya bila Mowewe menjadi lokasi pertama kali Van Der Klift menyebarkan pendidikan modern.

Van Der Klift juga membuka klinik kesehatan di Mowewe. Bahkan dia merawat masyarakat setempat yang mengidap penyakit secara gratis. Ilmu kesehatan ia ajarkan kepada warga lokal yang bernama Benjamin Guluh. Setelah dibimbing Van Der Klift, maka Benjamin Guluh diangkat menjadi asisten untuk menangani warga yang mengidap penyakit. Kini nama Benjamin Guluh diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Benyamin Guluh Kolaka.

Sekretaris Umum BPM Sinode Gepsultra, Pdt. Jery.S bercerita soal pengkabaran Injil di Sultra pertama kali. Kala itu, kata dia pada tahun 1915 Van Der Klift datang ke Kolaka dan membangun tempat tinggal. Di sana Van Der Klift bertemu dengan seorang pemuda bernama Patrus Wongga. Kurang lebih setahun Van Der Klift bermukim di Kolaka. Lalu hijrah ke Mowewe pada tahun Mei 1916 guna menghindari wabah penyakit yang mulai menyerang.

“Pertimbangan perpindahannya sebagai manusia dengan melihat kondisi yang tidak baik untuk tetap tinggal di Kolaka. Sebelum ke Mowewe dia sudah secara rutin melakukan kunjungan ke daerah Poleang, Rumbia. Tapi dia pilih Mowewe sebagai tempat tinggal yang tetap,” ujar dia saat ditemui.

Di Mowewe Van Der Klift memulai pengkabaran Injil. Melihat kehidupan masyarakat yang hidup dengan keterbatasan, kemiskinan dan keterbelakangan maka Van Der Klift mulai mengajak masyarakat untuk hidup sehat. Apalagi angka kematian bayi saat itu cukup besar, sehingga bersama dengan istrinya mengajar masyarakat untuk merawat bayi.

Selain itu, Van Der Klift juga mulai membangun sekolah. Kata dia, sekolah yang dibangun bukan hanya di Mowewe saja, melainkan Tinondo dan Raterate. Untuk sekolah itu berjalan, maka didatangkanlah tenaga pendidik dari engasr, Manado dan Maluku. Guru dari daerah itulah yang bertugas menjalankan proses pendidikan.

Tapi Van Der Klift tidak hanya mengajarkan masyarakat agar tahu membaca. Tapi juga berfikir agar dapat membentuk seseorang yang dapat melanjutkan misinya. “Sebab tidak mungkin tenaga pengajar yang datang dari luar akan terus mengajar di sana. Maka dibukalah sekolah guru di Mowewe,” ujar dia.

Saat sekolah guru terbentuk, maka dalam kurun waktu sekitar 4 tahun lahirlah sejumlah tenaga pendidik dari Mowewe. Lalu, mereka yang mulai melaksanakan dan melanjutkan tugas-tugas Van Der Klift. Selain pendidikan dan kesehatan, Van Der Klift juga mengajarkan masyarakat setempat cara bercocok tanam agar dapat menghasilkan tanaman yang berlimpah. Sebab kala itu, masyarakat tidak menanam padi di sawah namun di ladang.

Namun ketika Van Der Klift mengajarkan masyarakat untuk menanam padi di sawah masyarakat sempat menolak. Karena pekerjaan yang dilakukan Van Der Klift membuat tubuh kotor. Sebab harus berlumpur-lumpur menjajakan kaki di sawah.

“Bahkan ada warga yang berupaya menggagalkan ajaran Van Der Klift dengan menyiram tanaman padi dengan air panas di malam hari. Tapi Van Der Klift tetap terus berupaya agar contoh yang diberikannya diikuti masyarakat setempat. Dan, hal itu berhasil dilakukan,” katanya.

Lalu kemudian, ditengah perjalanan misi Van Der Klift masyarakat mulai mengikuti ajarannya. Di sekolah, kata dia Van Der Klift tidak hanya mengajarkan masyarakat tentang pengetahuan umum namun juga tentang teologia atau al kitab. Jadi dari sekolah itu, beberapa warga pribumi ditasbihkan sebagai pendeta.

Sementara itu, Mantan Ketua Majelis Gereja Matahilo, Daniel Tapoombi juga bercerita soal pengkabaran Injil yang dipelopori oleh Van Der Klift. Kata dia, Zending dari Netherlands mengutus Van Der Klift untuk menyebarkan agama Kristen di Kolaka pertama kali. Bersama sang istri yang karib disapa Nona, Van Der Klift menginjakan kakinya di Mowewe pada tahun 1915. Mereka menjalani hidup dengan seadanya dan mengandalkan bantuan dari pemerintah Belanda untuk bertahan hidup. Van Der Klift selalu membuat kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti, membagikan sembako secara gratis. Bahkan ketika, ada masyarakat yang sakit, Van Der Klift memberikan obat-obatan.

Lamabat laun, Van Der Klift mulai mendapat simpatik dari masyarakat. Van Der Klift melakukan pembaptisan pertama dilakukan di daerah lembah itu pada pria lokal bernama Petrus Wongga. Lalu disusul Lama Tungga, Tabeke dan Korihi beserta anak-anak mereka. Dari situlah, agama Kristen mulai menyebar kepada masyarakat Mowewe.

Dari Mowewe pekabaran Injil juga meluas hingga ke daerah lain, seperti Sanggona (Mowewe Utara). Di sana, Van Der Klift tinggal selama dua tahun untuk memperluas pengkabaran Injil. Apa yang dilakukan di Mowewe, Van Der Klift juga terapkan di Sanggona untuk menyebarkan agama Kristen. Di Sanggona Van Der Klift meninggalkan sebuah gereja yang hingga kini masih digunakan jamaat kristen untuk beribadah, termasuk sumur tua. Warga setempat juga mengambil air minum dari sumur peninggalan Van Der Klift. Hal yang sama Van Der Klift lakukan di Lambuya, Puriala, Kasipute, Kendari dan akhirnya ke seluruh jazirah Sultra.

Sejumlah penginjil didatangkan seperti DS. G.C. Storm, DS. De Kock, DS. M.J Gouwelous dan DS.J. Schurman. Sebelum meninggalkan bumi anoa ini, DS. Van Der Klift mentahbiskan guru-guru Injil untuk meneruskan misinya yang telah dicetuskan sebelumnya. Banyak tantangan dan hambatan termasuk situasi politik yang tak mendukung saat itu. Utamanya di era kependudukan penjajah Jepang. Beberapa ahli kitab tak dapat melanjutkan misi pengkabaran Injil. Dalam situasi itu diutuslah D.N. Boonde dan Luther Indinbio menemui perwakilan Jepang di Makassar. Hasilnya kemudian dibentuk Badan Gereja dengan mengukuhkan dua nama utusan itu, termasuk F. Sonaru dan B. Rere sebagai pemimpin.

Kelembagaan aliansi Gereja Tuhan di Sultra kemudian diawali pada tahun 1950 dengan rencana pelaksanaan sidang Sinode I. Namun agenda itu batal dilaksanakan karena terjadi pembunuhan atas DS. GW. Mollema dan DS. F.B. Powatu serta beberapa tokoh gereja di wilayah Moronene, Kabupaten Bombana. Tahun 1952 dibentuklah Badan Pekerja Bakal Gereja di Sultra. Kemudian tanggal 7 hingga 10 Februari tahun 1957 diselenggarakan sidang Sinode I di Kendari dengan mencetuskan nama lembaga Gereja Kristen di Sultra (GKSTa) dengan Ketua Sinode pertama, Pdt. Piter Rumono. Pada tahun 1963 saat sidang Sinode IV, GKSTa berubah menjadi Gereja Protestan di Sultra (Gepsultra) dan dipimpin DS. Gusti Sonaru. Gepsultra hingga kini terus berkembang bersama denominasi gereja lain di daerah ini. (***)

Penulis : Dekri Adriadi
Menelisik Jejak Pengkabaran Injil di Mowewe
0
1.3K
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan