AchtiarAvatar border
TS
Achtiar
Bengkulu Punya Surga Kopi, Tapi.....
Nun jauh di Bengkulu, terletaklah Gunung Kaba. Orang-orang menyebutnya surga kopi.
Tingginya sekitar 1.952 meter di atas permukaan laut (mdpl). Gunung ini telah menjadi pusat kegiatan petani Bengkulu sejak pascareformasi.
Kawasan di sekitar Gunung Kaba merupakan lahan pertanian yang subur. Ada dua kabupaten di Bengkulu yang menjadi area pertanian rakyat, yakni Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong.

Quote:


Dengan kontur yang tinggi, tentunya salah satu tanaman yang paling cocok ditanam adalah kopi. Semakin tinggi daerah tanam kopi, alkisah semakin padat pula bijinya. Artinya, kopi tersebut semakin kompleks: menyimpan banyak cita rasa.
Ada juga penelitian yang menyatakan hubungan antara tingkat keasaman kopi dan tinggi/temperatur daerah di mana ia ditanam. Intinya, semakin tinggi dan dingin suatu daerah akan menghasilkan kopi yang semakin baik pula tingkat keasaman dan cita rasanya.
Bengkulu ternyata termasuk lima besar produsen kopi senusantara. Ini fakta yang cukup mengejutkan (walau ini data tahun 2012). Ternyata potensi kopi di provinsi ini begitu besar. Tak heran ia terkenal sebagai provinsi di “segitiga emas robusta”–selain Lampung dan Sumatera Selatan.

Seperti disebutkan sebelumnya, kawasan sekitar Gunung Kaba juga digadang-gadang sebagai “surga kopi”. Beberapa tahun belakangan, beberapa produk kopi menonjol dari daerah ini–baik arabica maupun robusta (juga luwak).
Mari kita lihat dari luasan lahan tanaman kopi. Ternyata memang benar: Bengkulu punya area penanaman kopi hampir sekitar 92 ribu hektar. Hampir seluruhnya berserak di sekitar Gunung Kaba. Yang cari makan dari menanam kopi? Ada hampir 63 ribu kepala keluarga!
Angka-angka ini bisa berarti pentingnya tanaman kopi bagi rakyat Bengkulu.
Lalu jika demikian, apakah cap “surga kopi” ini juga membuat surga bagi para petani kopi tersebut?

Bengkulu: surga kopi yang bermasalah
Petani berjejal di lereng Gunung Kaba. Mereka menanam species arabica dan robusta–bahkan gabungan keduanya: “arabusta”. Dari sekitar 800 hingga 1400 mdpl, ragam produk kopi dihasilkan. Dari ibukota hingga nagari, penikmat kopi sudah mencicip produk si surga kopi.

Quote:


Namun faktanya, surga kopi tak otomatis membuat petani berasa di surga dunia. Malah jauh dari itu.
Rata-rata tingkat produksi robusta ternyata masih tergolong rendah. Hanya sekitar 2 ton per hektar per tahun. Teknologi, cara budidaya yang benar, proses pascapanen, akses pasar, adalah hal-hal yang belum merata dimiliki petani kopi Bengkulu.

Quote:

Kebanyakan petani kopi Bengkulu tidak pernah menerima penyuluhan atau pelatihan dari luar. Untuk merawat kopi, petani hanya melakukan penyemprotan hama rumput dan pemupukan standar. Sebagian besar yang lain malah tidak melakukan sama sekali.
Sementara hama dan penyakit–mulai dari jamur dan penggerek buah/batang–semuanya awam ditemui di lereng Gunung Kaba. Inilah yang membuat kopi di Bengkulu seperti ketinggalan dari daerah-daerah kopi yang lebih maju di Indonesia.

Quote:


Jangan bandingkan Bengkulu dengan Gayo misalnya. Jauh panggang dari api!
Praktik sehari-hari petani kopi di Kabupaten Kepahiang misalnya. Mereka menjual hasil panen kopi ke pengepul di tingkat desa atau ke pedagang di ibukota kabupaten tanpa proses pengolahan yang baik.

Para petani kopi di Kepahiang dan Rejang Lebong sebagian besar menjual kopi dalam bentuk buah kopi segar: setelah dipetik, langsung jual. Sulitnya lagi, para petani ini masih menjual kopi dalam bentuk petik asalan (tak cuma buah merah segar).
Parahnya lagi, terkadang kadar air beras kopi yang dihasilkan pun masih di atas 20 persen!
Setelah ditilik, hal ini dikarenakan faktor alam. Matahari sering bersinar malu-malu. Sementara, teknologi dan alat pengeringan yang mumpuni belum tersedia.
Hingga bulan April 2015 ini, harga jual buah kopi basah (robusta) petani dihargai Rp 2.700 per kilogramnya. Sementara untuk beras kopi robusta kualitas asalan (kadar air di atas 20 persen) harga per kilogramnya sekitar Rp 18.500.
Dari ilustrasi tersebut, mari kita bayangkan pendapatan petani yang punya rata-rata satu hektar. Jika hanya mampu menjual kopi basah asalan, maka pendapatan maksimal petani kopi robusta di Bengkulu hanya Rp 5,4 juta per tahun–atau Rp 450 ribu per bulan! Mau hidup sejahtera dari kopi jelas sulit.

Belum lagi masalah harga yang tak adil di tangan petani. Rantai dagang yang panjang–bisa hingga 18 titik–terus menghantui praktik perdagangan kopi.

Petani masih tergantung pada pengepul dan tengkulak: ini adalah fakta. Petani butuh pengepul dan tengkulak: ini fakta yang lain. Namun informasi harga pasar hingga end user adalah ihwal alien bagi petani. Ini salah satu kesulitan lain di “surga kopi” Gunung Kaba.
Tapi surga tetaplah surga. Petani kopi di Kepahiang dan Rejang Lebong masih tetap semangat. Toh mereka percaya alam memberi apa yang mereka butuhkan. Mereka percaya pada kopi produk andalan mereka. Dan dengan arahan yang benar, akhirnya petani-petani ini bisa melihat secercah harapan untuk penghidupan yang lebih baik.

Mulai dari petani sendiri
Sasmitra dan Djamingin, dua petani muda Bengkulu, bergegas ke Jakarta pada awal bulan Mei 2015.
Dari lereng Gunung Kaba mereka menggeret tas-tas besar berisi kopi arabica dan robusta. Total ada 50 kilogram. Inilah hasil kerja keras mereka setelah hampir satu tahun belajar tentang kopi bersama Serikat Petani Indonesia (SPI).

Dari SPI mereka berkelindan dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka/ICCRI). Mulai budidaya kopi robusta dan arabika hingga proses pascapanen mereka lahap. Kopi hampir setengah kwintal adalah hasil produksi terbaik yang ingin mereka tunjukkan di Jakarta.
Di awal Mei ini ada acara kecil yang menghubungkan petani dan konsumen di Jakarta. Chompagro #4 judulnya. Kali ini, yang dibahas adalah pangan lokal dan kopi Bengkulu. Kesempatan besar bagi Sasmitra dan Djamingin yang mewakili rakyat tani surga kopi Bengkulu.
Di forum bersahaja itu kedua petani belajar tentang pola umum konsumen kopi di Jakarta. “Buset, dalam jarak 100 meter sudah ada 4 kedai kopi di sini!” kata Sasmitra. Itu contoh awal fakta yang membuka mata petani-petani ini.

Contoh lain adalah saat mereka disajikan kopi produksi mereka sendiri. Decak kagum dan bangga menghiasi raut wajah Sasmitra dan Djamingin. “Aih, ternyata kopi kami bisa seenak ini rasanya!” ujar mereka.

Pelajaran berharga ini tak hanya berguna bagi duo petani kopi Bengkulu tersebut.
Pelajaran berharga lebih-lebih lagi sangat berguna bagi 50-an orang yang merapat ke Chompagro #4 pada Minggu (10/5) kemarin. Mayoritas ibu-ibu, ekspatriat dan konsumen urban berdecak kagum mendengar pengalaman produksi di surga kopi Bengkulu.
Ya, di satu sisi Bengkulu adalah surga kopi. Di sisi lain, ada masalah awam pembangunan pedesaan di Indonesia. Harus ada kerja keras. Harus ada organisasi.

Dalam presentasinya, Sasmitra menyenggol masalah tersebut. “Kalau mau kuat, petani kopi harus bersatu,” ujar dia. Saat ini sudah 218 kepala keluarga berkumpul dalam Koperasi Serikat Petani Indonesia.

Bermarkas di Kepahiang, koperasi inilah yang menjadi kaki mereka untuk merambah pasar.
Boleh jadi jalan terbuka. Seperti yang kita tahu, kedai-kedai kopi asli Indonesia sedang menjamur di kota-kota besar. Mungkin kopi Bengkulu belum jadi primadona seperti Gayo atau Jawa. Tapi pasarnya jelas ada.
Lalu bagaimana rasa kopinya?

Apresiasi kopi Bengkulu di Chompagro #4
Lusinan orang berkumpul di meja saji Chompagro #4 di Warung Kopi Sruput, Kemang. Kami mengantre seduhan kopi Bengkulu dari Gunung Kaba, Kepahiang.
Yang keluar pertama adalah seduhan kopi arabica semi-washed. Para penyeduh memutuskan metode french press untuk mengeluarkan cita rasa optimal. (Atau untuk menghemat waktu dan lebih simpel saja, hahaha!)
Seteguk pertama, rasa buah-buahan menerjang rongga mulut. Rasanya cukup juicy dengan aroma segar yang memikat. Ia manis, dengan karakter karamel yang muncul malu-malu kucing. Badan kopi tipis: seduhan ini sepertinya sangat cocok untuk waktu santai kita di Minggu sore.

Kemudian kopi arabica dengan proses full-washed mengambil tempat. Rasa yang lebih dalam mewakili tegukan pertama. Saya mengecap rasa olahan kakao yang agak intens, hampir seperti ramuan coklat dan rempah-rempah. Badan kopi lebih terasa dan seduhan ini bersih–bagai lebih berwibawa. Ini statement: bahwa kopi Bengkulu dengan olahan yang benar, bisa punya cita rasa yang mantap dan cerah seperti ini!

Waduh, tak terasa sudah dua gelas kopi dalam 10 menit. Gawat.
“Untuk kopi arabica Kepahiang, mau tak mau kami harus berterima kasih pada luwak,” kata Djamingin si petani Bengkulu.
Kisahnya ternyata gampang dirunut. Pada era tren kopi luwak beberapa tahun lalu, kopi arabica adalah komoditas utama untuk diumpankan ke kucing kopi.

“Walau kami tak setuju proses kopi luwak yang menyiksa binatang, kopi arabica di daerah kami terjaga stoknya karena tren tersebut,” ujar dia. Saat ini, mereka pelan-pelan mencoba bergeser dari produksi kopi luwak ke arabica saja.
Terakhir, robusta natural process menutup perjalanan cita rasa kami ke Gunung Kaba. Walau badan kopi menjadi andalan robusta Kepahiang, namun seduhan yang mulai mendingin ini juga memunculkan keasaman yang memikat plus kadar kemanisan yang menggoda. Robusta yang unik!

Saya ikut berdecak kagum atas kerja keras dua petani ini mempromosikan kopinya ke Jakarta.
“Harapan kami agar sejahtera bareng-bareng, Mas,” ujar mereka. Di belakang misi kopi Bengkulu di Chompagro #4 ini, berdiri ratusan–bahkan ribuan–petani kopi yang punya harapan sama.
Lalu saya merenung di meja saji. Ini sudah gelas ketiga. Rasa dari surga kopi Bengkulu ini mengetuk hati saya…

Di mana konsumen terdidik?
Di mana perdagangan yang adil?
Di mana pemerintah?
Lalu kopi Bengkulu pun tandas.


Sumber : http://kopikopikopi.com/bengkulu-punya-surga-kopi/
0
3.4K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan