- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bagaimana memberantas pelecehan seksual di tempat kerja


TS
bpln.boss
Bagaimana memberantas pelecehan seksual di tempat kerja

Kampanye #MeToo merebak menyusul rangkaian tuduhan serangan seksual yang menimpa Harvey Weinstein. Kampanye ini telah diikuti jutaan perempuan dari seluruh belahan dunia yang melaporkan berbagai pengalaman mereka sendiri sebagai korban pelecehan di tempat kerja dan tempat lainnya.
Pelecehan seksual bukanlah fenomena baru; dan bagi siapapun yang mengkaji topik ini, tingkat respons masyarakat terhadap kampanye #MeToo tidak mengejutkan.
Namun kita menyaksikan pergeseran budaya dalam cara kita memandang dan berbicara tentang isu yang dahulu dianggap tabu atau tak terelakkan.
Riset dari empat dekade ke belakang secara konsisten menunjukkan bahwa pelecehan seksual ialah masalah yang dialami banyak perempuan.
Perempuan jauh lebih mungkin mengalami pelecehan seksual dibandingkan laki-laki, lebih mungkin mengenali pelecehan seksual dan memandangnya sebagai masalah dibandingkan laki-laki, dan perempuan di usia muda paling rentan akan hal ini.
Perihal bentuknya, penting untuk disadari bahwa pengalaman pelecehan yang dialami para perempuan termasuk dalam rangkaian kekerasan seksual. Ini meliputi perilaku lisan dan nonlisan yang tampak biasa, sampai pengalaman kontak fisik yang tidak diinginkan dan kekerasan seksual atau pemerkosaan.
Bentuk pelecehan seksual yang paling dikenal ialah quid-pro-quo, yaitu ketika seseorang dengan kekuasaan institusional (atau sekadar dianggap berkuasa) menuntut sesuatu dari seseorang dengan kekuasaan yang relatif lebih rendah, sebagai imbalan atas kemajuan karier/kenaikan pangkat atau dengan ancaman pembalasan (seperti yang disebutkan dalam tuduhan-tuduhan tentang Weinstein).
Kita menyaksikan pergeseran budaya dalam cara kita memandang dan berbicara tentang isu yang dahulu dianggap tabu atau tak terelakkan.
Namun ini sebenarnya mewakili bagian kecil dari pengalaman pelecehan seksual (proporsinya bervariasi dari 3% - 16% dari total laporan).
Serangan seksual dan pemerkosaan di tempat kerja merepresentasikan proporsi yang lebih kecil lagi (1% - 6%).
Sedangkan bentuk pelecehan seksual yang paling sering dialami ialah pelecehan terkait gender. Ini meliputi komentar yang tidak disukai, ajakan untuk kencan yang tidak pantas dan berulang-ulang, komentar tentang bentuk tubuh, dan perilaku seperti tatapan, siulan, dan bahasa tubuh tidak senonoh yang seringkali datang dari orang dengan status dan kekuasaan setara dengan si korban (sekitar 55% dari laporan).
Riset menunjukkan bahwa iklim organisasi dan toleransi merupakan prediktor paling kuat untuk pelecehan seksual.
Laporan formal tentang pelecehan seksual tidak mengungkap taraf prevalensi yang sebenarnya. Jika mempertimbangkan rangkaian perilaku ini, tampaknya perilaku di tingkat lebih rendah lebih sering dialami, tapi lebih jarang diakui sebagai pelecehan seksual sama sekali.
Meski demikian, penting untuk mengakuinya, jika kita hendak sepenuhnya memahami taraf pelecehan seksual di tempat kerja, dampaknya terhadap korban, dan cara melawannya.
Ditilik lebih lanjut, seringkali pelecehan tingkat rendah inilah yang, jika dilakukan berulang-ulang, menjadikan tempat kerja tidak aman dan memberikan dampak negatif bagi kesejahteraan korban. Dampak tersebut antara lain depresi, kegelisahan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Perilaku ini juga dapat berdampak pada karier jangka panjang korban, berujung pada kemangkiran dan kehilangan kesempatan. Dan ia dapat memengaruhi orang lain yang menyaksikan perilaku tersebut dan turut merasa tidak aman.
Mekanisme penanggulangan
Riset psikologi menunjukkan bahwa perempuan cenderung menggunakan berbagai metode untuk menanggulangi pelecehan seksual, tergantung pada konteks dan keparahan perilaku tersebut. Mekanismenya mulai dari penyangkalan dan penghindaran dari si pelaku; curhat kepada teman, saudara, dan rekan kerja; sampai konfrontasi langsung dan pelaporan formal.
Meskipun penghindaran adalah strategi yang sering diterapkan, kemungkinan suksesnya jauh lebih kecil daripada konfrontasi langsung dalam menghentikan praktik pelecehan. Tapi karena rasa takut - dan risiko - akan pembalasan, konfrontasi langsung sangat jarang dipilih sebagai tanggapan. Demikian pula pelaporan formal.
Bahkan, riset menunjukkan bahwa iklim organisasi dan toleransi merupakan prediktor paling kuat untuk pelecehan seksual. Seberapa permisif iklim organisasi menentukan risiko bagi korban untuk mengajukan keluhan, peluang si pelaku pelecehan untuk dihukum, dan tingkat keseriusan organisasi dan rekan kerja dalam menerima keluhan tentang perilaku ini.
Beberapa orang mungkin menemukan hal-hal tertentu bisa ditoleransi, tapi yang lain tidak. Batasannya kadang-kadang buram, sehingga persoalan ini sulit ditangani.
Tema yang umum dalam tuduhan serangan seksual yang menimpa Weinstein ialah bahwa perilakunya itu dikenal luas dan para pegawai di perusahaannya ikut terlibat. Jadi, pengajuan komplain sulit dan berisiko bagi korban. Ini menjelaskan sedikitnya jumlah laporan formal.
Jika kita mempertimbangkan dampak iklim yang toleran (banyak yang menyebut keluhan terhadap dugaan perilaku Weinsten sebagai "rahasia umum"), jelas sudah alasan para korban butuh waktu lama untuk melaporkan pengalaman mereka dan merasa berani setelah perempuan lain mengemukakan keluhan serupa.
Pelecehan mungkin dapat dengan mudah dikenali oleh satu orang, tapi mungkin orang lain perlu waktu lebih lama untuk menyadarinya dan bereaksi - inilah yang membuatnya begitu berbahaya. Beberapa orang mungkin menemukan hal-hal tertentu bisa ditoleransi, tapi yang lain tidak. Batasannya kadang-kadang buram, sehingga persoalan ini sulit ditangani.
Orang harus merasa aman dalam menentang perilaku yang awalnya terasa biasa saja. Ini termasuk berani mengatakan bahwa Anda tidak menganggap sesuatu lucu; dan berani memprotes ketika Anda merasa tidak dianggap, atau dijadikan pusat perhatian, atau diminta melakukan hal-hal yang tidak Anda inginkan.
Seringkali pelecehan tingkat rendah inilah yang, jika dilakukan berulang-ulang, menjadikan tempat kerja tidak aman.
Tapi, yang terpenting, Anda perlu merasa didukung dalam keputusan Anda untuk berbicara dan dilindungi dari kemungkinan pembalasan.
Kita berkewajiban untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan bermartabat. Hak untuk bekerja dengan bermartabat adalah hak asasi manusia. Pelatihan bagi karyawan dan pengadilan independen sangat penting dalam memerangi pelecehan seksual, namun budaya organisasi yang baik juga sama pentingnya. Kita perlu menghormati dan mendengarkan satu sama lain.
Media sosial dapat menawarkan ruang untuk bersuara, pendukung, dan platform untuk berbagi pengalaman dengan orang lain di mana saja. Dan kampanye seperti #MeToo tidak hanya memberikan sarana yang penting untuk menentang seksisme dan kekerasan seksual; tapi juga kesempatan untuk mendengarkan, belajar, dan menjadi kawan bagi semua orang yang terkena dampak fenomena ini..
http://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-41963105
0
1.3K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan