- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Cerita Pejalan Domestik
Napak Tilas Bukit Paras, atau Kids Jaman Now Sebut Pentulu Indah


TS
mjia09
Napak Tilas Bukit Paras, atau Kids Jaman Now Sebut Pentulu Indah

Bukit Paras mungkin tak seterkenal bukit-bukit di Imogiri, Bantul atau Top Selfie Magelang. Namun, secara landscape, mereka memiliki kemiripan, bukit-bukit kecil dengan pemandangan alam liar biasa dan jajaran pohon pinus yang menjulang. Bagi saya, Bukit Paras yang terletak di Kabupaten Kebumen ini tak kalah dengan Imogiri ataupun Top Selfie.
Semasa SMA, di bukit Paras ini lah saya menjalani pendidikan dasar organisasi Pecinta Alam. Kurang lebih bersama 15 anggota lain (ini lupa-lupa ingat, maklum sudah lama), saya dididik menjadi pencinta alam yang sadar diri, dan tidak nakal lagi.
Pendidikan dasar jaman saya, tentu berbeda dengan jaman sekarang, pun berbeda dengan jaman sebelum-sebelumnya. Jika jaman sebelum-sebelumnya, mungkin masih main tangan, kaki dan alat bantu seperti ranting (you know buat apa lah) kalau jaman saya hanya mulut yang bekerja, dan jangan tanya jaman sekarang apa yang bekerja. Bisa kena tuntut HAM dan sebagainya. Namun, pendidikan dasar jaman saya, tidak kalah seram dengan pendidikan jaman bahula.
Satu hal yang masih saya ingat yaitu ketika saya dan teman-teman saya harus tidur di bivak-semacam tenda yang terbuat dari mantol dengan ditali pramuka- seadanya, dan dipisah dari bukit satu dengan bukit yang lain. Alhasil kami tidur sendirian, tanpa penerangan sama sekali dengan tempat tidur seadanya. Sesekali burung (atau entah makluk apa) seperti terbang diatas kepala, dan suara burung hantu menjadi lagu nina bobo yang tidak menina bobokan. Sejam kemudian, ketika saya mulai bisa terlelap, senior sudah membangunkan kami. Kami diperintah untuk segera turun bukit dan melakukan apel. Tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Berusaha tidur, mulai bisa tidur, dibangunkan, lari turun bukit, apel2 menit, lari naik bukit, masuk bivak berusaha tidur, begitu seterusnya hingga pagi. Bagi saya yang hobi tidur, hal ini lebih menyebalkan daripada disuruh push up, jalan jongkok, jalan merayap, guling-guling, makan ala makanan tentara, apalagi cuma dibentak-bentak ketika acara siang. Tentu saya hanya memendam dongkol, dan kedongkolan itu tersalurkan ketika saya telah jadi senior setahun setelahnya.
Setelah menjadi senior, saya baru menyadari keindahan bukit Paras. Meski tidak jauh dari pedesaan, namun bukit paras benar-benar seperti sebuah tempat antah berantah. Jalan setapak, tanah dipenuhi semak, pohon pinus rimbun, dan jauh dari kebisingan kendaraan. Apalagi ketika mata memandang, deretan bukit hijau luas membentang. Benar-benar cocok sebagai tempat mengasingkan diri dari hiruk-pihuk kota.
Setelah lulus SMA, saya tidak lagi menyambangi bukit Paras, dan akhirnya 8 tahun kemudian saya kembali, namun kali ini tujuannya bukan lagi pendidikan dasar, tapi piknik, di tempat yang sama namun telah berganti nama menjadi Pentulu Indah.
Jalan yang saya lalui masih sama, susah dilalui karena berbelok-belok, menajak dan belum beraspal. Saya ingat, senior pernah tergelincir di jalur ini. Rumah-rumah penduduk pun masih nampak sama, sederhana dan bersahaja. Namun, ketika memasuki area bukit, saya pangling. Inikah bukit tempat saya berguling-guling dengan lumpur itu?
Meski belum ada pembangunan berarti, namun bukit Paras sudah berubah banyak. Ya, seperti tempat wisata alam lain yang sedang ngehits sekarang ini. Hammock terpasang di banyak tempat, bangunan bentuk hati, rumah pohon, pintu rumah hobbit, dan banyak lagi. Bukit Paras berubah dengan sentuhan-sentuhan yang katanya Instagrammable. Tidak heran jika kids jaman now ramai-ramai mengunggah foto mereka di tempat ini. saya bisa dengan jelas melihat tugu dengan tulisan Pentulu Indah terbangun gagah di depan bukit. Di spot yang lain bahkan ada peralatan aoutbond yang terpasang rapi diantara pohon-pohon pinus.
“Saya dulu disuruh guling-guling disitu loh, “ ucap saya menunjuk parit pada teman perjalanan saya.
“Dulunya tanahnya ini semua semak belukar, serem. Ngga tau kalau ada ular atau kalajengking, “ ucap saya masih mengenang.
Iya, saya hanya bisa mengenang. Bukit yang dulunya tanpa penghuni, kini sudah menjadi tempat wisata. Ternyata memang waktu dapat mengubah banyak hal. Pun dengan selera. Jika dulu saya puas menikmati bukit dengan kealamiannya, mungkin anak-anak muda jaman sekarang lebih senang dengan tambahan-tambahan icon yang semarak.
Namun, napak tilas kali ini berhasil membangkitkan kenangan-kenangan lama yang menyadarkan saya, bahwa pendidikan dasar yang menyeramkan dulu itu telah menempa mental saya sehingga saya tidak nakal lagi.


tata604 memberi reputasi
1
1.6K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan