Ya, Kata - kata seperti ini sebenarnya mulai ngetren di sosial media sebelum pertempuran dua kubu antara Jokowi dan Prabowo. Jika ditarik garis lebih jauh, kata - kata seperti ini mulai muncul dan ngetren sekitar tahun 2011 ketika warga sosial media berdebat. Mereka diantarannya terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu anti kelompok radikal dan pro kelompok radikal macam FPI. Sebenarnya sudah banyak media - media gak jelas yang bersliweran dengan berita hoax dan tak kredibel, namun tidak semua berteriak jangan percaya media. Biasanya yang berteriak lantang adalah mereka dari kubu pro kelompok radikal atau kubu kaum konservatif. Namun apa alasan mereka terus - terusan mengucapkan itu? Inilah yang akan dibahas, di mana juga terdapat makna ganda di dalamnya.

1. Makna pertama ialah ungkapan atas ketidakpercayaan akan media yang bersliweran di dunia maya. Media tersebut mungkin karena tidak mengikuti kaedah kode etik jurnalistik sehingga menimbulkan berita yang tak kredibel, valid, cover both side dan objektif. Produk jurnalistik yang buruk memang punya dampak buruk tersendiri bagi masyarakat. Untuk itulah netizen yang kritis mudah - mudahan bisa tetap bijak dalam menyikapi pemberitaan media dan selalu mengkritiknya ketika terjadi sebuah kesalahan.

2. Sedangkan makna kedua mempunyai makna yang sebenarnya bertentangan dengan makna di atas. Kalimat jangan percaya media mungkin ungkapan kejengkelannya terhadap media yang bias, eitts tapi tunggu dulu. Hal menarik di sini sebenarnya bukan cuma media yang bias namun bisa saja netizen yang melontarkan ungkapan itu tadi. Kalimat jangan percaya media secara tak sadar adalah ungkapan bias atau tak objektif ketika sebuah media memberitakan hal buruk terkait pemahaman, identitas, gagasan, kelompok dan lain sebagainya yang masih berhubungan erat dengan netizen tersebut.

Netizen ini bergerak sebenarnya bukan karena media yang mungkin memberitakan secara tak adil namun karena media tersebut terus - terusan atau mungkin sesekali memberitakan buruk terkait kelompoknya, identitasnya, pemahaman, idolanya dan lain sebagainya. Dalam artian sebenarnya netizen seperti ini biasanya punya titik rasa nyaman ketika media bisa sepandangan atau sepemahaman dengannya atau selalu memberitakan baik kelompoknya, identitasnua, pemahamannya, idolanya dan lain sebagainya.

Contohnya ada netizen b, dia adalah penggemar figur politis, Uwubarp. Dia akan berteriak media tak adil atau jangan percaya media, jangan percaya propaganda media ketika media - media mulai menyerang Uwubarp dengan kritikan pedasnya melalui pemberitaan tertentu, bahkan tak segan - segan menuduhnya sebagai hoax walau tak punya bukti yang mendukung. Di sisi lain dia baru nyaman dan percaya itu media ketika media itu selalu memberitakan berita baik terkait idolanya itu. Selain itu dia juga mempercayai media tersebut ketika memberitakan buruk saingan dari figur politis Uwubarp. Dan kembali tak percaya ketika media itu menayangkan berita baik saingan dari Uwubarp.

Konsep media di sini bukanlah media yang objektif namun media yang sesuai dengan pemahaman netizen tersebut yaitu memberitakan baik idolanya dan memberitakan buruk saingan idolanya.

Tak cukup sampai situ, sebenarnya ini adalah pesan tak langsung yang ingin mengajak netizen lainnya untuk mempercayai media yang sesuai dengan isi hati, panutan atau pemahamannya. Biasanya netizen seperti ini adalah netizen yang tak punya sikap kritis dan bijak dalam menyikapi berita - berita tertentu karena isi otaknya sudah didoktrin sebegitu kuat kalau media yang baik adalah media yang sepemahaman dengannya, entah mau melanggar kode etik jurnalistik, penuh hoax, hate speech dan lain sebagainya. Padahal media yang baik tak pernah melakukan itu.

Mungkin sekian yang saya bahas kali ini, mohon maaf apabila masih ada kekurangan, salam damai selalu.