- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
One Day in The Rains


TS
the.collega
One Day in The Rains
Quote:

Quote:
Suatu hari di musim hujan, rintik-rintiknya mulai turun. Setiap air yang jatuh memberikan nafas kehidupan bagi makhluk sekitarnya. Sebuah café di pinggir jalan, senantiasa menunggu orang-orang datang jikala sedang lapar ataupun sekedar bersantai. Letaknya jauh dari pusat kota, bangunan dua lantai ini dimiliki oleh seorang ibu dengan dua orang anak sepasang. Anak sulungnya seorang lelaki sudah berusia matang, walaupun tidak melanjutkan ke perguruan tinggi namun anaknya ini tergolong pintar. Satu lagi masih duduk di bangku sekolah dasar, tiap hari ibunya mengantar dan menjemputnya.
Anak sulungnya menjaga café siang ini, di luar masih hujan. Dia hanya bisa melamun menunggu pelanggan datang. Hujan semakin deras, rasanya tidak mungkin ada pelanggan yang datang kalau seperti ini. Dia menahan dagunya dengan tangan kananya, dia melamun diiringi bunyi hujan. Tak disangka keajaiban datang, dua orang perempuan tergesa-gesa masuk ke dalam cafenya. Keduanya saling menertawai satu sama lain, sambil menepuk-nepuk kemeja dan celana mereka yang basah.
Dia yang melihatnya langsung masuk ke dalam, mengambil dua buah handuk kering dan memberikannya. Kedua perempuan itu tersenyum, dan si anak tunggal yang bertugas sebagai pelayan ini mempersilahkan mereka berdua duduk. Dari dekat kedua perempuan ini mungkin usianya lebih muda dari sang pelayan dua sampai tiga tahun.
“Ingin memesan apa?” tanya pelayan dengan lembut.
“Um.., berikan kami sesuatu yang hangat. Bagaimana kalau teh hijau hangat, menurutmu?” kata perempuan yang memakai kemeja putih, dia bertanya kepada temannya.
“Ya..ide yang bagus,” pelayan masuk ke dalam dapur lalu mulai membuatkan teh hijau hangat.
Kedua perempuan ini sibuk mengobrol sementara pelayan membawakan teh hijau hangat yang sudah dibuatnya dengan cepat. Dia memberikannya satu-satu, satu kepada perempuan kemeja putih lalu satu lagi perempuan yang memakai jaket berwarna biru.
“Jika ada permintaan lainnya bisa langsung beritahu saya, saya berada di sana,” menunjuk ke arah meja kasir. Keduanya mengangguk dan pelayan pergi ketempatnya.
Dia memandangi kedua perempuan ini dengan penuh perhatian, banyaknya meja yang kosong seakan-akan terisi oleh dua orang perempuan ini. Mereka minum perlahan, menghangatkan tubuhnya yang terkena siraman hujan yang deras. Perempuan berjaket biru mulai membuka tasnya, entah apa yang terjadi karena perempuan berkemeja putih langsung melebarkan senyumnya. Dia berdiri, meninggalkan teh hijaunya yang masih menyala. Dia berjalan ke meja kasir, dan menemui sang pelayan.
“Apa saya boleh meminjam meja dibelakang tempat duduk saya?”
“Memangnya kenapa?” tanya balik sang pelayan.
“Buku catatanku basah semua, dan saya ingin mengeluarkannya lalu menatanya di meja untuk mengeringkannya. Bolehkah?”
Sang pelayan berpikir sebentar, sekarang hanya satu meja yang terisi. Apalagi cuaca di luar begitu kacau, rasanya tidak mungkin jika tiba-tiba café terisi penuh. Dengan pertimbangan itu dia membolehkan wanita itu memakai meja satu lagi. Wanita itu memberikan senyuman kepada sang pelayan, lalu kembali ke tempat asalnya.
Wanita berkemeja putih sibuk memperhatikan temannya mengeluarkan isi dalam tasnya yang berupa buku-buku dan ada juga buku catatan. Dengan sigap dan teliti wanita berjaket biru ini menata bukunya satu-satu dengan memberinya jarak, handuk yang tadi diberikan masih menggantung dilehernya. Dia berharap jika disimpan di luar seperti itu buku-bukunya cepat mengering. Sang pelayan hanya tersenyum melihatnya.
Hujan belum juga menunjukan tanda-tanda mau berhenti, sedangkan teh hijaunya sudah mendingin dan isinya sudah sedikit. Wanita berkemeja putih memanggil sang pelayan, dia memesan dua buah ramen dan meminta mengisi ulang teh hijau hangat mereka. Café ini menjual makanan-makanan yang dibuat sendiri, seperti ramen, sup kari, tempura dan sebagainya. Khusus ramen, mie yang mereka gunakan berasal dari luar tetapi kuah dan bumbunya racikan sendiri.
Ramen datang, tampilannya menggugah selera. Mereka berdua makan dengan lahap, sampai-sampai mereka lupa bahwa kuah ramennya masih panas. Akhirnya hujan mereda, hanya tersisa rintik-rintik gerimis. Sebelum pergi tidak lupa mereka berdua membayarnya, untuk refill teh hijau tidak dikenakan biaya tambahan alias gratis. Tidak lupa mereka juga mengembalikan handuk kering yang sudah dipinjamkan barusan.
Wanita berjaket biru mulai membereskan buku-bukunya, dia kecewa karena bukunya tidak mengering sama sekali. “Terima kasih atas kedatangannya! Tepat di saat mereka berdua ingin pergi. Lalu pemilik café ini datang beserta anak perempuannya yang masih kecil, mereka berpapasan sebentar lalu saat hendak melalui pintu tas wanita berjaket biru tersangkut dan dia menariknya. Sang pelayan yang merupakan anak tunggalnya menyambutnya sambil berjalan menuju meja yang barusan dipakai oleh kedua perempuan itu. Dia ingin membersihkan meja sekaligus mengambil piring-piring kotor.
“Buku….,” melihat di depan pintu masuk ada sebuah buku tergeletak. Dia mengambilnya lalu ingat bahwa buku ini milik perempuan yang tadi, dia pergi keluar untuk mengejarnya. Namun sosok kedua perempuan itu tidak terlihat, dia masuk kembali ke dalam café.
“Ada apa Kazu?” Ibunya bertanya.
“Ini…pelanggan barusan sepertinya tidak tahu kalau bukunya terjatuh, ketika saya keluar mereka sudah tidak ada.”
“Nanti juga mereka datang kembali ketika ingat bukunya tertinggal, simpanlah buku itu,” senyum Ibunya.
Si anak menuju lantai dua rumahnya untuk menyimpan buku tersebut, buku berwarna pink dengan sebuah segel yang menutup rapat buku itu. Sedangkan ibunya membawa piring-piring kotor tersebut untuk dia bersihkan.
“Lebih baik aku taruh di kamar saja, Rena suka mengambil-ambil barang pelanggan yang tertinggal jika aku menaruhnya dekat mesin kasir,” dia menaruh bukunya di atas meja membacanya di kamar.
Café tutup saat matahari sudah tidak terlihat lagi di langit, Kazu membantu ibunya untuk menutup café dan membersihkan tempat ini. Malam hari mereka makan dengan lahap, obrolan di rumah ini sedikit kurang dikarenakan sosok ayah yang telah tiada. Hal selanjutnya adalah menemani Rena bermain kadang juga menemaninya belajar. Malam semakin pekat, kantuk menyerang seluruh anggota keluarga. Mereka masuk kamar masing-masing, untuk Rena dia tidur bersama sang ibu.
“Sebenarnya buku apa ini?” melihat-lihat buku berwarna pink dan memiliki sampul kulit.
Dia ingin membukanya tetapi dia tidak berani karena buku itu bukan miliknya, dia putuskan untuk tidur lalu mematikan lampu kamarnya. Namun perasaan menjanggal masih terasa dihatinya, dia sungguh penasaran buku apa itu. Akhirnya dia putuskan untuk mengintipnya, dia berpikir tidak mengapa untuk mengintip beberapa halaman saja. Pemilik buku juga nyatanya tidak datang lagi sampai café tutup dan tidak akan tahu kalau bukunya telah dilihat isinya.
Kazu membuka segelnya yang terlihat seperti tali pada jam tangan. Tidak lupa menyalakan lampu pada meja bacanya, dia membuka halaman pertama buku ini.
“My…Diary…eh..,” tulisan My Diary terpampang jelas pada halaman pertama buku ini.
Anak sulungnya menjaga café siang ini, di luar masih hujan. Dia hanya bisa melamun menunggu pelanggan datang. Hujan semakin deras, rasanya tidak mungkin ada pelanggan yang datang kalau seperti ini. Dia menahan dagunya dengan tangan kananya, dia melamun diiringi bunyi hujan. Tak disangka keajaiban datang, dua orang perempuan tergesa-gesa masuk ke dalam cafenya. Keduanya saling menertawai satu sama lain, sambil menepuk-nepuk kemeja dan celana mereka yang basah.
Dia yang melihatnya langsung masuk ke dalam, mengambil dua buah handuk kering dan memberikannya. Kedua perempuan itu tersenyum, dan si anak tunggal yang bertugas sebagai pelayan ini mempersilahkan mereka berdua duduk. Dari dekat kedua perempuan ini mungkin usianya lebih muda dari sang pelayan dua sampai tiga tahun.
“Ingin memesan apa?” tanya pelayan dengan lembut.
“Um.., berikan kami sesuatu yang hangat. Bagaimana kalau teh hijau hangat, menurutmu?” kata perempuan yang memakai kemeja putih, dia bertanya kepada temannya.
“Ya..ide yang bagus,” pelayan masuk ke dalam dapur lalu mulai membuatkan teh hijau hangat.
Kedua perempuan ini sibuk mengobrol sementara pelayan membawakan teh hijau hangat yang sudah dibuatnya dengan cepat. Dia memberikannya satu-satu, satu kepada perempuan kemeja putih lalu satu lagi perempuan yang memakai jaket berwarna biru.
“Jika ada permintaan lainnya bisa langsung beritahu saya, saya berada di sana,” menunjuk ke arah meja kasir. Keduanya mengangguk dan pelayan pergi ketempatnya.
Dia memandangi kedua perempuan ini dengan penuh perhatian, banyaknya meja yang kosong seakan-akan terisi oleh dua orang perempuan ini. Mereka minum perlahan, menghangatkan tubuhnya yang terkena siraman hujan yang deras. Perempuan berjaket biru mulai membuka tasnya, entah apa yang terjadi karena perempuan berkemeja putih langsung melebarkan senyumnya. Dia berdiri, meninggalkan teh hijaunya yang masih menyala. Dia berjalan ke meja kasir, dan menemui sang pelayan.
“Apa saya boleh meminjam meja dibelakang tempat duduk saya?”
“Memangnya kenapa?” tanya balik sang pelayan.
“Buku catatanku basah semua, dan saya ingin mengeluarkannya lalu menatanya di meja untuk mengeringkannya. Bolehkah?”
Sang pelayan berpikir sebentar, sekarang hanya satu meja yang terisi. Apalagi cuaca di luar begitu kacau, rasanya tidak mungkin jika tiba-tiba café terisi penuh. Dengan pertimbangan itu dia membolehkan wanita itu memakai meja satu lagi. Wanita itu memberikan senyuman kepada sang pelayan, lalu kembali ke tempat asalnya.
Wanita berkemeja putih sibuk memperhatikan temannya mengeluarkan isi dalam tasnya yang berupa buku-buku dan ada juga buku catatan. Dengan sigap dan teliti wanita berjaket biru ini menata bukunya satu-satu dengan memberinya jarak, handuk yang tadi diberikan masih menggantung dilehernya. Dia berharap jika disimpan di luar seperti itu buku-bukunya cepat mengering. Sang pelayan hanya tersenyum melihatnya.
Hujan belum juga menunjukan tanda-tanda mau berhenti, sedangkan teh hijaunya sudah mendingin dan isinya sudah sedikit. Wanita berkemeja putih memanggil sang pelayan, dia memesan dua buah ramen dan meminta mengisi ulang teh hijau hangat mereka. Café ini menjual makanan-makanan yang dibuat sendiri, seperti ramen, sup kari, tempura dan sebagainya. Khusus ramen, mie yang mereka gunakan berasal dari luar tetapi kuah dan bumbunya racikan sendiri.
Ramen datang, tampilannya menggugah selera. Mereka berdua makan dengan lahap, sampai-sampai mereka lupa bahwa kuah ramennya masih panas. Akhirnya hujan mereda, hanya tersisa rintik-rintik gerimis. Sebelum pergi tidak lupa mereka berdua membayarnya, untuk refill teh hijau tidak dikenakan biaya tambahan alias gratis. Tidak lupa mereka juga mengembalikan handuk kering yang sudah dipinjamkan barusan.
Wanita berjaket biru mulai membereskan buku-bukunya, dia kecewa karena bukunya tidak mengering sama sekali. “Terima kasih atas kedatangannya! Tepat di saat mereka berdua ingin pergi. Lalu pemilik café ini datang beserta anak perempuannya yang masih kecil, mereka berpapasan sebentar lalu saat hendak melalui pintu tas wanita berjaket biru tersangkut dan dia menariknya. Sang pelayan yang merupakan anak tunggalnya menyambutnya sambil berjalan menuju meja yang barusan dipakai oleh kedua perempuan itu. Dia ingin membersihkan meja sekaligus mengambil piring-piring kotor.
“Buku….,” melihat di depan pintu masuk ada sebuah buku tergeletak. Dia mengambilnya lalu ingat bahwa buku ini milik perempuan yang tadi, dia pergi keluar untuk mengejarnya. Namun sosok kedua perempuan itu tidak terlihat, dia masuk kembali ke dalam café.
“Ada apa Kazu?” Ibunya bertanya.
“Ini…pelanggan barusan sepertinya tidak tahu kalau bukunya terjatuh, ketika saya keluar mereka sudah tidak ada.”
“Nanti juga mereka datang kembali ketika ingat bukunya tertinggal, simpanlah buku itu,” senyum Ibunya.
Si anak menuju lantai dua rumahnya untuk menyimpan buku tersebut, buku berwarna pink dengan sebuah segel yang menutup rapat buku itu. Sedangkan ibunya membawa piring-piring kotor tersebut untuk dia bersihkan.
“Lebih baik aku taruh di kamar saja, Rena suka mengambil-ambil barang pelanggan yang tertinggal jika aku menaruhnya dekat mesin kasir,” dia menaruh bukunya di atas meja membacanya di kamar.
Café tutup saat matahari sudah tidak terlihat lagi di langit, Kazu membantu ibunya untuk menutup café dan membersihkan tempat ini. Malam hari mereka makan dengan lahap, obrolan di rumah ini sedikit kurang dikarenakan sosok ayah yang telah tiada. Hal selanjutnya adalah menemani Rena bermain kadang juga menemaninya belajar. Malam semakin pekat, kantuk menyerang seluruh anggota keluarga. Mereka masuk kamar masing-masing, untuk Rena dia tidur bersama sang ibu.
“Sebenarnya buku apa ini?” melihat-lihat buku berwarna pink dan memiliki sampul kulit.
Dia ingin membukanya tetapi dia tidak berani karena buku itu bukan miliknya, dia putuskan untuk tidur lalu mematikan lampu kamarnya. Namun perasaan menjanggal masih terasa dihatinya, dia sungguh penasaran buku apa itu. Akhirnya dia putuskan untuk mengintipnya, dia berpikir tidak mengapa untuk mengintip beberapa halaman saja. Pemilik buku juga nyatanya tidak datang lagi sampai café tutup dan tidak akan tahu kalau bukunya telah dilihat isinya.
Kazu membuka segelnya yang terlihat seperti tali pada jam tangan. Tidak lupa menyalakan lampu pada meja bacanya, dia membuka halaman pertama buku ini.
“My…Diary…eh..,” tulisan My Diary terpampang jelas pada halaman pertama buku ini.
Diubah oleh the.collega 19-11-2017 20:42


anasabila memberi reputasi
1
2.3K
Kutip
16
Balasan
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan