Kaskus

News

Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
Grandprix Thomryes Marth Kadja - Kalau bukan Kita, Siapa Lagi
Grandprix Thomryes Marth Kadja - Kalau bukan Kita, Siapa Lagi

MENYANDANG gelar doktor dalam bidang kimia di usia masih muda tentunya tidak mudah dilakukan semua orang. Namun, Grandprix Thomryes Marth Kadja yang baru menginjak usia 24 tahun berhasil meraih gelar S-3 dari Institut Teknologi Bandung (ITB) beberapa waktu lalu.



Penelitiannya mengenai zeolit berhasil mengantarkannya meraih predikat doktor termuda di Indonesia saat ini. Lalu bagaimana pandangannya dengan dunia pendidikan dan penelitian di Indonesia saat ini? Apa manfaat dari penelitiannya itu di masa mendatang? Berikut petikan wawancara Media Indonesia dengan pemuda asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut.



Disebut sebagai doktor termuda di Indonesia saat ini. Bagaimana tanggapan Anda atas predikat itu?

Ya saya menganggapnya (predikat) sebagai bonus saja karena dari awal saya tidak mengejar itu dan fokusnya ialah menyelesaikan studi sebaik-baiknya. Ternyata menjadi yang termuda. Ya disyukuri, itu jadi bonus saja.



Sejak di strata-1 sampai doktoral, Anda konsisten memilih bidang kimia. Apa yang membuat Anda tertarik menekuni kimia?

Awal tertariknya adalah baru dapat pelajaran kimia itu kan dari SMA.

Sebenarnya saya tertarik karena gurunya. Cara dia mengajar itu enak. Saya kan jurusan IPA, yang cuma ada fisika, kimia, dan biologi. Kalau fisika itu kebanyakan menghitung, biologi menghafal, dan yang paling seimbang itu, menurut saya, kimia. Jadi saya fokus ke kimia.



Belakangan ini ramai diberitakan soal ilmuwan muda yang berbohong. Bagaimana Anda melihat itu?

Memang sebagai scientist ada suatu prinsip, kita boleh salah tapi tidak boleh berbohong. Penelitian itu adalah usaha untuk mencari sebuah kebenaran, tapi kalau dalam proses mencari usaha itu kita berbohong, apa kebenarannya? Jadi kita boleh salah, tapi jangan berbohong.



Contohnya?

Misalnya, kita menemukan teori A, dan teori A itu ada kekurangannya dan salah, maka diganti dengan teori B. Namun, dalam proses itu kita jangan berbohong.



Riset di Indonesia

Grandprix mengatakan riset itu ditentukan dari produktivitas dan kualitas karya ilmiah. Misalnya, untuk artikel ilmiah internasional harusnya highly reputable. Terindeks oleh Scopus atau mempunyai faktor-faktor lain.

Sejujurnya harus diakui kita masih di belakang dan tertinggal. Jangankan dengan negara Barat, bila dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia dan Singapura saja masih tertinggal. Apa mau begitu terus? Kan tidak juga. Makanya se­bi­sa mungkin kita harus berusaha sebaik mungkin, apalagi sekarang ini masalah infrastruktur juga lagi digenjot.



Terkait dengan riset, apa saja yang sudah Anda lakukan?

Waktu S-3, saya baru bisa memublikasikan tujuh artikel ilmiah internasional. Empat di antaranya itu istilahnya jurnal Q1 atau istilahnya kelas 1-nya atau yang highly reputable-nya. Itu termasuk bagus dan membanggakan untuk kelas Indonesia, maksudnya dari universitas dalam negeri bisa tujuh (artikel ilmiah) terindeks Scopus dan 4 di antaranya itu Q1.



Penelitian Anda untuk bisa lulus mengenai zeolit. Apa saja kendala yang anda temui dalam proses meneliti?

Saya masuk ITB pada 2013, awal-awalnya itu memang instrumen atau alat-alat yang kita butuhkan (untuk meneliti) belum tersedia sehingga kita harus mengirimkan sampel ke Jepang untuk dianalisis. Sebabnya, alatnya adanya di sana.

Namun, semakin ke sini ITB berbenah sehingga alat-alat yang dulu kita harus kirim ke luar negeri, sekarang hampir semua (termasuk yang dibutuhkan di bidang zeolit) ada. Makanya, belakangan ini artikel ilmiah yang kita publikasikan secara internasional itu semuanya nama orang Indonesia. Sebelumnya, karena analisisnya di Jepang, artikel ilmiahnya selain nama kami ada nama orang Jepangnya juga. Semakin ke sini semuanya orang Indonesia. Jadi kita bisa publish di jurnal internasional yang highly reputable. Itu menjadi kebanggaan tersendiri.



Anda meneliti zeolit. Apa itu, bisa dijelaskan? Mengapa tertarik meneli­tinya?

Zeolit itu material yang memiliki dua jenis. Ada yang memang terbentuk secara alami di alam dan ada yang bisa dibuat sendiri, istilahnya zeolit sintetis. Yang saya teliti adalah zeolit sintetis yang kita buat sendiri.

Zeolit ini banyak dipakai di industri petrokimia, fungsinya untuk mengonversi, seperti minyak mentah menjadi bahan bakar gasolin. Belakangan ini juga bisa digunankan untuk mengonversi limbah-limbah biomassa menjadi bahan bakar atau bahan mentah untuk fine chemical.

Zeolit sintetis itu terbuat dari alumina dan silika. Itu silikon oksida, jadi ada oksigennya dan alumino berarti aluminium yang ada oksigennya. Memang dari S-1 saya tertariknya di bidang katalis itu, zeolit dan saat S-1 saya pernah menang juara nasional Olimpiade Sains Nasional (OSN) Pertamina 2012, itu saya juara 1 nasional untuk kategori science project dan proyeknya itu mengerjakan zeolit.



Lalu dari penelitian itu apa yang Anda temukan?

Kita bisa membuat zeolit yang di industri itu umumnya disintesis pada suhu tinggi di atas 100 derajat celsius dan waktunya relatif lama, bahkan ada yang berhari-hari sampai berminggu-minggu.

Dari penelitian saya, kita bisa membuat material yang sama bahkan performanya lebih baik, tetapi temperatur suhu yang dibutuhkan lebih rendah, di bawah 100 derajat celsius. Artinya, kita bisa menghemat konsumsi energi dan biaya yang dikeluarkan juga bisa dipangkas. Jadi, biaya lebih rendah, tapi performanya lebih baik. Itu yang saya temukan.

Kenapa itu bisa ditemukan? Karena kita melakukan formulasi. Dari basic kimia yang dimiliki kita lakukan formulasi, kita buat hipotesis dulu lalu melakukan eksperimen, dan ternyata hipotesisnya betul. Akhirnya bisa menghasilkan penelitian tersebut.



Lalu dari penelitian Anda itu, apa manfaatnya bagi masyarakat umum?

Tentunya tujuan akhirnya ialah kita bisa memproduksi dalam skala besar, skala industri. Sebabnya, material itu dipakai untuk industri petrokimia, tapi industri petrokimia dalam negeri sebagian besar masih mengimpor (material) dari luar negeri.

Seandainya kita buat sendiri, tentunya kemandirian energi nasional bisa terjaga juga dan itu bukan cuma mimpi. Sebabnya, kolega kami di ITB ada yang sudah berhasil memproduksi katalis di dalam negeri, tapi bukan zeolit.

Konsumsi zeolit sendiri cukup besar, kalau memang bisa dilakukan akan menjadi another step untuk kemandirian energi nasional. Dari penelitian kita juga ditemukan material tersebut bisa dibuat dari limbah sekam padi. Jadi sekam padi itu tinggi kandungan silikanya, bisa 15% sampai 25%.

Indonesia adalah negara agraris, selama kita makan nasi pasti produksi sekam padi akan terus berlanjut. Artinya, sekam padi itu dapat menjadi sumber yang sustainable untuk memproduksi material tadi. Itu akan menjadi nilai tambah juga untuk para petani kita. Jadi, tidak hanya berasnya bernilai jual, sekam padinya juga bisa dimanfaatkan untuk zeolit sehingga value added-nya akan semakin tinggi.



Anda menolak tawaran beasiswa dari Korea Selatan dan memilih ITB. Apa pertimbangannya?

Itu waktu lulus S-1. Dari dulu cita-cita saya memang ingin menjadi scientist. Setelah S-1 saya harus sekolah lagi. Waktu itu sudah mendapatkan tawaran dari Korsel dan setelah itu muncul program Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) dari Kemenristek Dikti.

Saya ditawari untuk menyelesaikan S-2 dan S-3 di Indonesia dengan harapan bisa menghasilkan penelitian yang baik dari dalam negeri.

Itu menjadi tantangan tersendiri untuk membuktikan bisa tidak dari dalam negeri menghasilkan penelitian yang selevel dengan luar negeri.



Di Indonesia seorang ilmuwan agak kurang dihargai, sedangkan di negara maju justru didukung penuh pemerintahnya. Bagaimana pendapat Anda?

Mungkin memang banyak orang yang berpandangan seperti itu, tapi pertanyaan selanjutnya adalah apa mau terus-terusan seperti itu? Apa stigma seperti itu mau terus melekat? Kalau tidak ada yang mau memulai, siapa lagi? Saya dididik para pembimbing kalau tidak ada yang mau memulai siapa lagi? Untuk Indonesia ya kita sendiri yang harus memulai.

Progresnya lumayan, misalnya, kami memiliki kelompok zeolit. Anak S-2 kami ada yang sudah bisa memublikasikan jurnal Q1 bahkan anak S-1 juga itu sudah ada yang bisa. Sementara itu, banyak mahasiswa S-3 bidang lainnya di Indonesia yang belum bisa (memublikasikan jurnal Q1), jadi ini kan sebenarnya progres yang baik ke depannya.



Lalu apa rencana penelitian Anda ke depannya?

Tentunya masih akan terkait dengan zeolit. Ini kan masih penelitian dalam skala lab, dalam skala yang kecil sudah terbukti bisa, tapi apakah bisa di skala lebih besar (industri)? Itu akan menjadi tantangan tersendiri, sebab itu dibutuhkan kerja sama dari teman-teman di bidang ilmu lain, bukan cuma orang kimia. Kita tetap butuh kerja sama dan saling support multidisiplin dari teman-teman teknik kimia, teknik industri. Intinya, orang kimia tidak bisa sendiri, butuh bantuan dari teman-teman bidang keilmuan lainnya. (X-7)


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...agi/2017-11-05

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Grandprix Thomryes Marth Kadja - Kalau bukan Kita, Siapa Lagi Grandprix Thomryes Marth Kadja - Tak Kehilangan Masa Muda

- Grandprix Thomryes Marth Kadja - Kalau bukan Kita, Siapa Lagi Masyarakat Diharapkan tidak Berobat ke Luar Negeri

- Grandprix Thomryes Marth Kadja - Kalau bukan Kita, Siapa Lagi Politikus Gerindra Buron Pesta Sabu

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
436
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan