Buzzer memiliki kemampuan menyebarkan informasi. Kehadirannya kerap dianggap menyebalkan, tapi dibutuhkan
Inibaru.id– Pada bulan-bulan politik, pekerjaan sebagai buzzer bisa menjanjikan keuntungan yang cukup besar. Tren ini bermula dari Pemilihan Gubernur Jakarta 2012 pada silam. Sebelum itu, buzzer hanyalah profesi sampingan artis Twitter untuk mempromosikan suatu produk tertentu.
Dilansir Antara, Selasa (31/10/2017), Tim peneliti dari Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) melihat pergeseran pola aktivitas para buzzer di Indonesia ke arah politik sejak beberapa tahun belakangan.
Dalam studi “Di Balik Fenomena Buzzer”, mereka mencatat buzzer mulai menjadi semacam profesi yang menjanjikan keuntungan finansial pada 2009, bersamaan dengan kehadiran media sosial Twitter di Indonesia. Sejumlah perusahaan menggunakan buzzer untuk kepentingan promosi.
Sementara, untuk kepentingan politik, peneliti CIPG Rinaldi Camil mengatakan, awal keterlibatan para buzzer terjadi pada 2012, dalam peristiwa Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
CIPG mendefinisikan buzzer sebagai individu atau akun yang memiliki kemampuan amplifikasi dengan cara menarik perhatian dan membangun percakapan serta bergerak dengan motif tertentu.
Mereka mencatat ada dua motif yang menggerakkan seseorang atau akun untuk melakukan aktivitas buzzing, yaitu komersial atau sukarela. Motif pertama mendapat imbalan, sedangkan yang kedua lazimnya karena kesamaan ideologi atau rasa puas terhadap suatu produk atau jasa.
Pegiat media sosial Enda Nasution, yang turut hadir dalam diskusi tersebut mengatakan, keberadaan Twitter pada 2009 membuat ledakan penggunaan media sosial. Hal ini membuat para pengguna media sosil bisa lebih cepat mendapatkan informasi.
Ia mencontohkan perseteruan antara Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional yang kemudian mampu menggerakkan netizen untuk mengumpulkan koin untuk Prita. Hal ini juga merupakan jasa jejaring sosial.
Nah, bagian pemasaran produk di perusahaan-perusahaan melihat hal ini sebagai peluang marketing. Informasi yang gampang viral melalui media sosial dimanfaatkan mereka. Kala itu, Facebook dan Twitter belum memiliki fitur pemasangan iklan seperti sekarang.
Tim pemasaran akhirnya memilih figur yang memiliki banyak pengikut di Twitter untuk menyebarkan produk mereka.
“Lalu, begitu masuk ke tahun politik, strategi yang sama dipakai untuk memoles persepsi masyarakat,” kata Enda.
Pada 2014, penggunaan buzzer-buzzer profesional kian meluas, bertepatan dengan Pemilihan Presiden 2014. Kegiatan mereka melebar hingga aktivitas kampanye di media sosial. Hal serupa juga terjadi pada Pilgub DKI 2017. (OS/SA)
Bagaimana Menurut Pendapat Agan & Sista ?...