- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[CERPEN] Tumbal


TS
volkrye
[CERPEN] Tumbal
Rianti hanya seorang mahasiswi keperawatan tingkat 1 biasa seperti yang lainnya. Duduk di dalam kelas mendengarkan dosen sambil terkantuk-kantuk, ikut mengerumuni dosen yang sedang mempraktikan sebuah prasat di laboratorium keperawatan atau pergi bergerombol ke kantin untuk menghabiskan jam istirahat makan siang. Demikian rutinitas Rianti di akademi keperawatan hingga akhir semester ke dua.
Meski bukan berita besar, namun mendengar pengumuman pak Komar bahwa mahasiswa keperawatan tingkat 1 akan memulai praktikum lapangan di rumah sakit minggu depan memaksa Rianti harus memutar otak karena dia sudah nyaman dengan rutinitasnya yang “tanpa gangguan” selama ini. Beberapa kakak tingkat yang sudi berbagi pengalaman terkadang menyelipkan cerita tak masuk akal yang membuat Rianti tak nyaman untuk melanjutkan mendengar. Namun tak ada pilihan lain selain tetap mendengarkan karena besar kemungkinan bagi Rianti untuk mengalami hal seperti itu juga.
Terakhir kali Rianti mendengar cerita pengalaman kakak tingkat adalah satu minggu lalu, di lantai dua gedung fakultas keperawatan ketika terjebak hujan badai sore hari usai kuliah. Rianti dan keempat teman satu kost nya memutuskan untuk menunggu hujan reda di dalam kelas. Ternyata yang menunggu hujan reda bukan hanya mereka berlima, Nurma dan pacarnya Dodi kakak tingkat yang kelasnya bersebelahan juga berdiri di depan pintu masuk kelas mereka yang telah dikunci oleh pemelihara bangunan. Rianti mengajak mereka untuk bergabung karena nampaknya hujan semakin deras dan jatuhnya berbelok ke arah gedung oleh angin kencang. Nurma dan Dodi diusir oleh pemelihara bangunan dari kelas karena tidak diperbolehkan berduaan, sementara Rianti dan yang lainnya dibiarkan karena memang tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang berjalan kaki dengan hujan sederas ini tanpa membasahi laptop di dalam masing-masing tas.
“sial emang itu mang Takur, masa kami diusir dari kelas sendiri.” Nurma bersungut-sungut kesal di depan Rianti dan keempat temannya.
“wajarlah yang kita diusir, soalnya tinggal kita berdua. Nanti terjadi hal-hal yang diinginkan” jawab Dodi sambil nyengir.
Nurma mendorong tubuh Dodi pelan kemudian berjalan mendekati Nurma dan keempat temannya. Rianti memperkenalkan Fatimah, Aryani, dan kembar Danis dan Dinda pada Nurma.
“Kak Nur, aku denger kak Nur ngalamin kejadian aneh di rumah sakit pas praktikum pertama kali. Aku jadi serem nih kak Nur, dua minggu lagi kita juga kan mau mulai ke rumah sakit.” Tiba-tiba Fatimah bertanya mengenai berita yang sempat heboh di kalangan mahasiswa keperawatan selama beberapa bulan.
“oh, kalian denger juga ya ceritanya. Sebetulnya aku sendiri sampai sekarang masih suka ketakutan kalau inget-inget kejadian itu. Jadi kita bahas yang lain aja dulu gimana?” pinta Nurma.
“kalian ngga perlu ikutan takut” tiba-tiba kata Dodi “cerita Nurma itu nyata tapi bukan berarti harus dijadiin alasan kalian takut. Aku sendiri yang nyenyak lagi tidur di ruang mahasiswa aja denger pasien itu ketawa cekikikan sampai semua keluarga pasien di lantai 1 berhamburan keluar bangsal karena yaaa emang ketawanya nyeremin. Jam 1 malem bayangin.” Lanjut Dodi.
“dod udah dod serem” pinta Nurma lagi.
“jadi ceritanya, pasien ibu-ibu itu jam 1 malem keluarganya minta tolong kami untuk lihat keadaannya karena setelah tertidur 3 hari akhirnya matanya kebuka dan melotot lebar ngga ngedip-ngedip. Akumah lanjut tidur, Nurma yang masih main game di handphone terpaksa ikut keluarga pasien untuk ngecek ke kamer rawat. Nurma bilang pas masuk ruang rawat itu bau anyir sampe dia nahan muntah. Pas tiba di ranjang pasiennya Nurma kaget karena ibu itu telentang di atas ranjang dengan matanya merah melotot dan rambutnya yang panjang acak-acakan. Nurma bermaksud mau ngecek frekuensi napasnya, tapi selama semenit diliatin dada ibu itu diem aja ngga naik turun. Nurma lalu pegang nadi di tangan kanan ibu itu sambil nyapa tapi ngga dijawab. Anehnya selama semenit Nurma pegang nadinya ngga ada alias jantungnya ngga berdetak plus tangannya dingin banget kayak tangan mayat. Makanya Nurma langsung selimutin itu ibu ibu. Nah, dia tiba-tiba ketawa cekikikan kenceng banget pas Nurma pegang kening ibu itu, maksudnya mau ngecek suhu tubuhnya eh malah ibu itu dengan mata melototnya tiba-tiba natap ke arah Nurma sampe saking kagetnya dia jatuh kebelakang nabrak ranjang pasien lain. Ada mungkin semenit dua menitan ibu itu ketawa. Pokoknya jam 1 malem dari dalem ruang mahasiswa yang pintunya ketutup aku denger banyak langkah kaki berlarian menuju pintu keluar lalu ketawanya berhenti dan ibu itu meninggal dengan mata masih melotot. Nurma nangis waktu itu sampe ngompol hehe…..” Dodi bercerita panjang lebar dengan gaya bicaranya yang santai namun demikian Rianti dan keempat lainnya tetap saja tegang mendengar cerita itu. Bahkan Nurma sampai menangis ketakutan.
“sayang jangan nangis dong, kan aku ada disini ngga perlu takut.” Dodi menaruh lengannya di bahu Nurma dan mendekapnya.
“aku takut, Dod. Rasanya ibu itu ada disini lagi melototin aku. Kamu ngga liat langsung sih matanya.” Kata Nurma sambil menangis.
Inilah yang membuat Rianti selalu merasa tidak nyaman dengan cerita hantu. Yang dikatakan Nurma barusan benar adanya. Diikuti suara halilintar muncul sosok ibu-ibu kurus mengenakan daster putih dengan rambut acak-acakan berdiri di depan meja dosen sambil melotot ke arah Nurma. Hanya Rianti yang dapat melihatnya dan seperti biasanya Rianti hanya berusaha mengabaikan dengan melakukan aktivitas yang dapat mengalihkan perhatian.
“kak Nur mau minum, aku bawa minum.” Rianti menyerahkan botol minum berisi susu coklat yang tinggal setengah.
Pak Komar yang sedang menempelkan jadwal dinas di mading kelas dikerubungi mahasiswa yang penasaran dengan jadwal mereka masing-masing. Rianti beruntung karena sesuai jadwal Fatimah menjadi teman satu shift nya dari awal hingga akhir. Kebiasaan Fatimah membuat dokumentasi pasti akan sangat berguna dalam menyusun laporan praktikum lapangan mengingat Rianti bukan perempuan yang rajin.
Di hari pertama praktikum saja Fatimah sudah membuat Rianti tertawa geli karena catatan yang dia selipkan melebihi kapasitas binder dan akhirnya Rianti memutuskan untuk membawakan catatannya hingga ke bangsal tempat mereka akan praktikum. Rianti mengikuti Fatimah dari belakang menyusuri lorong yang menghubungkan gedung A dan gedung B sambil sesekali melihat ke arah denah rumah sakit yang membingungkan. Sesekali Fatimah bertanya pada satpam karena ternyata rumah sakit ini cukup luas dan jalurnya membingungkan. Satpam ke lima yang Fatimah tanyai mengarahkan kami ke sebuah bangsal dengan bangunan yang sepertinya belum sempat di renovasi.
Gapura kecil tempat keluar masuk utama bangunan ini bertuliskan “SELAMAT DATANG DI RUANG DAHLIA.” Bangunan ini benar-benar mengingatkan Rianti pada bangunan rumah sakit jiwa di film horor yang pernah ia tonton. Terdapat 14 kamar saling berhadapan dan lorong pemisah selebar 3 meter diantaranya. Tembok putih kusam dan lantai masih dari ubin merah tua memberi kesan suasana di dalam bangunan ini hanya ditempati oleh pasien dengan ekonomi dibawah rata-rata.
Rianti dan Fatimah disambut oleh perawat kepala ruangan disana, namanya pak Made. Beliau menjelaskan bahwa ruangan ini adalah tempat pasien dengan penyakit infeksi. Tak heran kalau semua perawat yang lalu lalang pagi itu mengenakan masker. Setelah memperkenalkan kami pada semua karyawan disana pak Made memilihkan pasien untuk kami sesuai target pencapaian. Rianti mendapatkan pasien laki-laki seusianya dengan penyakit tetanus. Sementara pasien Fatimah adalah ibu muda berusia sekitar 30an dengan HIV/AIDS. Fatimah sempat protes dan memintaku bertukar pasien karena ketakutan dengan wajah dan mata pasiennya yang kuning serta berbau. Namun pak Made melarang hal itu.
Untuk 3 hari pertama Rianti dan Fatimah mendapat shift pagi dan laporan pasien dapat dibuat bersama pada malam harinya di kamar kost. Fatimah nampaknya mulai terbiasa dengan pasiennya, sambil menulis laporan Fatimah menceritakan bahwa akhirnya pasiennya mengaku bahwa dirinya terkena HIV akibat suaminya yang suka bermain dengan perempuan nakal.
“dia mulai trust sama aku, Ri. Aku seneng banget akhirnya dia mau terbuka sama aku.” Kata Fatimah sambil terus menulis laporan.
“pasienku juga mulai terbuka, dia berani nembak sama aku.” Jawab Rianti sambil manyun. Tawa Fatimah meledak melihat ekspresi wajah Rianti.
“ciyeee cinlok!” ledek Fatimah.
“eh tapi seriusan lho Im (Imah). Dia beneran anak laki-laki baik. Anaknya lembut banget kalau lagi sadar. Bibinya juga sayang banget sama dia. Tiap pagi aku dateng udah dimandiin dan bajunya biar hanya kaos tapi selalu tampak rapih. Terus mamanya selalu ganti perlaknya sendiri kalau kejangnya kumat sampe ngompol. Aku kesana hanya nyemangatin dan ngasih obat.” Rianti menceritakan tentang pasiennya dengan wajah serius.
“dia kejang sampai ngompol? Berarti udah parah beneran dong penyakitnya?” tanya Fatimah
“iya, obat yang aku kasih hanya anti kejang doang. Kata dokter antibiotik udah ngga ada yang mempan dan hanya keajaiban yang bisa bikin dia sembuh lagi.”
“apa yang bikin infeksinya?”
“nah, ini dia yang aneh. Dia cerita kalau 6 bulan lalu dia udah mau nikah tapi tiba-tiba calon istrinya tanpa alasan ninggalin dia sehari sebelum pernikahan dan keesokan harinya dari perut dia tumbuh beberapa kawat berkarat. Mereka berobat ke orang pintar dan dalam seminggu kawat itu akhirnya ngga tumbuh lagi. Tapi udah dua bulan ini dia jadi suka tiba-tiba kejang. Awalnya kejang sebentar tapi makin lama makin parah suka sampai ngompol dan akhirnya dibawa oleh ortunya ke rumah sakit hingga sekarang. Perkembangannya sih ngga banyak, tapi kalau sudah dikasih obat anti kejang bibinya bilang lebih cepat selesai kejangnya lalu tidur.” Rianti menjelaskan panjang lebar kisah pasiennya.
“pasti ulah orang jahat yang iri sama pasienmu itu sampai calon istrinya kabur dan dia dibikin sakit” komentar Fatimah.
“mereka juga menduga seperti itu, tapi aku bisa apa selain terus motivasi dia buat terus bikin tulisan sebagai hobinya. Pas dia bilang suka sama aku tadi juga antara geli tapi kasian.”
“ciyeee kamu ada hati ya sama dia?” ledek Fatimah
“kasian iya, tapi biasa aja.”
“OY! TIDUR UDAH MALEM BERISIK TAU!!
Tiba-tiba Danis berteriak dari kamar sebelah. Rianti dan Fatimah terlalu asyik mengobrol hingga tidak terasa sudah pukul 1 pagi.
Hari ini Rianti dan Fatimah baru bersiap berangkat ketika Danis dan Dinda baru pulang shift sore. Fatimah membawa tas besar dan percaya atau tidak dia membawa boneka beruang yang ia paksakan agar masuk ke dalam tas. Akibatnya semua catatan dan binder dititipkan di tas kecil milik Rianti hingga bentuk nampak membulat. Mereka berjalan di lorong rumah sakit malam hari menjadi perhatian satpam dan beberapa keluarga pasien.
“liat Imeh kelakuanmu, kita mahasiswa praktikan tapi dikira mau pindahan.” Protes Rianti.
“bodo amat!” Fatimah terus berjalan dengan dagu terangkat didepan Rianti.
Ternyata penampilan ruang Dahlia pada malam hari berkali-kali lebih menyeramkan daripada ketika masih banyak cahaya matahari. Lampu neon yang menggantung dibawah gapura berkedip-kedip seperti sebentar lagi akan mati. Keluarga pasien juga tidak banyak terlihat lalu lalang seperti saat siang. Rianti dan Fatimah melapor untuk bertugas ke perawat penanggung jawab jaga malam. Di ruang perawat hanya ada 4 orang yang berdinas. Tiga perawat perempuan dan satu perawat laki-laki, namanya mas Anom. Dia yang menjadi penganggung jawab shift malam kali ini.
“kalian santai aja kalau dines malem, pastiin semua obat dikasih, suruh semua pasien pipis dulu baru ganti dengan infus baru. Kalian bisa tidur sampai pagi.” Kata mas Anom.
Rianti dan Fatimah hanya bisa diam mendengar kalimat barusan, setelah menandatangani absen mereka pamit untuk menyimpan tas di ruang mahasiswa.
“yang kayak gini nih yang bikin kesan perawat hancur di Indonesia.” Protes Fatimah keras
“yaaaa….mau gimana lagi, perawat hanya 4 pasien disini 35 totalnya lho, Meh.” RIanti mencoba menenangkan Fatimah.
“iya tapi tetep aja ngga separah itu kan? Masa pasien ditinggal tidur, minimalnya stand by lah.”
“kamu bawa boneka bukannya supaya bisa tidur?”
“aku bawa boneka biar bisa ngobrol kalau kamu tidur, udah ayo liat status pasien barangkali ada yang jadwal obatnya tengah malam.”
Dari total 35 pasien di ruangan dahlia hanya 4 pasien yang mendapat obat “jika diperlukan” termasuk pasien kelolaan Rianti yang bisa kejang kapan saja dan memerlukan obat anti kejang. Selebihnya ternyata sudah mendapat obatnya masing-masing. Rianti dan Fatimah berkeliling ke setiap kamar menanyakan keadaan mereka dan memberitahu kalau perlu sesuatu mereka ada di ruang mahasiswa dan siap dipanggil. Baru setelah itu ke pasien kelolaan masing-masing yang paling terakhir.
Pasien kelolaan Fatimah sudah tertidur pulas, dan Fatimah memutuskan untuk ke kamar rawat tempat pasien Rianti berada. Setibanya di kamar rawat Fatimah melihat Rianti sedang menyuntikkan obat anti kejang melalui selang infus pasiennya. Untuk pertama kalinya Fatimah melihat seseorang kejang sedemikian parah. Mata remaja laki-laki ini semua memutih, dan mulutnya sedikit menganga namun ototnya nampak sekali menegang, jika bibinya dan Rianti tidak menahan lengan yang dipasang infus mungkin kateter infus yang terpasang di punggung tangan pasien ini sudah terlepas. Dari mulut pasien ini terdengar “gghhhhkk…gghhhkkk…” dan air liurnya mengalir di ujung bibir hingga membasahi bantal. Rasa iba muncul di hati Fatimah melihat sang bibi yang menangis sambil menahan gerakan tangan keponakannya yang tidak terkendali.
Beberapa detik setelah Rianti memberikan obat penenang akhirnya perlahan otot di tubuh pasien ini melemas. Tersisa jari di kedua kakinya yang masih menekuk, si bibi mencoba melemaskannya sambil sesenggukan. Tak terasa air mata Fatimah mengalir ketika melihat si bibi mengecup kening keponakannya yang kini nafasnya lebih teratur dan mulai tertidur. Rianti mengambil tisu dari meja pasien dan me lap pipi pasiennya dari liur. Fatimah pergi mengambil sarung bantal dari ruang kain untuk ganti.
“bu tolong angkat kepala mas nya sebentar, saya ganti sarung bantalnya sudah basah.” Fatimah menawarkan sarung bantal baru pada bibi pasien.
“iya nok terimakasih banyak.” Jawab si bibi itu sambil mengangkat kepala keponakannya yang tertidur.
“ibu kalau mau tidur silakan, nanti kami berdua yang menunggui mas nya. Sepertinya ibu lelah” Fatimah menawarkan lagi bantuan ketika melihat kantung mata di ibu itu menghitam dan kedua matanya merah menahan kantuk.
“iya nok, ibu lelah. Kasian Fajar terus menderita mending dia mati aja daripada menderita lahir batin seperti ini” Jawab ibu itu kemudian melanjutkan tangisannya sambil sesenggukan. “mamanya baru meniggal ngga wajar tahun lalu dan warga menganggap kuntilanak yang bergentayangan di desa adalah mamanya padahal bukan, dia juga sama korban tumbal seperti anak ini.” Fatimah yang memang mudah iba memeluk ibu itu sambil menepuk-nepuk punggungnya.
“ibu istirahat saja ya, Rianti dan saya akan menjaga mas nya disini.”
“makasih ya nok Rianti udah baik sama kita yang bukan siapa-siapa, nok ini juga”
“saya Fatimah bu”
“iya nok Fatimah juga terimakasih banyak. Ibu tidur sebentar ya dibawah.”
Fatimah terenyuh melihat si bibi tidur di kolong ranjang keponakannya hanya beralaskan tikar yang sudah bolong dimana-mana dengan hanya tangan sebagai bantalannya. Dia akhirnya berinisiatif mengambil boneka beruang dari tas nya untuk dijadikan bantal. Tak perlu waktu lama, si bibi sudah tertidur sangat lelap dengan bantal boneka beruang di kepalanya.
“makasi ya, suster Rianti, dan suster juga.” Tiba-tiba Fajar terbangun
“eh, Fajar lanjut aja tidur lagi. Udah malem.” Kata Rianti
“tolong kasih juga selimutnya ke bibi, aku udah ngga butuh selimut lagi.” Pinta Fajar sambil menyibakkan selimutnya perlahan dan menyerahkan ke Rianti agar diberikan ke bibinya di kolong ranjang. Dengan sayang Fatimah menyelimuti si bibi lalu duduk di kursi di samping kiri ranjang sambil bermain handphone.
Sepertinya Rianti mengerti mengapa Fajar berkata tidak memerlukan selimut lagi. Di belakang Fatimah dan di samping kanan ranjang tiba-tiba muncul dua sosok hitam tinggi besar dan hanya Rianti yang menyadari. Salah satu dari mereka sekonyong-konyong memasukkan tangannya ke perut Fajar. Rianti hanya bisa terdiam, tubuhnya kaku. Dia dapat merasakan syringe yang masih digenggamnya di tangan kanan basah oleh keringatnya sendiri. Sosok hitam yang lain memukulkan tangannya ke dada Fajar hingga mulut Fajar menganga tanpa bersuara seperti manahan sakit dan nafasnya terhenti saat itu juga. Mata Fajar melotot ke atas dan bibir bawah Fajar tiba-tiba membiru. Tanpa Rianti sadari air matanya meleleh melihat kejadian itu. Kedua sosok hitam besar di hadapan Rianti kemudian menghilang begitu saja seperti tidak menghiraukan Rianti yang sejak tadi mengetahui apa yang mereka lakukan.
Fatimah menoleh dari fokusnya ke handphone mendengar isak tangis Rianti yang memecah keheningan.
“Ri, kamu kenapa?” tanya Fatimah
“Ri, Fajar kenapa melotot gini? Mas, bangun mas, mas….mas Fajar bangun.” Fatimah menggoyang goyang tubuh Fajar hingga tangan kanannya menggantung di tepi ranjang dan membuka kepalannya. Rianti melihat sebuah foto lusuh seorang laki-laki dan perempuan terjatuh dari dalam genggaman Fajar. Rianti memungutnya, di foto itu nampak Nurma dan Fajar memegang kertas bertuliskan tanggal pernikahan mereka 6 bulan yang lalu.
Meski bukan berita besar, namun mendengar pengumuman pak Komar bahwa mahasiswa keperawatan tingkat 1 akan memulai praktikum lapangan di rumah sakit minggu depan memaksa Rianti harus memutar otak karena dia sudah nyaman dengan rutinitasnya yang “tanpa gangguan” selama ini. Beberapa kakak tingkat yang sudi berbagi pengalaman terkadang menyelipkan cerita tak masuk akal yang membuat Rianti tak nyaman untuk melanjutkan mendengar. Namun tak ada pilihan lain selain tetap mendengarkan karena besar kemungkinan bagi Rianti untuk mengalami hal seperti itu juga.
Terakhir kali Rianti mendengar cerita pengalaman kakak tingkat adalah satu minggu lalu, di lantai dua gedung fakultas keperawatan ketika terjebak hujan badai sore hari usai kuliah. Rianti dan keempat teman satu kost nya memutuskan untuk menunggu hujan reda di dalam kelas. Ternyata yang menunggu hujan reda bukan hanya mereka berlima, Nurma dan pacarnya Dodi kakak tingkat yang kelasnya bersebelahan juga berdiri di depan pintu masuk kelas mereka yang telah dikunci oleh pemelihara bangunan. Rianti mengajak mereka untuk bergabung karena nampaknya hujan semakin deras dan jatuhnya berbelok ke arah gedung oleh angin kencang. Nurma dan Dodi diusir oleh pemelihara bangunan dari kelas karena tidak diperbolehkan berduaan, sementara Rianti dan yang lainnya dibiarkan karena memang tidak memungkinkan bagi mereka untuk pulang berjalan kaki dengan hujan sederas ini tanpa membasahi laptop di dalam masing-masing tas.
“sial emang itu mang Takur, masa kami diusir dari kelas sendiri.” Nurma bersungut-sungut kesal di depan Rianti dan keempat temannya.
“wajarlah yang kita diusir, soalnya tinggal kita berdua. Nanti terjadi hal-hal yang diinginkan” jawab Dodi sambil nyengir.
Nurma mendorong tubuh Dodi pelan kemudian berjalan mendekati Nurma dan keempat temannya. Rianti memperkenalkan Fatimah, Aryani, dan kembar Danis dan Dinda pada Nurma.
“Kak Nur, aku denger kak Nur ngalamin kejadian aneh di rumah sakit pas praktikum pertama kali. Aku jadi serem nih kak Nur, dua minggu lagi kita juga kan mau mulai ke rumah sakit.” Tiba-tiba Fatimah bertanya mengenai berita yang sempat heboh di kalangan mahasiswa keperawatan selama beberapa bulan.
“oh, kalian denger juga ya ceritanya. Sebetulnya aku sendiri sampai sekarang masih suka ketakutan kalau inget-inget kejadian itu. Jadi kita bahas yang lain aja dulu gimana?” pinta Nurma.
“kalian ngga perlu ikutan takut” tiba-tiba kata Dodi “cerita Nurma itu nyata tapi bukan berarti harus dijadiin alasan kalian takut. Aku sendiri yang nyenyak lagi tidur di ruang mahasiswa aja denger pasien itu ketawa cekikikan sampai semua keluarga pasien di lantai 1 berhamburan keluar bangsal karena yaaa emang ketawanya nyeremin. Jam 1 malem bayangin.” Lanjut Dodi.
“dod udah dod serem” pinta Nurma lagi.
“jadi ceritanya, pasien ibu-ibu itu jam 1 malem keluarganya minta tolong kami untuk lihat keadaannya karena setelah tertidur 3 hari akhirnya matanya kebuka dan melotot lebar ngga ngedip-ngedip. Akumah lanjut tidur, Nurma yang masih main game di handphone terpaksa ikut keluarga pasien untuk ngecek ke kamer rawat. Nurma bilang pas masuk ruang rawat itu bau anyir sampe dia nahan muntah. Pas tiba di ranjang pasiennya Nurma kaget karena ibu itu telentang di atas ranjang dengan matanya merah melotot dan rambutnya yang panjang acak-acakan. Nurma bermaksud mau ngecek frekuensi napasnya, tapi selama semenit diliatin dada ibu itu diem aja ngga naik turun. Nurma lalu pegang nadi di tangan kanan ibu itu sambil nyapa tapi ngga dijawab. Anehnya selama semenit Nurma pegang nadinya ngga ada alias jantungnya ngga berdetak plus tangannya dingin banget kayak tangan mayat. Makanya Nurma langsung selimutin itu ibu ibu. Nah, dia tiba-tiba ketawa cekikikan kenceng banget pas Nurma pegang kening ibu itu, maksudnya mau ngecek suhu tubuhnya eh malah ibu itu dengan mata melototnya tiba-tiba natap ke arah Nurma sampe saking kagetnya dia jatuh kebelakang nabrak ranjang pasien lain. Ada mungkin semenit dua menitan ibu itu ketawa. Pokoknya jam 1 malem dari dalem ruang mahasiswa yang pintunya ketutup aku denger banyak langkah kaki berlarian menuju pintu keluar lalu ketawanya berhenti dan ibu itu meninggal dengan mata masih melotot. Nurma nangis waktu itu sampe ngompol hehe…..” Dodi bercerita panjang lebar dengan gaya bicaranya yang santai namun demikian Rianti dan keempat lainnya tetap saja tegang mendengar cerita itu. Bahkan Nurma sampai menangis ketakutan.
“sayang jangan nangis dong, kan aku ada disini ngga perlu takut.” Dodi menaruh lengannya di bahu Nurma dan mendekapnya.
“aku takut, Dod. Rasanya ibu itu ada disini lagi melototin aku. Kamu ngga liat langsung sih matanya.” Kata Nurma sambil menangis.
Inilah yang membuat Rianti selalu merasa tidak nyaman dengan cerita hantu. Yang dikatakan Nurma barusan benar adanya. Diikuti suara halilintar muncul sosok ibu-ibu kurus mengenakan daster putih dengan rambut acak-acakan berdiri di depan meja dosen sambil melotot ke arah Nurma. Hanya Rianti yang dapat melihatnya dan seperti biasanya Rianti hanya berusaha mengabaikan dengan melakukan aktivitas yang dapat mengalihkan perhatian.
“kak Nur mau minum, aku bawa minum.” Rianti menyerahkan botol minum berisi susu coklat yang tinggal setengah.
Pak Komar yang sedang menempelkan jadwal dinas di mading kelas dikerubungi mahasiswa yang penasaran dengan jadwal mereka masing-masing. Rianti beruntung karena sesuai jadwal Fatimah menjadi teman satu shift nya dari awal hingga akhir. Kebiasaan Fatimah membuat dokumentasi pasti akan sangat berguna dalam menyusun laporan praktikum lapangan mengingat Rianti bukan perempuan yang rajin.
Di hari pertama praktikum saja Fatimah sudah membuat Rianti tertawa geli karena catatan yang dia selipkan melebihi kapasitas binder dan akhirnya Rianti memutuskan untuk membawakan catatannya hingga ke bangsal tempat mereka akan praktikum. Rianti mengikuti Fatimah dari belakang menyusuri lorong yang menghubungkan gedung A dan gedung B sambil sesekali melihat ke arah denah rumah sakit yang membingungkan. Sesekali Fatimah bertanya pada satpam karena ternyata rumah sakit ini cukup luas dan jalurnya membingungkan. Satpam ke lima yang Fatimah tanyai mengarahkan kami ke sebuah bangsal dengan bangunan yang sepertinya belum sempat di renovasi.
Gapura kecil tempat keluar masuk utama bangunan ini bertuliskan “SELAMAT DATANG DI RUANG DAHLIA.” Bangunan ini benar-benar mengingatkan Rianti pada bangunan rumah sakit jiwa di film horor yang pernah ia tonton. Terdapat 14 kamar saling berhadapan dan lorong pemisah selebar 3 meter diantaranya. Tembok putih kusam dan lantai masih dari ubin merah tua memberi kesan suasana di dalam bangunan ini hanya ditempati oleh pasien dengan ekonomi dibawah rata-rata.
Rianti dan Fatimah disambut oleh perawat kepala ruangan disana, namanya pak Made. Beliau menjelaskan bahwa ruangan ini adalah tempat pasien dengan penyakit infeksi. Tak heran kalau semua perawat yang lalu lalang pagi itu mengenakan masker. Setelah memperkenalkan kami pada semua karyawan disana pak Made memilihkan pasien untuk kami sesuai target pencapaian. Rianti mendapatkan pasien laki-laki seusianya dengan penyakit tetanus. Sementara pasien Fatimah adalah ibu muda berusia sekitar 30an dengan HIV/AIDS. Fatimah sempat protes dan memintaku bertukar pasien karena ketakutan dengan wajah dan mata pasiennya yang kuning serta berbau. Namun pak Made melarang hal itu.
Untuk 3 hari pertama Rianti dan Fatimah mendapat shift pagi dan laporan pasien dapat dibuat bersama pada malam harinya di kamar kost. Fatimah nampaknya mulai terbiasa dengan pasiennya, sambil menulis laporan Fatimah menceritakan bahwa akhirnya pasiennya mengaku bahwa dirinya terkena HIV akibat suaminya yang suka bermain dengan perempuan nakal.
“dia mulai trust sama aku, Ri. Aku seneng banget akhirnya dia mau terbuka sama aku.” Kata Fatimah sambil terus menulis laporan.
“pasienku juga mulai terbuka, dia berani nembak sama aku.” Jawab Rianti sambil manyun. Tawa Fatimah meledak melihat ekspresi wajah Rianti.
“ciyeee cinlok!” ledek Fatimah.
“eh tapi seriusan lho Im (Imah). Dia beneran anak laki-laki baik. Anaknya lembut banget kalau lagi sadar. Bibinya juga sayang banget sama dia. Tiap pagi aku dateng udah dimandiin dan bajunya biar hanya kaos tapi selalu tampak rapih. Terus mamanya selalu ganti perlaknya sendiri kalau kejangnya kumat sampe ngompol. Aku kesana hanya nyemangatin dan ngasih obat.” Rianti menceritakan tentang pasiennya dengan wajah serius.
“dia kejang sampai ngompol? Berarti udah parah beneran dong penyakitnya?” tanya Fatimah
“iya, obat yang aku kasih hanya anti kejang doang. Kata dokter antibiotik udah ngga ada yang mempan dan hanya keajaiban yang bisa bikin dia sembuh lagi.”
“apa yang bikin infeksinya?”
“nah, ini dia yang aneh. Dia cerita kalau 6 bulan lalu dia udah mau nikah tapi tiba-tiba calon istrinya tanpa alasan ninggalin dia sehari sebelum pernikahan dan keesokan harinya dari perut dia tumbuh beberapa kawat berkarat. Mereka berobat ke orang pintar dan dalam seminggu kawat itu akhirnya ngga tumbuh lagi. Tapi udah dua bulan ini dia jadi suka tiba-tiba kejang. Awalnya kejang sebentar tapi makin lama makin parah suka sampai ngompol dan akhirnya dibawa oleh ortunya ke rumah sakit hingga sekarang. Perkembangannya sih ngga banyak, tapi kalau sudah dikasih obat anti kejang bibinya bilang lebih cepat selesai kejangnya lalu tidur.” Rianti menjelaskan panjang lebar kisah pasiennya.
“pasti ulah orang jahat yang iri sama pasienmu itu sampai calon istrinya kabur dan dia dibikin sakit” komentar Fatimah.
“mereka juga menduga seperti itu, tapi aku bisa apa selain terus motivasi dia buat terus bikin tulisan sebagai hobinya. Pas dia bilang suka sama aku tadi juga antara geli tapi kasian.”
“ciyeee kamu ada hati ya sama dia?” ledek Fatimah
“kasian iya, tapi biasa aja.”
“OY! TIDUR UDAH MALEM BERISIK TAU!!
Tiba-tiba Danis berteriak dari kamar sebelah. Rianti dan Fatimah terlalu asyik mengobrol hingga tidak terasa sudah pukul 1 pagi.
Hari ini Rianti dan Fatimah baru bersiap berangkat ketika Danis dan Dinda baru pulang shift sore. Fatimah membawa tas besar dan percaya atau tidak dia membawa boneka beruang yang ia paksakan agar masuk ke dalam tas. Akibatnya semua catatan dan binder dititipkan di tas kecil milik Rianti hingga bentuk nampak membulat. Mereka berjalan di lorong rumah sakit malam hari menjadi perhatian satpam dan beberapa keluarga pasien.
“liat Imeh kelakuanmu, kita mahasiswa praktikan tapi dikira mau pindahan.” Protes Rianti.
“bodo amat!” Fatimah terus berjalan dengan dagu terangkat didepan Rianti.
Ternyata penampilan ruang Dahlia pada malam hari berkali-kali lebih menyeramkan daripada ketika masih banyak cahaya matahari. Lampu neon yang menggantung dibawah gapura berkedip-kedip seperti sebentar lagi akan mati. Keluarga pasien juga tidak banyak terlihat lalu lalang seperti saat siang. Rianti dan Fatimah melapor untuk bertugas ke perawat penanggung jawab jaga malam. Di ruang perawat hanya ada 4 orang yang berdinas. Tiga perawat perempuan dan satu perawat laki-laki, namanya mas Anom. Dia yang menjadi penganggung jawab shift malam kali ini.
“kalian santai aja kalau dines malem, pastiin semua obat dikasih, suruh semua pasien pipis dulu baru ganti dengan infus baru. Kalian bisa tidur sampai pagi.” Kata mas Anom.
Rianti dan Fatimah hanya bisa diam mendengar kalimat barusan, setelah menandatangani absen mereka pamit untuk menyimpan tas di ruang mahasiswa.
“yang kayak gini nih yang bikin kesan perawat hancur di Indonesia.” Protes Fatimah keras
“yaaaa….mau gimana lagi, perawat hanya 4 pasien disini 35 totalnya lho, Meh.” RIanti mencoba menenangkan Fatimah.
“iya tapi tetep aja ngga separah itu kan? Masa pasien ditinggal tidur, minimalnya stand by lah.”
“kamu bawa boneka bukannya supaya bisa tidur?”
“aku bawa boneka biar bisa ngobrol kalau kamu tidur, udah ayo liat status pasien barangkali ada yang jadwal obatnya tengah malam.”
Dari total 35 pasien di ruangan dahlia hanya 4 pasien yang mendapat obat “jika diperlukan” termasuk pasien kelolaan Rianti yang bisa kejang kapan saja dan memerlukan obat anti kejang. Selebihnya ternyata sudah mendapat obatnya masing-masing. Rianti dan Fatimah berkeliling ke setiap kamar menanyakan keadaan mereka dan memberitahu kalau perlu sesuatu mereka ada di ruang mahasiswa dan siap dipanggil. Baru setelah itu ke pasien kelolaan masing-masing yang paling terakhir.
Pasien kelolaan Fatimah sudah tertidur pulas, dan Fatimah memutuskan untuk ke kamar rawat tempat pasien Rianti berada. Setibanya di kamar rawat Fatimah melihat Rianti sedang menyuntikkan obat anti kejang melalui selang infus pasiennya. Untuk pertama kalinya Fatimah melihat seseorang kejang sedemikian parah. Mata remaja laki-laki ini semua memutih, dan mulutnya sedikit menganga namun ototnya nampak sekali menegang, jika bibinya dan Rianti tidak menahan lengan yang dipasang infus mungkin kateter infus yang terpasang di punggung tangan pasien ini sudah terlepas. Dari mulut pasien ini terdengar “gghhhhkk…gghhhkkk…” dan air liurnya mengalir di ujung bibir hingga membasahi bantal. Rasa iba muncul di hati Fatimah melihat sang bibi yang menangis sambil menahan gerakan tangan keponakannya yang tidak terkendali.
Beberapa detik setelah Rianti memberikan obat penenang akhirnya perlahan otot di tubuh pasien ini melemas. Tersisa jari di kedua kakinya yang masih menekuk, si bibi mencoba melemaskannya sambil sesenggukan. Tak terasa air mata Fatimah mengalir ketika melihat si bibi mengecup kening keponakannya yang kini nafasnya lebih teratur dan mulai tertidur. Rianti mengambil tisu dari meja pasien dan me lap pipi pasiennya dari liur. Fatimah pergi mengambil sarung bantal dari ruang kain untuk ganti.
“bu tolong angkat kepala mas nya sebentar, saya ganti sarung bantalnya sudah basah.” Fatimah menawarkan sarung bantal baru pada bibi pasien.
“iya nok terimakasih banyak.” Jawab si bibi itu sambil mengangkat kepala keponakannya yang tertidur.
“ibu kalau mau tidur silakan, nanti kami berdua yang menunggui mas nya. Sepertinya ibu lelah” Fatimah menawarkan lagi bantuan ketika melihat kantung mata di ibu itu menghitam dan kedua matanya merah menahan kantuk.
“iya nok, ibu lelah. Kasian Fajar terus menderita mending dia mati aja daripada menderita lahir batin seperti ini” Jawab ibu itu kemudian melanjutkan tangisannya sambil sesenggukan. “mamanya baru meniggal ngga wajar tahun lalu dan warga menganggap kuntilanak yang bergentayangan di desa adalah mamanya padahal bukan, dia juga sama korban tumbal seperti anak ini.” Fatimah yang memang mudah iba memeluk ibu itu sambil menepuk-nepuk punggungnya.
“ibu istirahat saja ya, Rianti dan saya akan menjaga mas nya disini.”
“makasih ya nok Rianti udah baik sama kita yang bukan siapa-siapa, nok ini juga”
“saya Fatimah bu”
“iya nok Fatimah juga terimakasih banyak. Ibu tidur sebentar ya dibawah.”
Fatimah terenyuh melihat si bibi tidur di kolong ranjang keponakannya hanya beralaskan tikar yang sudah bolong dimana-mana dengan hanya tangan sebagai bantalannya. Dia akhirnya berinisiatif mengambil boneka beruang dari tas nya untuk dijadikan bantal. Tak perlu waktu lama, si bibi sudah tertidur sangat lelap dengan bantal boneka beruang di kepalanya.
“makasi ya, suster Rianti, dan suster juga.” Tiba-tiba Fajar terbangun
“eh, Fajar lanjut aja tidur lagi. Udah malem.” Kata Rianti
“tolong kasih juga selimutnya ke bibi, aku udah ngga butuh selimut lagi.” Pinta Fajar sambil menyibakkan selimutnya perlahan dan menyerahkan ke Rianti agar diberikan ke bibinya di kolong ranjang. Dengan sayang Fatimah menyelimuti si bibi lalu duduk di kursi di samping kiri ranjang sambil bermain handphone.
Sepertinya Rianti mengerti mengapa Fajar berkata tidak memerlukan selimut lagi. Di belakang Fatimah dan di samping kanan ranjang tiba-tiba muncul dua sosok hitam tinggi besar dan hanya Rianti yang menyadari. Salah satu dari mereka sekonyong-konyong memasukkan tangannya ke perut Fajar. Rianti hanya bisa terdiam, tubuhnya kaku. Dia dapat merasakan syringe yang masih digenggamnya di tangan kanan basah oleh keringatnya sendiri. Sosok hitam yang lain memukulkan tangannya ke dada Fajar hingga mulut Fajar menganga tanpa bersuara seperti manahan sakit dan nafasnya terhenti saat itu juga. Mata Fajar melotot ke atas dan bibir bawah Fajar tiba-tiba membiru. Tanpa Rianti sadari air matanya meleleh melihat kejadian itu. Kedua sosok hitam besar di hadapan Rianti kemudian menghilang begitu saja seperti tidak menghiraukan Rianti yang sejak tadi mengetahui apa yang mereka lakukan.
Fatimah menoleh dari fokusnya ke handphone mendengar isak tangis Rianti yang memecah keheningan.
“Ri, kamu kenapa?” tanya Fatimah
“Ri, Fajar kenapa melotot gini? Mas, bangun mas, mas….mas Fajar bangun.” Fatimah menggoyang goyang tubuh Fajar hingga tangan kanannya menggantung di tepi ranjang dan membuka kepalannya. Rianti melihat sebuah foto lusuh seorang laki-laki dan perempuan terjatuh dari dalam genggaman Fajar. Rianti memungutnya, di foto itu nampak Nurma dan Fajar memegang kertas bertuliskan tanggal pernikahan mereka 6 bulan yang lalu.


anasabila memberi reputasi
1
1.7K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan