- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Jurnal Fatah: Rahasia Terkuak


TS
volkrye
Jurnal Fatah: Rahasia Terkuak
Assalamualaikum wr wb agan-agan sejagat kaskuser,
ane silent reader yang baru berani membuat thread karena belakangan katanya cerita misteri sedang banyak yang suka, jadi ane memutuskan untuk ikutan. Ane mohon maaf jika pertama: thread nya masih kalah rapih sama kapal Titanic; kedua: ceritanya aneh, mohon masukannya yang dapat membangun. Ketiga: Cerita ini 100% fiksi, jadi kalau ada kesamaan itu benar-benar suatu kebetulan.
Selamat membaca.
Jika ditanya kapan pertama kali secara resmi aku memiliki kemampuan untuk melihat mahluk gaib maka harus kuakui butuh sedikit usaha untuk menggalinya dari ingatan. Satu kejadian yang paling membekas berkaitan dengan pertama kali aku memiliki kemampuan ini ialah ketika aku melihat sosok tulang belulang manusia cebol tertanam di dalam tembok rumah salah satu kerabat yang hendak dihancurkan oleh mobil garuk. Rumah itu sedang dalam proses renovasi. Aku ingat posisi tulang belulang itu seperti seseorang sedang berdiri hanya saja berada di dalam tembok di antara semen kering dan batu bata tebal seperti dengan sengaja seseorang menyembunyikannya disana. Namun setelah mobil garuk berhasil menghancurkan tembok itu hingga roboh, dan dengan penasaran aku mencari di puing-puing reruntuhan tulang belulang itu tak ada disana, yang ada pekerja konstruksi yang memarahiku karena telah menghalangi jalan mobil garuk. Ayah pun segera menarik kedua tanganku hingga kakiku tak lagi menyentuh tanah, membawaku berlari sambil meminta maaf pada pekerja konstruksi.
“kamu ini malah mainan disana, bahaya del” ayah setengah berteriak sambil menepuk-nepuk pantatku yang penuh debu
“Abdel nyari tulang yah, tapi ngga ketemu-ketemu, padahal tadi Abdel liat didalem tembok sebelum roboh” aku jawab seadanya dengan nada datar semetara mataku terus menatap ke arah puing-puing tembok yang kini digilas mobil keruk.
“ngga ada apa-apa disana selain semen dan bata, sekarang Abdel pulang, mandi dan cepat ngaji, ayah mau bantu kang Dudun pindahan.”
Tak ada rasa curiga, prasangka, atau dugaan apapun. Usiaku masih 9 tahun saat itu, masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Rutinitasku seperti siswa kelas 4 lainnya, setelah pulang sekolah pukul 12 siang lanjut mengaji hingga adzan Maghrib berkumandang.
Rumah yang sedang direnovasi itu milik kang Dudun. Beliau adalah keluarga jauhku, ayah berkali-kali menjelaskan hubungannya denganku dari kakeknya ayah namun hingga saat ini usiaku 25 tahunpun aku masih tak begitu paham, yang penting hubungan kami adalah keluarga. Kang Dudun sangat menyayangiku dan adik ku Fatah. Kami sering bermain dengan anak satu-satunya kang Dudun, Rianti. Rumah kang Dudun yang megah sering kami bertiga jadikan tempat bermain petak umpet. Sebelum direnovasi saja rumah kang Dudun demikian megah, sekarang kang Dudun merenovasi lagi rumahnya hingga ketika aku naik ke kelas 5 SD bangunan rumah kang Dudun sudah selesai direnovasi dan mungkin satu-satunya rumah mewah dengan tiga lantai di kecamatan Leuwimunding pada tahun 1997.
Aku mulai menyadari ada yang “ganjil” dengan kemampuan mataku dalam melihat adalah ketika awal naik kelas 5 SD. Untuk memudahkanku megingatnya aku kaitkan dengan moment rumah kang Dudun yang hampir selesai di renovasi dan kami bertiga semakin leluasa bermain petak umpet disana. Suatu saat karena bosan bermain petak umpet akhirnya kami bertiga memutuskan mengajak bermain sodor mang Pendi yang seingatku dialah mandor para kuli bangunan saat itu.
“mang Pendi, main sodor hayu, susah kalau bertiga.” Ajakku sambil sedikit merengek
“aduh, susah atuh ujang, mamang kan lagi kerja” jawab mang Pendi
“kerja apaan? Cuma nyuruh mang Ikin angkat embernya, lalu minta yang lurus serut kayu nya, hati-hati angkat kacanya, gitu doangmah Rianti juga bisa, malah dia lebih cempreng teriaknya.” Kataku lagi
“heh…kamu juga cempreng!” teriak Rianti
“udah-udah disana diluar mainnya, kasian mang Ikin tuh lagi nemplokin semen dari kemarin jatuh terus” mang Pendi mengusir kami bertiga. Tidak puas oleh jawaban mang Pendi aku menarik tangan Rianti ke sisi lain tembok yang sedang dibangun oleh mang Ikin dan bermaksud mengajak mang Ikin bermain sodor.
“mang Ikin, itu tulangnya diambil dulu supaya semen nya bisa nempel di tembok, pantesan jatuh lagi jatuh lagi” kataku langsung berkomentar melihat mang Ikin berusaha menemplokkan semen ke sebuah cerukan di tembok.
“tulang apa, del?” tanya mang Ikin
“ini lho mang ini ni yang nonjol dari atas bata ini tulang apa sih? Besar betul” aku menunjuk cerukan di tembok yang terhalang tulang menonjol berwarna putih kusam.
“ngga ada tulang disitu, Del. Hanya bata dan semen” mang Ikin ngotot
“ini nih nih, Abdel tarik ya!”
“BRAK…BRUG BRUG RUUGGGG”
Tembok setengah kering setinggi 2 meter roboh menimpa kami berempat. Aku tertimbun paling dalam bersama mang Ikin dan mengakibatkan kaki kananku harus diamputasi. Rianti meninggal saat itu juga dengan dada remuk. Mang Ikin mengalami patah di tangan dan bahu sementara Fatah yang paling jauh dari tembok hanya mengalami retak di paha dan lengan.
Tragedi ini tersebar ke seluruh desa sebagai kelalaian mang Ikin dalam mencampur semen dan air yang tidak seimbang mengakibatkan tembok tidak dapat berdiri kokoh meski aku berkali-kali mengatakan pada ibu dan ayah bahwa aku menarik sebuah tulang dari dalam tembok. Ibu juga melarangku merasa bersalah atas kematian Rianti dan meyakinkanku kalau aku terlalu banyak menonton film kartun. Aku mencoba mengatakan pada kang Dudun dan semua orang yang menengok mengenai tulang itu namun mereka menganggapku mengalami cedera kepala sehingga membuatku bicara melantur. Begitupun yang diyakini ibu dan ayah.
Seingatku selama 3 bulan aku dan Fatah tidak berangkat sekolah ataupun mengaji. Fatah lebih lekas sembuh dan seringkali menyanggaku berjalan karena meskipun usia kami berbeda satu tahu, postur tubuh Fatah lebih besar dan berisi dibanding badanku yang kurus. Selama proses penyembuhan kami lebih sering berada di rumah kang Dudun daripada di rumah sendiri, ibu dan ayah yang mengantar kami kesana sebelum pergi ke tempat kerja. Atau terkadang kami berangkat sendiri karena jarak rumah kami ke rumah kang Dudun hanya terlewati 5 rumah.
Berjalan dari rumah ke rumah kang Dudun tak semudah seperti saat kakiku masih utuh. Di tengah perjalanan Fatah dengan sabar mendudukanku di bangku panjang depan pagar rumah kosong yang biasa kugunakan sebagai terminal peristirahatan sebelum tiba ke rumah kang Dudun. Kaki kananku yang hanya tersisa hingga setengah betis terasa teramat nyeri ketika kupaksa dibawa berjalan meski dengan bantuan Fatah.
“ayo, Del. Disini banyak nyamuk.” Fatah menampar pipinya sendiri namun tidak melihat ada nyamuk di telapak tangannya.
“iya sebentar, sakit banget.” Aku meringis sambil mengurut pelan kakiku yang terasa berdenyut. Fatah menggulungkan celana panjangku hingga terlihat perban putih yang membungkus luka bekas amputasi yang mulai terlihat ada bercak kekuningan.
“udah hayu, perban nya nanti kita ganti di rumah kang Dudun.” Ajak Fatah sambil kembali menyanggaku dari kanan. Ia tahu kalau bercak kuning itu muncul artinya perbanku harus diganti lagi. Perlahan kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kang Dudun.
“yah, Del jangan nangis dong. Masa nyeri gitu aja nangis kan udah biasa.” Langkah Fatah terhenti melihatku menangis menahan nyeri dan kembali mendudukanku di tepian jalan. Ia ikut duduk disampingku sambil membawakanku daun singkong yang dipetiknya dari rumah kosong tadi.
“PLAK!” Fatah menepuk daun singkong itu di atas lubang yang terbentuk dari jempol dan telunjuk di tangan kirinya, menghasilkan suara tepukan yang kuat. Kemudian Fatah mengangkat tangan kiriku dan memberi isyarat untuk membuat lubang dengan telunjuk dan jempol. PLAK! Suara yang dihasilkan lebih kuat dari yang pertama. Kami berdua tertawa. Dari jarak 2 rumah ke rumah megah kang Dudung aku melihat seorang wanita menggunakan kerudung putih membawa anak kecil masuk ke gerbang tepat didepan rumah kang Dudun. Aku yakin wanita itu teman menggosip bi Uti yang lain. Aku senang akhirnya ada anak lain selain Fatah yang bisa ku ajak bermain. Aku mencoba kembali berdiri dengan bantuan Fatah dan berjalan menuju gerbang rumah kang Dudun.
“lho kok gerbangnya udah ditutup lagi, bi Uti ini rajin betul.” Aku protes karena biasanya bi Uti malas menutup gerbang yang berat ini jika tidak dibantu mang Ikin.
“emang kapan gerbang ini kebuka?” tanya Fatah
“tadi ada perempuan sama anak kecil temannya bi Uti masuk kesini. BI UTIIII TOLONG BUKA GERBANGNYA.” Teriak ku dari luar gerbang
“iya Del tunggu sebentar.” Terdengar teriakan bi Uti dari dalam. Seperti biasa, bi Uti kerepotan menggeser gerbang besi yang baru dibangun ini. Ia harus menjejakkan kakinya di tembok agar sedikit terbuka lalu menghimpitkan tubuhnya di celah kecil antara gerbang dan tembok agar selanjutnya kakinya dapat menjejak di gerbang untuk menggeser lebih jauh. Tercium wangi masakan dari dapur yang letaknya bersebelahan dengan garasi dan taman.
“ayo masuk, makan dulu. Tadi ibu kalian bawakan kangkung dan susu dari pasar. Ibu kalian pesan bibi harus menunggui kalian makan hingga habis.” Kata bi Uti sambil menutup gerbang dibantu Fatah.
“bi Uti, mana anak perempuan yang sama mamanya tadi?” tanyaku penasaran sambil mengedarkan pandangan ke arah taman rumput depan garasi dan gazebo di atas kolam ikan koi.
“anak perempuan yang mana?”
“yang tadi sama mamanya masuk kesini, mamanya pakai kerudung putih, anaknya pakai rompi biru muda.” Jawabku mencoba menggambarkan penampilan ibu dan anak yang kulihat dari kejauhan tadi.
“ngga ada siapa-siapa yang masuk sebelum kalian berdua pagi ini. Udah udah, sekarangmah yang penting kalian sarapan dulu.” Bi Uti memangkuku diikuti Fatah lalu mendudukanku di meja makan yang sudah penuh makanan.
“bibi masak banyak hari ini?” tanya Fatah
“hari ini kan mau selametan rumah baru, jadi nanti sore disini akan ada banyak tamu. Kalian ngga boleh nakal ya. Mendingan bantu bi Uti ngupasin kentang.”
“kan ada mang Ikin” jawabku
“mang Ikin lagi kontrol ke rumah sakit” jawab bi Uti
Akhirnya kami berdua bersedia membantu bi Uti mengupas kentang setelah bi Uti membantuku mengganti perban, meskipun yang terjadi beberapa kentang harus terbang kesana kemari karena kami berdua main lempar-lemparan.
Bermaksud ingin mengenai kepalaku, Fatah melempar sebuah kentang terlalu kuat dan meleset hingga menggelundung jauh ke ruang keluarga dan masuk ke kolong kursi malas di depan televisi. Badanku yang kecil tidak kerepotan untuk merangkak masuk ke kolong dan mengebalikan kentang itu ke baskom sebelum bi Uti marah karena kehilangan satu buah kentang. Ketika merangkak mundur keluar dari kolong tanpa sengaja ujung perban yang menutup luka amputasiku menabrak sesuatu yang lunak namun tetap saja terasa nyeri hingga merembes keluar bercak darah dari dalam luka. Fatah yang mendengar teriakanku langsung berlari menghampiri dan menarikku keluar dari kolong kursi malas. Matanya langsung tertuju pada perbanku yang berdarah. Mendengar teriakan panggilan Fatah, bi Uti mengangkatku kembali ke dapur dan mendudukan ku di atas kursi sambil bersungut-sungut kesal. Tangannya penuh minyak ketika membuka perbanku, maka ia meminta tolong Fatah untuk mengambil dan membungkus lukaku kembali dengan perban yang baru. Melihat Fatah sepertinya dapat diandalkan, bi Uti bergegas kembali ke depan kompor sambil terus bersungut-sungut karena kesal masih banyak pekerjaannya yang harus ia selesaikan selain berkali-kali mengganti perban. Sementara itu fokusku tertuju pada wanita berkerudung putih sedang duduk di kursi malas.
“Fat, udah selesai belum? Aku mau nanya sama ibu itu kenapa ngga ngangkat kakinya tadi pas aku keluar dari kolong” kataku sedikit kesal sambil melihat ke arah Fatah yang sedang berjongkok didepanku.
“ibu yang mana?” Fatah balik bertanya namun mata dan tangannya tetap berfokus pada kakiku.
“itu tu yang duduk di kursi malas……eh kok ilang??” mataku melotot lalu menyebarkan pandangan ke seluruh ruang keluarga. “Fat, ibu yang tadi ilang”
“Del, kenapa sih tiap kali kamu lihat sesuatu yang ngga bisa aku liat pasti ada yang luka. Inget ga waktu kamu hampir kelindes mobil garuk tahun lalu. Kalau ngga ayah angkat mungkin kamu udah mati sekarang. Rianti meninggal, aku dan mang Ikin patah tulang karena tulang aneh yang kamu lihat tersangkut di tembok, malah kamu sendiri kehilangan kaki. Sekarang kamu lihat lagi ibu ini dan lihat jahitan di lukamu ada yang terlepas sekarang. Apa kamu ngga merasa seperti ada yang ingin membuat kamu celaka?” Fatah berdiri didepanku menatap tajam sambil melipat kedua tangan di dadanya.
“tapi Fat, aku ngga mungkin bohongin kamu. Aku liat tulang tahun lalu di tembok itu, aku liat juga tulang di tembok yang menimpa kita, dan ibu inipun aku melihatnya seperti aku bisa melihat kamu dan bi Uti.” Jawabku mencoba meyakinkan Fatah.
“aku percaya sama kamu, Del. Cuma ibu dan ayah dan semua orang anggap kamu terlalu banyak nonton film kartun dan mereka anggap yang kamu lihat hanya imajinasi kamu sendiri berlebih sejak kita tertimpa tembok, semua orang pikir kamu melantur karena cedera kepala. Kecuali kamu bisa buktikan kalau yang kamu lihat ini nyata.”
Ucapan Fatah memberiku ide untuk menggambar apa yang kulihat, Fatah melanjutkan membantu bi Uti mengupas kentang sementara aku di sampingnya menggambar dengan pensil warna yang kudapat dari kamar Rianti. Fatah tertawa ketika aku tunjukan hasil gambarku padanya.
“udah kelas 5 gambarnya masih seperti anak TK” celetuk Fatah. Namun aku tidak peduli, aku lanjut menggambar lagi hingga akhirnya aku berhasil membuat tiga gambar pada siang hari.
Dari luar terdengar suara gerbang terbuka, mang Ikin datang dengan sebuah kantong kresek besar terikat di belakang jok motornya. Mang Ikin membuka isi kantung kresek besar yang ternyata berisi kotak nasi yang kelak hendak dibagikan usai acara selametan rumah. Ayah dan ibu juga sepertinya sengaja pulang dari tempat kerja lebih cepat, pukul 2 mereka sudah tiba. Ayah biasanya selalu memarkir mobil mundur, namun tidak kali ini, beliau sepertinya buru-buru ingin segera membantu bi Uti dan mang Ikin membungkus nasi. Ibu juga hanya memelukku dan Fatah sebentar dan berpesan agar segera mengganti pakaian yang rapih. Kemudian beliau mengganti kerudung dan segera bergabung di dapur. Berselang 1 jam kang Dudun membunyikan klakson Harley nya dari luar pagar. Ia membawakan kami berdua buku petualangan kartun bajak laut minggu pagi favorit kami dan sebuah teropong binocular. Biasanya kang Dudun segera mengajak kami bermain jika tidak langsung bergabung di dapur.
Acara selametan dimulai setelah adzan Ashar. Ruang tamu mulai ramai didatangi tamu dan semuanya bapak-bapak, mang Ikin dan bi Uti keluar masuk dapur membawakan makanan dan minuman sementara aku berdiri sambil bersandar di tembok pintu menyambut tamu yang datang. Kang Dudun dibantu Fatah membuka toples makanan satu per satu sementara ayah yang dari wajahnya nampak sekali ia ingin bergabung bersama kerumunan bapak-bapak untuk ikut merokok sambil mengobrol namun ibu dari dapur tidak pernah melepaskan pandangannya sambil menghitung jumlah tamu yang hadir.
Beberapa tetangga ada yang mengasihaniku melihat aku berdiri sambil bersandar dan saat itu aku tak tahu harus bereaksi bagaimana selain diam.
Tamu yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir, beliau adalah Lebai Amung. Tetua kampung yang sangat dihormati oleh warga. Termasuk kang Dudun. Satu hal yang paling menarik dari Lebai Amung adalah pakaian beliau selalu hitam kecuali kopiahnya yang putih nampak sekali kontras. Kali ini Lebai Amung menggunakan kemeja rapih hitam hingga sepatu yang bisa kuduga baru saja di semir. Aku menghormati beliau sebagai guru mengaji karena satu atau dua minggu sekali beliau bercerita tentang riwayat nabi di musholla tempatku mengaji. Kusambut beliau ketika memasuki pintu dan kujabat tanganya lalu menaruh punggung tangan beliau di kening sebagai tanda hormat.
“wilujeng sumping, Aki Amung” sambutku sambil tersenyum.
“Abdel, udah besar kamu ya sekarang. Yang kuat ya nak. Jangan nyerah meski keadaanmu seperti ini.” Beliau berpesan padaku dalam bahasa Sunda halus sambil menyelipkan permen mint di sakuku.
Sebelum acara dimulai Lebai Amung berkeliling rumah dipandu oleh ibu dan bi Uti. Memakan waktu cukup lama karena di lantai 3 saja ada 4 kamar yang harus dimasuki Lebai dan semuanya masih kosong. Turun ke lantai 3 Lebai memasuki dua kamar dan dua ruangan besar yang juga masih kosong tanpa furniture apapun. Hingga ruangan dapur yang terakhir beliau kunjungi. Aku sudah duduk di pangkuan ayah bersama bapak-bapak yang lain di ruang tamu ketika aku lihat lebai keluar dari dapur membawa tiga lembar kertas.
Acara pun dimulai, Lebai memimpin doa seperti mengucap mantra sambil berkomat-kamit. Sesekali beliau bershalawat lalu diikuti tamu yang lain. Sesekali mengucap “AL FAAATIHAH” lalu tamu yang lain membaca surat Al-Fatihah dan terakhir beliau kembali berkomat-kamit sambil mengangkat tangan dan menutup mata diikuti tamu yang lain sambil menjawab “aamiiin…amin…amin.” Termasuk ayah dan aku.
Fatah bangkit terlebih dahulu karena ibu melambaikan tangan beliau dari dapur ke arahnya, dari pintu dapur menuju gazebo ia membantu ibu dan bi Uti mengeluarkan nasi kotak dan mengumpulkannya disana, bertujuan agar ketika para tamu keluar pulang mereka dapat membagikan nasi kotak dengan mudah.
Doa Lebai Amung selesai,tamu-tamu ada yang mengobrol dan ada yang pamit pulang terlebih dahulu. Dari dalam rumah aku lihat Fatah membantu ibu dan bi Uti membagikan kotak nasi sambil mengucapkan terimakasih. Karena aku lihat tumpukan kotak nasi mulai berkurang sementara tamu masih banyak yang mengantri maka aku berinisiatif membawa sisa nasi kotak yang masih di dapur. Dengan menyusuri tembok aku berjalan keluar dari dapur dengan dua kotak nasi menuju gazebo. Di dalam gazebo di belakang ibu dan Fatah sosok ibu berkerudung putih itu sedang duduk menunjukkan punggungnya. Ia duduk bersimpuh di samping tumpukan nasi kotak yang tinggal sedikit, salah satu tangannya memegang kantong kresek nasi kotak teratas, bi Uti yang dengan gerakan refleks mengambil nasi kotak itu untuk diserahkan pada tamu secara tidak sengaja menjatuhkannya hingga isinya berhamburan.
“eh maaf…maaf, tangan saya keringetan. Maaf ya pak.” Kata bi Uti sambil mengganti nasi kotak yang lain untuk diberikan.
Aku melihat ibu berlutut didepan Fatah sambil menunjuk ke arahku yang terdiam menatap ke arah gazebo, ibu menghalangi pandanganku dari sosok ibu berkerudung itu dan ketika ibu berdiri sosok ibu berkerudung putih itu sudah lenyap. Fatah memapahku di sebelah kanan setelah mengambil tiga buah nasi kotak dan berjalan menuju gazebo.
“Fat, ibu itu tadi yang bikin nasi kotak bi Uti tumpah.” Bisikku pada Fatah sambil berjalan menuju gazebo
“iya nanti lagi, Del ngobrolnya. Kita tunggu semua tamu pulang dulu.” Jawab Fatah sambil berbisik.
Dari gazebo aku melihat di dalam ruang tamu hanya tinggal tersisa dua pemuda dan lebai Amung yang sedang berbincang hangat dengan ayah dan kang Dudun. Sesekali Lebai menepuk pundak kang Dudun lalu tertawa terbahak. Kami masih berdiri di gazebo menunggu mereka yang bisa pulang kapan saja. Fatah mengambilkan lap pel dari dapur membantu bi Uti membersihkan makanan yang berserakan ketika aku mengedarkan pandanganku ke seluruh taman dan ruangan rumah yang bisa kulihat melalui jendela. Sosok ibu berkerudung itu kini berada di lantai 3. Ia membelakangi jendela dari dalam dan sambil terduduk aku terus menatapnya tak ingin kehilangan sosoknya lagi. Telingaku mencoba menebak-nebak apakah Fatah sudah selesai membantu bi Uti karena ingin segera membisikkan tentang apa yang sedang kulihat padanya.
ane silent reader yang baru berani membuat thread karena belakangan katanya cerita misteri sedang banyak yang suka, jadi ane memutuskan untuk ikutan. Ane mohon maaf jika pertama: thread nya masih kalah rapih sama kapal Titanic; kedua: ceritanya aneh, mohon masukannya yang dapat membangun. Ketiga: Cerita ini 100% fiksi, jadi kalau ada kesamaan itu benar-benar suatu kebetulan.
Selamat membaca.
Jika ditanya kapan pertama kali secara resmi aku memiliki kemampuan untuk melihat mahluk gaib maka harus kuakui butuh sedikit usaha untuk menggalinya dari ingatan. Satu kejadian yang paling membekas berkaitan dengan pertama kali aku memiliki kemampuan ini ialah ketika aku melihat sosok tulang belulang manusia cebol tertanam di dalam tembok rumah salah satu kerabat yang hendak dihancurkan oleh mobil garuk. Rumah itu sedang dalam proses renovasi. Aku ingat posisi tulang belulang itu seperti seseorang sedang berdiri hanya saja berada di dalam tembok di antara semen kering dan batu bata tebal seperti dengan sengaja seseorang menyembunyikannya disana. Namun setelah mobil garuk berhasil menghancurkan tembok itu hingga roboh, dan dengan penasaran aku mencari di puing-puing reruntuhan tulang belulang itu tak ada disana, yang ada pekerja konstruksi yang memarahiku karena telah menghalangi jalan mobil garuk. Ayah pun segera menarik kedua tanganku hingga kakiku tak lagi menyentuh tanah, membawaku berlari sambil meminta maaf pada pekerja konstruksi.
“kamu ini malah mainan disana, bahaya del” ayah setengah berteriak sambil menepuk-nepuk pantatku yang penuh debu
“Abdel nyari tulang yah, tapi ngga ketemu-ketemu, padahal tadi Abdel liat didalem tembok sebelum roboh” aku jawab seadanya dengan nada datar semetara mataku terus menatap ke arah puing-puing tembok yang kini digilas mobil keruk.
“ngga ada apa-apa disana selain semen dan bata, sekarang Abdel pulang, mandi dan cepat ngaji, ayah mau bantu kang Dudun pindahan.”
Tak ada rasa curiga, prasangka, atau dugaan apapun. Usiaku masih 9 tahun saat itu, masih duduk di kelas 4 sekolah dasar. Rutinitasku seperti siswa kelas 4 lainnya, setelah pulang sekolah pukul 12 siang lanjut mengaji hingga adzan Maghrib berkumandang.
Rumah yang sedang direnovasi itu milik kang Dudun. Beliau adalah keluarga jauhku, ayah berkali-kali menjelaskan hubungannya denganku dari kakeknya ayah namun hingga saat ini usiaku 25 tahunpun aku masih tak begitu paham, yang penting hubungan kami adalah keluarga. Kang Dudun sangat menyayangiku dan adik ku Fatah. Kami sering bermain dengan anak satu-satunya kang Dudun, Rianti. Rumah kang Dudun yang megah sering kami bertiga jadikan tempat bermain petak umpet. Sebelum direnovasi saja rumah kang Dudun demikian megah, sekarang kang Dudun merenovasi lagi rumahnya hingga ketika aku naik ke kelas 5 SD bangunan rumah kang Dudun sudah selesai direnovasi dan mungkin satu-satunya rumah mewah dengan tiga lantai di kecamatan Leuwimunding pada tahun 1997.
Aku mulai menyadari ada yang “ganjil” dengan kemampuan mataku dalam melihat adalah ketika awal naik kelas 5 SD. Untuk memudahkanku megingatnya aku kaitkan dengan moment rumah kang Dudun yang hampir selesai di renovasi dan kami bertiga semakin leluasa bermain petak umpet disana. Suatu saat karena bosan bermain petak umpet akhirnya kami bertiga memutuskan mengajak bermain sodor mang Pendi yang seingatku dialah mandor para kuli bangunan saat itu.
“mang Pendi, main sodor hayu, susah kalau bertiga.” Ajakku sambil sedikit merengek
“aduh, susah atuh ujang, mamang kan lagi kerja” jawab mang Pendi
“kerja apaan? Cuma nyuruh mang Ikin angkat embernya, lalu minta yang lurus serut kayu nya, hati-hati angkat kacanya, gitu doangmah Rianti juga bisa, malah dia lebih cempreng teriaknya.” Kataku lagi
“heh…kamu juga cempreng!” teriak Rianti
“udah-udah disana diluar mainnya, kasian mang Ikin tuh lagi nemplokin semen dari kemarin jatuh terus” mang Pendi mengusir kami bertiga. Tidak puas oleh jawaban mang Pendi aku menarik tangan Rianti ke sisi lain tembok yang sedang dibangun oleh mang Ikin dan bermaksud mengajak mang Ikin bermain sodor.
“mang Ikin, itu tulangnya diambil dulu supaya semen nya bisa nempel di tembok, pantesan jatuh lagi jatuh lagi” kataku langsung berkomentar melihat mang Ikin berusaha menemplokkan semen ke sebuah cerukan di tembok.
“tulang apa, del?” tanya mang Ikin
“ini lho mang ini ni yang nonjol dari atas bata ini tulang apa sih? Besar betul” aku menunjuk cerukan di tembok yang terhalang tulang menonjol berwarna putih kusam.
“ngga ada tulang disitu, Del. Hanya bata dan semen” mang Ikin ngotot
“ini nih nih, Abdel tarik ya!”
“BRAK…BRUG BRUG RUUGGGG”
Tembok setengah kering setinggi 2 meter roboh menimpa kami berempat. Aku tertimbun paling dalam bersama mang Ikin dan mengakibatkan kaki kananku harus diamputasi. Rianti meninggal saat itu juga dengan dada remuk. Mang Ikin mengalami patah di tangan dan bahu sementara Fatah yang paling jauh dari tembok hanya mengalami retak di paha dan lengan.
Tragedi ini tersebar ke seluruh desa sebagai kelalaian mang Ikin dalam mencampur semen dan air yang tidak seimbang mengakibatkan tembok tidak dapat berdiri kokoh meski aku berkali-kali mengatakan pada ibu dan ayah bahwa aku menarik sebuah tulang dari dalam tembok. Ibu juga melarangku merasa bersalah atas kematian Rianti dan meyakinkanku kalau aku terlalu banyak menonton film kartun. Aku mencoba mengatakan pada kang Dudun dan semua orang yang menengok mengenai tulang itu namun mereka menganggapku mengalami cedera kepala sehingga membuatku bicara melantur. Begitupun yang diyakini ibu dan ayah.
Seingatku selama 3 bulan aku dan Fatah tidak berangkat sekolah ataupun mengaji. Fatah lebih lekas sembuh dan seringkali menyanggaku berjalan karena meskipun usia kami berbeda satu tahu, postur tubuh Fatah lebih besar dan berisi dibanding badanku yang kurus. Selama proses penyembuhan kami lebih sering berada di rumah kang Dudun daripada di rumah sendiri, ibu dan ayah yang mengantar kami kesana sebelum pergi ke tempat kerja. Atau terkadang kami berangkat sendiri karena jarak rumah kami ke rumah kang Dudun hanya terlewati 5 rumah.
Berjalan dari rumah ke rumah kang Dudun tak semudah seperti saat kakiku masih utuh. Di tengah perjalanan Fatah dengan sabar mendudukanku di bangku panjang depan pagar rumah kosong yang biasa kugunakan sebagai terminal peristirahatan sebelum tiba ke rumah kang Dudun. Kaki kananku yang hanya tersisa hingga setengah betis terasa teramat nyeri ketika kupaksa dibawa berjalan meski dengan bantuan Fatah.
“ayo, Del. Disini banyak nyamuk.” Fatah menampar pipinya sendiri namun tidak melihat ada nyamuk di telapak tangannya.
“iya sebentar, sakit banget.” Aku meringis sambil mengurut pelan kakiku yang terasa berdenyut. Fatah menggulungkan celana panjangku hingga terlihat perban putih yang membungkus luka bekas amputasi yang mulai terlihat ada bercak kekuningan.
“udah hayu, perban nya nanti kita ganti di rumah kang Dudun.” Ajak Fatah sambil kembali menyanggaku dari kanan. Ia tahu kalau bercak kuning itu muncul artinya perbanku harus diganti lagi. Perlahan kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kang Dudun.
“yah, Del jangan nangis dong. Masa nyeri gitu aja nangis kan udah biasa.” Langkah Fatah terhenti melihatku menangis menahan nyeri dan kembali mendudukanku di tepian jalan. Ia ikut duduk disampingku sambil membawakanku daun singkong yang dipetiknya dari rumah kosong tadi.
“PLAK!” Fatah menepuk daun singkong itu di atas lubang yang terbentuk dari jempol dan telunjuk di tangan kirinya, menghasilkan suara tepukan yang kuat. Kemudian Fatah mengangkat tangan kiriku dan memberi isyarat untuk membuat lubang dengan telunjuk dan jempol. PLAK! Suara yang dihasilkan lebih kuat dari yang pertama. Kami berdua tertawa. Dari jarak 2 rumah ke rumah megah kang Dudung aku melihat seorang wanita menggunakan kerudung putih membawa anak kecil masuk ke gerbang tepat didepan rumah kang Dudun. Aku yakin wanita itu teman menggosip bi Uti yang lain. Aku senang akhirnya ada anak lain selain Fatah yang bisa ku ajak bermain. Aku mencoba kembali berdiri dengan bantuan Fatah dan berjalan menuju gerbang rumah kang Dudun.
“lho kok gerbangnya udah ditutup lagi, bi Uti ini rajin betul.” Aku protes karena biasanya bi Uti malas menutup gerbang yang berat ini jika tidak dibantu mang Ikin.
“emang kapan gerbang ini kebuka?” tanya Fatah
“tadi ada perempuan sama anak kecil temannya bi Uti masuk kesini. BI UTIIII TOLONG BUKA GERBANGNYA.” Teriak ku dari luar gerbang
“iya Del tunggu sebentar.” Terdengar teriakan bi Uti dari dalam. Seperti biasa, bi Uti kerepotan menggeser gerbang besi yang baru dibangun ini. Ia harus menjejakkan kakinya di tembok agar sedikit terbuka lalu menghimpitkan tubuhnya di celah kecil antara gerbang dan tembok agar selanjutnya kakinya dapat menjejak di gerbang untuk menggeser lebih jauh. Tercium wangi masakan dari dapur yang letaknya bersebelahan dengan garasi dan taman.
“ayo masuk, makan dulu. Tadi ibu kalian bawakan kangkung dan susu dari pasar. Ibu kalian pesan bibi harus menunggui kalian makan hingga habis.” Kata bi Uti sambil menutup gerbang dibantu Fatah.
“bi Uti, mana anak perempuan yang sama mamanya tadi?” tanyaku penasaran sambil mengedarkan pandangan ke arah taman rumput depan garasi dan gazebo di atas kolam ikan koi.
“anak perempuan yang mana?”
“yang tadi sama mamanya masuk kesini, mamanya pakai kerudung putih, anaknya pakai rompi biru muda.” Jawabku mencoba menggambarkan penampilan ibu dan anak yang kulihat dari kejauhan tadi.
“ngga ada siapa-siapa yang masuk sebelum kalian berdua pagi ini. Udah udah, sekarangmah yang penting kalian sarapan dulu.” Bi Uti memangkuku diikuti Fatah lalu mendudukanku di meja makan yang sudah penuh makanan.
“bibi masak banyak hari ini?” tanya Fatah
“hari ini kan mau selametan rumah baru, jadi nanti sore disini akan ada banyak tamu. Kalian ngga boleh nakal ya. Mendingan bantu bi Uti ngupasin kentang.”
“kan ada mang Ikin” jawabku
“mang Ikin lagi kontrol ke rumah sakit” jawab bi Uti
Akhirnya kami berdua bersedia membantu bi Uti mengupas kentang setelah bi Uti membantuku mengganti perban, meskipun yang terjadi beberapa kentang harus terbang kesana kemari karena kami berdua main lempar-lemparan.
Bermaksud ingin mengenai kepalaku, Fatah melempar sebuah kentang terlalu kuat dan meleset hingga menggelundung jauh ke ruang keluarga dan masuk ke kolong kursi malas di depan televisi. Badanku yang kecil tidak kerepotan untuk merangkak masuk ke kolong dan mengebalikan kentang itu ke baskom sebelum bi Uti marah karena kehilangan satu buah kentang. Ketika merangkak mundur keluar dari kolong tanpa sengaja ujung perban yang menutup luka amputasiku menabrak sesuatu yang lunak namun tetap saja terasa nyeri hingga merembes keluar bercak darah dari dalam luka. Fatah yang mendengar teriakanku langsung berlari menghampiri dan menarikku keluar dari kolong kursi malas. Matanya langsung tertuju pada perbanku yang berdarah. Mendengar teriakan panggilan Fatah, bi Uti mengangkatku kembali ke dapur dan mendudukan ku di atas kursi sambil bersungut-sungut kesal. Tangannya penuh minyak ketika membuka perbanku, maka ia meminta tolong Fatah untuk mengambil dan membungkus lukaku kembali dengan perban yang baru. Melihat Fatah sepertinya dapat diandalkan, bi Uti bergegas kembali ke depan kompor sambil terus bersungut-sungut karena kesal masih banyak pekerjaannya yang harus ia selesaikan selain berkali-kali mengganti perban. Sementara itu fokusku tertuju pada wanita berkerudung putih sedang duduk di kursi malas.
“Fat, udah selesai belum? Aku mau nanya sama ibu itu kenapa ngga ngangkat kakinya tadi pas aku keluar dari kolong” kataku sedikit kesal sambil melihat ke arah Fatah yang sedang berjongkok didepanku.
“ibu yang mana?” Fatah balik bertanya namun mata dan tangannya tetap berfokus pada kakiku.
“itu tu yang duduk di kursi malas……eh kok ilang??” mataku melotot lalu menyebarkan pandangan ke seluruh ruang keluarga. “Fat, ibu yang tadi ilang”
“Del, kenapa sih tiap kali kamu lihat sesuatu yang ngga bisa aku liat pasti ada yang luka. Inget ga waktu kamu hampir kelindes mobil garuk tahun lalu. Kalau ngga ayah angkat mungkin kamu udah mati sekarang. Rianti meninggal, aku dan mang Ikin patah tulang karena tulang aneh yang kamu lihat tersangkut di tembok, malah kamu sendiri kehilangan kaki. Sekarang kamu lihat lagi ibu ini dan lihat jahitan di lukamu ada yang terlepas sekarang. Apa kamu ngga merasa seperti ada yang ingin membuat kamu celaka?” Fatah berdiri didepanku menatap tajam sambil melipat kedua tangan di dadanya.
“tapi Fat, aku ngga mungkin bohongin kamu. Aku liat tulang tahun lalu di tembok itu, aku liat juga tulang di tembok yang menimpa kita, dan ibu inipun aku melihatnya seperti aku bisa melihat kamu dan bi Uti.” Jawabku mencoba meyakinkan Fatah.
“aku percaya sama kamu, Del. Cuma ibu dan ayah dan semua orang anggap kamu terlalu banyak nonton film kartun dan mereka anggap yang kamu lihat hanya imajinasi kamu sendiri berlebih sejak kita tertimpa tembok, semua orang pikir kamu melantur karena cedera kepala. Kecuali kamu bisa buktikan kalau yang kamu lihat ini nyata.”
Ucapan Fatah memberiku ide untuk menggambar apa yang kulihat, Fatah melanjutkan membantu bi Uti mengupas kentang sementara aku di sampingnya menggambar dengan pensil warna yang kudapat dari kamar Rianti. Fatah tertawa ketika aku tunjukan hasil gambarku padanya.
“udah kelas 5 gambarnya masih seperti anak TK” celetuk Fatah. Namun aku tidak peduli, aku lanjut menggambar lagi hingga akhirnya aku berhasil membuat tiga gambar pada siang hari.
Dari luar terdengar suara gerbang terbuka, mang Ikin datang dengan sebuah kantong kresek besar terikat di belakang jok motornya. Mang Ikin membuka isi kantung kresek besar yang ternyata berisi kotak nasi yang kelak hendak dibagikan usai acara selametan rumah. Ayah dan ibu juga sepertinya sengaja pulang dari tempat kerja lebih cepat, pukul 2 mereka sudah tiba. Ayah biasanya selalu memarkir mobil mundur, namun tidak kali ini, beliau sepertinya buru-buru ingin segera membantu bi Uti dan mang Ikin membungkus nasi. Ibu juga hanya memelukku dan Fatah sebentar dan berpesan agar segera mengganti pakaian yang rapih. Kemudian beliau mengganti kerudung dan segera bergabung di dapur. Berselang 1 jam kang Dudun membunyikan klakson Harley nya dari luar pagar. Ia membawakan kami berdua buku petualangan kartun bajak laut minggu pagi favorit kami dan sebuah teropong binocular. Biasanya kang Dudun segera mengajak kami bermain jika tidak langsung bergabung di dapur.
Acara selametan dimulai setelah adzan Ashar. Ruang tamu mulai ramai didatangi tamu dan semuanya bapak-bapak, mang Ikin dan bi Uti keluar masuk dapur membawakan makanan dan minuman sementara aku berdiri sambil bersandar di tembok pintu menyambut tamu yang datang. Kang Dudun dibantu Fatah membuka toples makanan satu per satu sementara ayah yang dari wajahnya nampak sekali ia ingin bergabung bersama kerumunan bapak-bapak untuk ikut merokok sambil mengobrol namun ibu dari dapur tidak pernah melepaskan pandangannya sambil menghitung jumlah tamu yang hadir.
Beberapa tetangga ada yang mengasihaniku melihat aku berdiri sambil bersandar dan saat itu aku tak tahu harus bereaksi bagaimana selain diam.
Tamu yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir, beliau adalah Lebai Amung. Tetua kampung yang sangat dihormati oleh warga. Termasuk kang Dudun. Satu hal yang paling menarik dari Lebai Amung adalah pakaian beliau selalu hitam kecuali kopiahnya yang putih nampak sekali kontras. Kali ini Lebai Amung menggunakan kemeja rapih hitam hingga sepatu yang bisa kuduga baru saja di semir. Aku menghormati beliau sebagai guru mengaji karena satu atau dua minggu sekali beliau bercerita tentang riwayat nabi di musholla tempatku mengaji. Kusambut beliau ketika memasuki pintu dan kujabat tanganya lalu menaruh punggung tangan beliau di kening sebagai tanda hormat.
“wilujeng sumping, Aki Amung” sambutku sambil tersenyum.
“Abdel, udah besar kamu ya sekarang. Yang kuat ya nak. Jangan nyerah meski keadaanmu seperti ini.” Beliau berpesan padaku dalam bahasa Sunda halus sambil menyelipkan permen mint di sakuku.
Sebelum acara dimulai Lebai Amung berkeliling rumah dipandu oleh ibu dan bi Uti. Memakan waktu cukup lama karena di lantai 3 saja ada 4 kamar yang harus dimasuki Lebai dan semuanya masih kosong. Turun ke lantai 3 Lebai memasuki dua kamar dan dua ruangan besar yang juga masih kosong tanpa furniture apapun. Hingga ruangan dapur yang terakhir beliau kunjungi. Aku sudah duduk di pangkuan ayah bersama bapak-bapak yang lain di ruang tamu ketika aku lihat lebai keluar dari dapur membawa tiga lembar kertas.
Acara pun dimulai, Lebai memimpin doa seperti mengucap mantra sambil berkomat-kamit. Sesekali beliau bershalawat lalu diikuti tamu yang lain. Sesekali mengucap “AL FAAATIHAH” lalu tamu yang lain membaca surat Al-Fatihah dan terakhir beliau kembali berkomat-kamit sambil mengangkat tangan dan menutup mata diikuti tamu yang lain sambil menjawab “aamiiin…amin…amin.” Termasuk ayah dan aku.
Fatah bangkit terlebih dahulu karena ibu melambaikan tangan beliau dari dapur ke arahnya, dari pintu dapur menuju gazebo ia membantu ibu dan bi Uti mengeluarkan nasi kotak dan mengumpulkannya disana, bertujuan agar ketika para tamu keluar pulang mereka dapat membagikan nasi kotak dengan mudah.
Doa Lebai Amung selesai,tamu-tamu ada yang mengobrol dan ada yang pamit pulang terlebih dahulu. Dari dalam rumah aku lihat Fatah membantu ibu dan bi Uti membagikan kotak nasi sambil mengucapkan terimakasih. Karena aku lihat tumpukan kotak nasi mulai berkurang sementara tamu masih banyak yang mengantri maka aku berinisiatif membawa sisa nasi kotak yang masih di dapur. Dengan menyusuri tembok aku berjalan keluar dari dapur dengan dua kotak nasi menuju gazebo. Di dalam gazebo di belakang ibu dan Fatah sosok ibu berkerudung putih itu sedang duduk menunjukkan punggungnya. Ia duduk bersimpuh di samping tumpukan nasi kotak yang tinggal sedikit, salah satu tangannya memegang kantong kresek nasi kotak teratas, bi Uti yang dengan gerakan refleks mengambil nasi kotak itu untuk diserahkan pada tamu secara tidak sengaja menjatuhkannya hingga isinya berhamburan.
“eh maaf…maaf, tangan saya keringetan. Maaf ya pak.” Kata bi Uti sambil mengganti nasi kotak yang lain untuk diberikan.
Aku melihat ibu berlutut didepan Fatah sambil menunjuk ke arahku yang terdiam menatap ke arah gazebo, ibu menghalangi pandanganku dari sosok ibu berkerudung itu dan ketika ibu berdiri sosok ibu berkerudung putih itu sudah lenyap. Fatah memapahku di sebelah kanan setelah mengambil tiga buah nasi kotak dan berjalan menuju gazebo.
“Fat, ibu itu tadi yang bikin nasi kotak bi Uti tumpah.” Bisikku pada Fatah sambil berjalan menuju gazebo
“iya nanti lagi, Del ngobrolnya. Kita tunggu semua tamu pulang dulu.” Jawab Fatah sambil berbisik.
Dari gazebo aku melihat di dalam ruang tamu hanya tinggal tersisa dua pemuda dan lebai Amung yang sedang berbincang hangat dengan ayah dan kang Dudun. Sesekali Lebai menepuk pundak kang Dudun lalu tertawa terbahak. Kami masih berdiri di gazebo menunggu mereka yang bisa pulang kapan saja. Fatah mengambilkan lap pel dari dapur membantu bi Uti membersihkan makanan yang berserakan ketika aku mengedarkan pandanganku ke seluruh taman dan ruangan rumah yang bisa kulihat melalui jendela. Sosok ibu berkerudung itu kini berada di lantai 3. Ia membelakangi jendela dari dalam dan sambil terduduk aku terus menatapnya tak ingin kehilangan sosoknya lagi. Telingaku mencoba menebak-nebak apakah Fatah sudah selesai membantu bi Uti karena ingin segera membisikkan tentang apa yang sedang kulihat padanya.
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 1 suara
Apakah cerita ini menarik?
ya
100%
tidak
0%
Diubah oleh volkrye 29-10-2017 11:53


anasabila memberi reputasi
1
1.7K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan