- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"Estetika Anarkisme" Revolusi oleh Sastrawan Dunia


TS
ryan.manullang
"Estetika Anarkisme" Revolusi oleh Sastrawan Dunia
Quote:
Pada 1890, novel pertama dan satu-satunya karya Oscar Wildeyang terbit di Amerika, The Picture of Dorian Gray, mendapatkan badai protes. Sastrawan dan penyusun naskah drama anarkis kelahiran Irlandia ini secara vulgar mengangkat tema homoerotisme yang oleh masyarakat masa Victoria saat itu dianggap tidak bermoral. Pelaku homoseksual, termasuk Oscar Wilde sendiri, bahkan dapat dikenai hukuman. Kelak, dalam kasusnya di pengadilan karena perilakunya tersebut, novelnya itu memainkan peranan yang besar. Merasa resah karena karyanya dianggap mengganggu ketertiban umum, kecenderungan estetika anarkismenya mulai muncul sejak saat itu. “Seni adalah individualisme,” pungkasnya, “dan individualisme adalah kekuatan yang mengganggu dan memecah-belah. Di sana terletak nilai yang sangat besar. Apa yang dicarinya adalah mengganggu jenis-jenis kemonotonan, kebiasaan yang memperbudak, kebiasaan tirani, dan yang membuat manusia tak lebih dari sekedar mesin.” Wilde berpendapat bahwa kondisi politik harus menetapkan keunggulan ini, dan menyimpulkan bahwa pemerintah yang paling dapat membuat seniman menjadi bebas adalah ketiadaan pemerintahan. Wilde membayangkan sebuah masyarakat sosialis dimana mekanisasi telah membebaskan usaha manusia dari beban kebutuhan, sehingga usaha-usaha kerja justru dapat diarahkan pada penciptaan yang lebih artistik. Karena itu, ia menganggap bahwa hanya dalam kondisi ekonomi-politik yang bebas sajalah maka banyak orang dapat menjadi bebas sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.
Pandangan George Orwell adalah salah satu rujukan estetika anarkisme. Pandangan serupa juga disimpulkan oleh sastrawan anarkis Albert Camus, yang punya pandangan estetik dalam segi yang absurd. Karya-karya sastranya, tidak dianggapnya sebagai upayanya untuk “menulis tentang perlawanan, dan tidak mengambil bagian dalam perjuangan sehari-hari karena saya berniat menghiasi dunia dengan patung dan adhikarya Yunani.” Karena “pribadi yang berminat seperti itu sungguh-sungguh ada dalam diri saya,” ujar Camus. Tetapi di bagian lain Camus memandang bahwa tirani masa kini lebih maju, dan mereka tidak lagi menerima sikap diam atau netral, sehingga menuntut orang banyak untuk memiliki pendirian, yaitu memihak atau menentang. “Dalam hal ini saya termasuk yang menentang,” ujarnya. Artinya, pilihan Camus dalam menulis, melampaui tuntutan antara “kewajiban” dalam kondisi berhadapan dengan tirani dan “kehendak” bebasnya karena keinginan menulisnya itu memang berasal dari dirinya secara intrinstik. Terlepas dari itu, pilihan Camus untuk “menentang” tidak berarti akan “mengorbankan hakikat kita sebagai seniman untuk kemudian melakukan khotbah-khotbah sosial.”
Rekan eksistensialis Camus, Jean Paul Sartre, baru menyatakan dirinya sebagai anarkis sejak Mei 1968. Namun kecenderungan libertariannya sudah nampak jauh sebelum dirinya mengaku demikian. “Jika semua orang membaca ulang buku saya, seseorang akan menyadari bahwa saya tidak banyak mengalami perubahan,” ujarnya, “dan saya akan tetap menjadi anarkis.” Pandangannya terhadap seni, khususnya sastra, tumbuh dari pandangan eksistensialnya tentang kemestian pilihan subjektif yang berlawanan dengan tatanan. Sehingga meskipun Sartre mengajukan paradigma tentang “sastra yang terlibat” (littérature engagée), hal ini masih bisa ditempatkan dalam bingkai eksistensialisme. Pertama-tama, Sartre memiliki pandangan yang berbeda antara puisi dengan prosa. Puisi, menurutnya, menjadikan kata-kata sebagai objek utamanya, dan tidak ada kemestian untuk berkomunikasi, untuk mengajukan pendapat, atau mengambil posisi. Sementara dalam prosa, kata-kata dijadikan sarana untuk berwacana, dan karena itu ia mengajukan pertanyaan kepada setiap penulis novel: “Apa sikap yang hendak kau pertaruhkan lewat karyamu?” Penulis prosa pasti mengambil posisi yang dipilihnya secara eksistensial dan menerjemahkan posisi tersebut ke dalam bentuk sastrawi. Ia juga berpendapat bahwa prosa memiliki hubungan langsung dengan kebebasan politik, sehingga menulis saja sudah menunjukan itikad pemberontakan melawan kondisi yang tidak bebas. Nah, kebebasan macam apa? Ia mengatakan bahwa “hanya dalam masyarakat tanpa kelas, tanpa kediktatoran, dan tanpa stabilitaslah, sastra akan berakhir menjadi kesadaran itu sendiri.”
Dari pemikiran tokoh-tokoh tersebut maka estetika anarkisme bisa ditunjukan dengan sederhana sekali sebagai suatu bentuk keberagaman karya seni, yang mana setiap seniman mendambakan dan memiliki, hasrat yang menggebu-gebu atas kebebasan serta penolakan terhadap kekuasaan dan kepatuhan, sehingga semangatnya, yang seringkali dengan tujuan yang disengaja, menjadi tampak dalam karya-karyanya, serta mempengaruhi bagaimana proses kita memaknainya.
Estetika Anarkisme
Estetika anarkisme paling tidak bisa kita bedakan dari tradisi estetika yang lain dengan adanya dua unsur dasar yang bisa disebut sebagai unsur esensial dan fungsional. Pertama, secara esensial, estetika anarkisme menjunjung tinggi kedaulatan (otonomi) mutlak seniman terhadap karya karyanya. “Seniman adalah Tuhan,” adalah ungkapan sederhana terhadap unsur esensial ini. Ini jelas suatu definisi yang sangat longgar, mengingat seniman yang tidak mengakui dirinya anarkis pun jelas akan menggunakan penjelasan yang sama dalam proses produksi karya mereka. Karena itu perlu juga menambahkan unsur Kedua, yaitu fungsional. Karena anarkisme bersifat revolusioner, maka tidak dapat dipungkiri bahwa karya-karyanya seringkali bersifat revolusioner pula. Kecenderungan revolusioner dalam karya seni anarkisme menjadi salah satu unsur fungsionalnya, karena itu tidak heran bahwa semangat pemberontakan anarkisnya, yaitu penolakan terhadap negara dan kapitalisme, atau penolakan terhadap kepatuhan dan menjunjung tinggi kebebasan secara implisit, akan menjadi topik sentral dalam karya-karya mereka. Semangat penolakan terhadap kepatuhan bisa kita baca dalam karya-karya sastrawan anarkis Rusia, Leo Tolstoy. Dalam salah satu esainya ia menulis bahwa “patriotisme tiada lain merupakan alat bagi pihak penguasa untuk mewujudkan ambisi dan hasrat ketamakannya, sementara terhadap pihak yang dikuasai, patriotisme adalah alat penguasa untuk melepaskan martabat kemanusiaan, akal, kesadaran dan membangkitkan sikap layaknya budak kepada mereka yang berkuasa.”
Sebagai seorang bangsawan, pengalaman perangnya di Pegunungan Kaukasia membuatnya menjadi pengkritik tajam kecurangan pemerintah, imoralitas patriotisme, bahaya militerisme dan penggunaan kekerasan. Pandangannya tersebut merasuk dalam karya sastra anti-patriotiknya yang terkenal seperti Kazakh, Penyerbuan , dan Perang dan Damai.
sumber artikel
Diubah oleh ryan.manullang 02-02-2018 13:40
0
1.5K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan