Media IndonesiaAvatar border
TS
Media Indonesia
UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama Dinilai Multitafsir


KORBAN diskriminasi di Indonesia merupakan kelompok minoritas. Adanya UU No.1/PNPS/1965, dimaksudkan oleh pembuat undang-undang aquo dalam rangka pencegahan, seiring dengan berjalannya waktu terbukti kabur sehingga multitafsir.



Demikian salah satu pendapat dari saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang yudisial review (peninjauan kembali) UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU No.1/PNPS/1965).



Sidang di kantor MK Jakarta, Senin (23/10) itu, dengan agenda mendengarkan pendapat saksi ahli dan sebagai Pemohon adalah Anisa Dewi; Ary Wijanarko; Asep Saepudin, dengan kuasa hukum Pemohon yakni Fitria Sumarni, dkk.



Dalam pandangan saksi ahli Dr. Jayadi Damanik yang disampaikan di persidangan, diawali dengan menyebut konsep diskriminasi yang dikenal dalam hukum Hak Asasi Manusia (HAM).



"Merujuk pada Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU No.39/1999), Indonesia secara yuridis-normatif mengenal 11 variabel dasar diskriminasi, salah satunya adalah diskriminasi atas dasar agama," ujarnya.



Dia menambahkan dalam literatur hukum HAM disebut sebagai human rights violation through legislation. "Lebih-lebih lagi konstitusi kita menjamin pula kebebasan setiap orang memeluk agama dan beribadat menutur agamanya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945," ujarnya.



Menurut Jayadi, 1 (satu) dari 7 (tujuh) jenis hak yang tergolong sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights) adalah hak beragama, sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.



Dalam kaitannya dengan Ahmadiyah dan UU No.1/PNPS/1965, menurut Jayadi, komunitas ini sebagai minoritas bila dibandingkan dengan komunitas lainnya di Indonesia. Maka, lanjutnya, Ahmadiyah tergolong sebagai korban akibat diskriminasi dalam beragam wujudnya.



"Berdasarkan temuan saya, itu terjadi antara lain karena pemberlakuan UU No.1/PNPS/1965 yang multitafsir (melalui SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah). Lebih-lebih lagi seolah-olah satu-satunya tafsir yang benar adalah tafsir yang diberikan oleh para tokoh agama yang komunitasnya mayoritas," ujarnya.



Jayadi menilai undang-undang aquo menyimpang dari maksudnya yang semula, yaitu dalam rangka preventif (pencegahan) menjadi represif sebagai konsekuensi dari adanya kandungan diskriminatif berdasarkan agama di dalamnya.



Dia menjelaskan kelahiran undang-undang aquo dilatarbelakangi oleh perkembangan ketegangan politik dan ideologi saat itu, tidak ada hubungannya dengan kelompok minoritas di Indonesia, seperti halnya Ahmadiyah, Syiah, Kristen, dan sejenisnya.



Dengan demikian, imbuh dia, bahwa maksud dari pembuat undang-undang aquo adalah dalam rangka upaya preventif (pencegahan), bukan represif terhadap minoritas yang seringkali dituduh sebagai yang menodai agama.



"Sepanjang yang saya ketahui, yang dilakukan oleh komunitas Ahmadiyah adalah beribadah secara internal di dalam rumah ibadahnya, tetapi hak mereka untuk menganut aliran agamanya ditiadakan, rumah ibadahnya dirusak, dibakar, disegel, dan/atau dihalang-halangi beribadah, atas dasar diberlakukannya undang-undang aquo yang multitafsir. Mereka tidak melakukan penodaan agama atau melakukan perbuatan yang menghasut untuk meniadakan keyakinan terhadap agama yang dianut di Indonesia (atheisme)," ujarnya.



Lebih lanjut, Jayadi berharap, agar pelanggaran HAM komunitas Ahmadiyah ini tidak berlanjut, termasuk pelanggaran HAM terhadap minoritas lainnya juga tidak berlanjut, maka ketentuan dalam undang-undang aquo haruslah dicegah untuk tidak multitafsir.



Caranya, ujarnya, MK memberi tafsir konstitusional bersyarat, yaitu bahwa norma-norma dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 3 dalam undang-undang aquo tidak boleh dimaknai sebagai yang meniadakan hak untuk menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal yang merupakan bagian dari aliran-aliran yang telah ada dan aktif menjalankan kehidupan keagamannya.



Jayadi juga menilai bahwa undang-undang aquo tergolong represif dan memberikan privilege yang berlebihan dalam melindungi kepentingan kelompok mayoritas.



"Seolah-olah undang-undang aquo boleh ditafsirkan sebagai dasar hukum untuk meniadakan hak menganut aliran agama yang berada di Indonesia oleh para penganutnya yang beribadah secara internal dan aktif menjalankan kehidupan keagamannya," katanya.



Dalam sidang tersebut saksi ahli lain yang dihadirkan ialah Dr, M.Imdadun Rahmat, M.Si yang berpendapat bahwa seharusnya penganut Islam Ahmadiyah di Indonesia merupakan warga Negara dengan hak dan kewajibannya sebagaimana yang lainnya.



Dia juga beralasan, anggota Jemaah Ahmadiyah Indonesia telah lama menjalani kehidupan keagamaan sebagaimana penganut beragam agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia seperti Hindu, Buddha, Islam, Kristen (Kristen Protestan), Katolik (Kristen Katholik), Khonghchu, Baha’i, Sikh, Taoisme, dan ada juga sistem kepercayaan lokal seperti Kajang, Tolotang, Bissu, Sunda Wiwitan, dan Kaharingan, Ugamo Bangso Batak, Parmalim, serta aliran kepercayaan.



" Sesungguhnya, kekerasan dan intoleransi yang melahirkan pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama juga kerap kali dialami oleh berbagai kelompok minoritas agama seperti penghayat kepercayaan, agama lokal dan kelompok yang dituduh sesat," pungkasnya.(RO/OL-3)


Sumber : http://www.mediaindonesia.com/news/r...sir/2017-10-23

---

Kumpulan Berita Terkait :

- Belajar Toleransi di Guanrem

- Banyumas masih Kekurangan Blangko KTP-E

- Ridwan Kamil Sebut Uu Kandidat Tepat Jadi Pendampingnya

anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
736
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan