- Beranda
- Komunitas
- KASKUS Kreator Lounge
[COC CREATOR] Naskah Novel Pertama Itu...


TS
beppe.adelmar
[COC CREATOR] Naskah Novel Pertama Itu...
Selamat Pagi/Malam/Siang/ Sore, Agans dan (Aganswati yang saya cintai)
Dalam kesempatan ini ijinkanlah Saya menulis sepenggal pengalaman hidup saya yang mungkin berguna sebagai bahan renungan kita semua. Renungan yang mungkin bermanfaat mengisi kekosongan fikiran kita semua saat menikmati indahnya matahari terbenam, saat mengamati bintang-bintang di langit pada malam hari, maupun saat membaca label sampo ketika tengah berproses buang air besar.
Cerita ini berisi pengalaman saat untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencoba menulis novel (siapkan tisu ya, sabun nggak usah).
Cerita bermula saat suatu sore hari Minggu yang cerah, putri saya yang cantik, mungil dan menggemaskan merengek mengajak saya untuk membelikannya es krim. Saat itu, saya yang sedang asyik bermain game di smartphone di ruang tengah pun merasa terganggu dengan permintaannya.
Kenapa anak kecil seperti selalu tahu saat yang tidak tepat untuk minta sesuatu? Kenapa dia tidak minta saya menemaninya waktu pagi tadi saat saya disuruh mertua membetulkan mesin pompa air? Kan bisa jadi alasan buat saya kabur.
Saya mencoba menatap bola matanya yang indah dengan tatapan minta dikasihani. Namun matanya melotot seakan berteriak "Saya adalah anak kecil! Maka sayalah yang punya wewenang di sini!"
Akhirnya saya pun hanya bisa pasrah dan tunduk pada keinginan anak itu sambil mengumpat dalam hati "Gua kasih adek baru tahu rasa lu!"
"Emang Ndut mau beli es krim apa?"
"Es Krim dekat sekolahan Ndut yah! Yang biasa Ayah sering nungguin Ndut kalo Ndut pulang sekolah!"
Seketika mata ini berbinar, jantung berdegup kencang, hidung kembang kempis dan mulut menganga lebar. Segera saya melongokkan kepala ke arah jam dinding ruang tengah. Jam setengah 4! Sempurna!
"Ayuk lah Ndut! Cepetan sekarang aja!"
Derap langkah istri yang dari tadi sedang asyik mencat kukunya di dalam kamar pun terdengar melangkah ke ruang tengah. Berdiri di ambang pintu kamar, wajah manisnya menyiratkan kemurkaan yang sangat dalam.
"Kok Ayah tiba-tiba semangat?!"
"Anu.. anu Bun, kan si Ndut sudah lama nggak makan es krim, kasihan.."
"Udahlah! Nggak usah pura-pura! Bunda ikut!" serunya sambil meraih tas
Saya pun menghela nafas panjang. Pernahkah Anda merasakan sebuah harapan dalam hidup Anda sirna? Itulah yang tengah saya rasakan saat itu.
Dari arah kamar, terdengar suara Istri mengomel panjang
"Mentang-mentang jam 4 sanggar aerobik mahasiswi samping kios es krimnya bubaran, langsung semangat! Gitu kan?! Hah?!"
------
Mobil pun telah parkir di kios es krim yang berbeda dari yang direncanakan. Di sepanjang perjalanan, istri dengan semangat berusaha mempengaruhi Ndut untuk berganti kios es krim dengan iming-iming dibelikan dua cup es krim. Tentu anak dengan pipi tembem itu pun menyetujui usul sang Bunda.
Dengan lemas saya pun kembali memainkan game yang tadi tertunda di dalam mobil, sementara Ndut dan Bundanya beli es krim di dalam kios. Tak lama mereka pun kembali ke mobil. Saya yang masih bermain game pun mulai menyalakan mobil.
Entah setan mana yang melintas (enaknya jadi manusia, kalau ada kesalahan bisa nyalahin setan, nah kalau setan lagi khilaf nyalahin siapa?), saya memutuskan untuk mencoba kemampuan multitasking saya dengan tetap bermain game sambil menyetir mobil. Sungguh, hal yang sangat tidak bertanggung jawab, dan sumpah baru kali itu saya lakukan.
Karena konsentrasi terbagi mobil pun saya kemudikan dengan cukup pelan. Istri yang sedang asyik menyuapi Ndut es krim (saya ragu siapa yang lebih banyak menghabiskan es krimnya) nampak tidak memperhatikan saya yang bertindak konyol dan membahayakan nyawa mereka. Tiba-tiba bagaikan adegan sinetron (yang diam-diam saya ikut nikmati walau mulut ini sering mengkritisi), istri berteriak
"Awas Yah!"
-------
Saya terbangun dengan kaki terasa sakit, mata saya pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saya sudah di rumah sakit.
"Ayah sudah sadar!" teriak istri sambil menggendong Ndut melangkah ke arah saya dengan wajah tegang nampung menyiratkan sebersit kelegaan.
Saya yang masih belum dapat mencerna apa yang terjadi pun hanya bisa bengong. Istri pun menceritakan bahwa kemarin saya berusaha menghindari sepeda motor yang tiba-tiba melintas dari gang, secara refleks saya membelokkan mobil sehingga menabrak trotoar dengan cukup keras. Ada indikasi saya dengan tidak sadar menginjak dalam pedal gas alih-alih pedal rem saat itu.
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!" seru Ndut menyela dengan rona wajah bahagia.
"Kaki kanan Ayah patah tulang" istri melanjutkan.
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!" seru Ndut lagi.
"Kata dokter mau dipasang pen"
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!"
Saya mulai berfikir untuk mencoret nama anak ini dari daftar warisan, itupun kalau nanti ada sisa harta yang bisa saya wariskan.
Tapi satu hal yang memang harus disyukuri, anak dan istri saya selamat. Mereka nyaris celaka hanya karena kebodohan saya. Sampai detik ini saya tidak berani cerita bahwa waktu itu saya sedang tidak berkonsentrasi penuh pada saat mengendarai mobil, terlepas apakah itu memang faktor utama yang menyebabkan kecelakaan terjadi.
Hingga saat ini, di depan istri saya masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi
"Tuh kan! Coba beli es krimnya di samping tempat aerobik!"
---------
Hari-hari penuh kebosanan pun melanda. Aktivitas saya di rumah sakit benar-benar terbatas bagaikan jatah beras miskin:
Nonton TV - Main HP - Makan - Tidur
Padahal sebelumnya saya sangat aktif dengan beragam aktivitas, seperti:
Nonton TV - Main HP - Makan - Tidur - Jogging di depan SMA menjelang bel masuk dan pulang
Melihat kebosanan saya itu, salah seorang sepupu yang kita sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya) mengusulkan sebuah ide brilian.
"Bang, kalau abang bosen, nulis aja bang!"
"Nulis apaan?" tanya saya sambil melihatnya menghabiskan roti yang dibawanya. Pasti dia lupa kalau roti itu dititipkan oleh orangtuanya untuk diberikan kepada saya.
"Ya diary kek, cerpen kek, cerbung kek, novel kek!"
Seketika saya mendapatkan inspirasi. Ada betulnya anak ini, kenapa saya tidak coba menulis saja. Saya lihat istri saya yang berdiri di samping dengan tatapan penuh tanya. istri saya pun menatap saya dengan penuh arti. Setelah mendampingi saya dengan setia selama beberapa hari ini, dia terlihat tampak lebih muda dan cantik. Saya coba genggam tangannya erat, dia berhak tahu kalau saya sangat berterima kasih dia selalu mendampingi saya dalam susah dan duka.
"Emm.. Maaf Pak..Tangannya.."
"Hah? Kamu Siapa?"
"Saya yang ngantar makan siang pak.."
"Lah, Istri saya mana?"
"Tadi ke kamar mandi Pak.. Saya permisi dulu.."
------
Pertanyaan pertama yang menggantung adalah apa yang sebenarnya ingin saya tulis?
Biografi? Belum banyak orang yang kenal dan mengidolakan saya.
Buku tutorial? Saya tidak yakin buku berjudul "1001 Kamuflase untuk Lirik-lirik Siswi SMA" bakal lolos dari sensor pemerintah dan sensor istri saya.
Buku masakan? Saya pernah masak nasi goreng, dan melihat ekspresi Ndut dan istri waktu menyantapnya, saya yakin setan juga akan istigfar kalau ikut makan bersama kami.
Satu-satunya yang bisa saya tulis adalah sektor fiksi, mengingat bakat hebat saya mengarang surat ijin sakit saat SMP dulu.
Sebagai seorang yang tidak mau tanggung-tanggung dalam mengerjakan segala sesuatu, saya langsung memutuskan untuk menulis novel!
Apa itu cerpen? Apa itu cerbung? Nggak level!
Tapi temanya apa?
"Tentang cinta-cintaan anak kuliah aja bang!" seru Bunga memberi usul dengan semangat
"Ah, udah banyak itu! Abang mau nulis tentang naga-nagaan aja. Ntar ada cerita cintanya juga, si pangeran yang harusnya bunuh naga buat bebasin putri malah jatuh cinta sama naganya, tapi orangtua naganya nggak merestui"
"Ih Abang! Kan Bunga yang kasih ide buat nulis, pertama kali ini deh tulisin tentang kisah cinta Bunga" rajuk gadis yang nampak makin subur setiap harinya itu.
Bunga pun menceritakan kisah hidupnya, tentang seorang gadis cantik yang diundang datang kencan makan malam setelah kenalan di media sosial oleh seorang pria tampan namun tidak ada kelanjutannya lagi. Sang pria pun mencari gadis lain namun pada akhirnya hidup menderita karena satu dan lain hal. Klise! Sinetron banget!
"Abang kan dulu dah pernah bilang, kalau mau pasang foto di medsos yang asli jangan yang diedit sudah kurus. Wajar aja dia kaget" saya mencoba menasihati setelah mendengar cerita versinya yang nampak sudah diubah faktanya disana-sini, sedangkan cerita sebenarnya sudah tersebar di seluruh anggota keluarga besar.
"Abang nuduh Bunga gendut?!" mata mahasiswi tingkat 3 itu melotot tajam.
"Bukan gendut.. Tapi kalau mau dibilang ideal masih jauh banget lah"
Maka hari-hari selanjutnya pun berlalu dengan mencoba menulis novel berdasarkan karangan cerita Bunga. Tak disangka untaian kata terus mengalir dalam hentakan jari-jari mungil saya di keyboard laptop. Hanya dalam dua jam saja, sudah dua kalimat yang berhasil saya ketik. Setelah saya hitung, untuk menulis novel perlu waktu 10 tahun dengan tingkat kecepatan seperti itu. Saya pun jadi putus asa dan bad mood.
Namun istri saya memang bukan wanita biasa, dia selalu tahu cara membangkitkan semangat suaminya tercinta.
"Ayah kalau lagi putus asa coba deh ingat-ingat kata-kata mutiara orang-orang terkenal, atau quote dari film yang ayah suka, biasanya kan ada yang bikin semangat"
Saya pun mencoba mengingat-ingat sesuatu, namun nampak sia-sia, satu-satunya kutipan yang saya ingat dalam adegan film hanyalah:
"Oh yes! Oh no!"
----------
Tak disangka kegiatan menulis itu ternyata lumayan dapat membunuh waktu yang saya habiskan di ranjang rumah sakit. Bahkan setelah boleh pulang ke rumah namun masih terbatas beraktivitas dan menggunakan kursi roda, saya tetap melanjutkan penulisan novel.
Akhirnya kurang lebih dua bulan, saya berhasil merampungkan novel aneh itu. Segera saya hubungi Bunga. Sebagai bahan inspirasi dan salah satu karakter utama yang mendapatkan banyak polesan dan upgrade karakter dari yang asli, dia berhak tahu bahwa novelnya telah selesai. Anak sulung dari 3 bersaudara itupun dengan antusias segera mengambil naskah tersebut.
Hari demi hari berlalu, naskah novel jadi-jadian itupun telah terlupakan dari benak saya. Hari-hari saya kembali disibukkan oleh terapi berjalan dan mencicil kerjaan yang menumpuk. Jalan-jalan di depan SMA favorit saya belum bisa saya lakukan kembali, karena untuk berjalan ke luar rumah istri merasa berkewajiban selalu mendampingi.
"Bang!" teriak Bunga yang tiba-tiba datang ke rumah suatu hari mengagetkan saya yang sedang asyik membaca SMS dari satpam SMA yang mengabarkan kalau sekarang para siswi sedang rajin mengambil pelajaran tambahan di sekolah setiap sore dalam rangka menghadapi ujian akhir dengan sering menggunakan pakaian ketat.
"Apa Bunga?"
"Naskah novel abang kata temen-temen bangus banget. Lucu!" teriaknya dengan mata berbinar bangga.
Saya tidak langsung menyahut pujiannya, sebagai seorang yang nampaknya kini akan berperan besar dalam hidupnya, saya harus menjaga kata-kata yang keluar dari mulut saya agar terlihat berwibawa. Saya hanya bisa mendongakkan kepala dan memicingkan mata menatapnya, bagaikan hidupnya amatlah rendah dibandingkan pesona yang saya miliki.
"Ya jelas dong!"
"Bunga dah kirimin ke penerbit!"
"Apa?! Penerbit?!"
Seketika keringat saya mengucur. Tentu saja novel itu tidak sama sekali dimaksudkan untuk diterbitkan. Hanya sebagai kenang-kenangan saya pernah mengisi waktu setelah hampir mengorbankan nyawa keluarga.
"Iya! Tunggu 4 bulan nanti bang kabar dari penerbitnya!"
Tentu saja saya kaget dengan keputusan gegabah itu. Namun dalam diri saya tak lepas terbersit godaan untuk berangan-angan seandainya novel saya diterima untuk diterbitkan. Bagaimana saya nanti akan menghindar dari kepopuleran? Saya bahkan sudah membeli kacamata hitam dan topi untuk berjaga-jaga bila saya terkenal dan ingin jalan-jalan supaya tidak dikenali. Lalu bagaimana dengan keluarga? Apakah mereka sudah siap menjalani kehidupan selebritis yang amat menuntut rasa saling percaya? Bahkan saya sudah menanyakan kesediaan Pak Jono, satpam SMA, untuk menjadi bodyguard saya dan keluarga jika nanti banyak wartawan yang mengepung rumah kami.
6 bulan telah berlalu namun tidak juga kunjung datang kabar dari sang penerbit yang sudah terkenal menerbitkan beberapa novel laris itu.
"Kamu dulu ngirimnya pake perangko berapa rupiah Bunga? Jangan-jangan belum nyampe?" tanya saya tidak sabar pada Bunga yang suatu hari mampir.
"Ye, Bunga ngirimnya pake kilat bang!"
"Ah, penerbit itu kan cuma nerbitin novel dari penulis yang sudah pengalaman. Kalau yang pemula sih susah! Paling juga disimpan aja nggak dibaca naskahnya!" celetuk istri saya sambil menyuapi si Ndut
Tentu saya merasa tersinggung dengan ucapannya. Saya memang pemula dalam urusan mengirimkan naskah novel. Namun kelihaian saya menulis dan mengarang cerita bukankah sudah termahsyur dan terbuti dalam mengarang surat ijin sakit di SMP saya dahulu? Siapa tahu pimpinan editor itu termasuk salah seorang yang saya bantu buatkan surat ijin saat SMP dulu.
"Telpon aja bang penerbitnya!"
Usul bagus! Saya suruh Bunga untuk memencet nomor telepon penerbit itu di HP saya, sementara saya asyik duduk bersandar di sofa tamu. Sebagai calon penulis termahsyur, saya menyadari bukan level saya untuk sekedar memencet nomor telepon seseorang di layar HP.
"Selamat siang!" terdengar suara empuk, lembut dan ceria dari seorang gadis di ujung telepon
"Siang mbak, namanya siapa ya?" saya bertanya dengan ramah, namun setelah melihat sorot mata istri saya memutuskan segera mengganti pertanyaan "Eh, anu mbak, bener ini penerbit xxx? (nama penerbitnya bukan xxx, tapi itu sengaja saya sensor, pada ngerti aja kan kalian? jangan cari di Google yang xxx, nanti keluarnya yang lain saya nggak tanggung jawab)
Setelah memastikan penerbit dan naskah novel saya sudah diterima, saya disambungkan ke bagian editor. Tanpa basa-basi (karena editornya cowok) saya langsung tanyakan keberadaan nasakah novel itu.
"Ehmmm... Ow novel itu ya.. Mmm.. Maaf, tapi kayaknya itu belum bisa kami terbitkan.."
Seketika saya terperanjat. Terngiang kembali pernyataan istri, jangan-jangan benar naskah novel saya hanya ditumpuk tanpa dibaca terlebih dahulu. Tentu saja teori ini perlu diuji lebih jauh, saya pun memutuskan untuk pura-pura bertanya lebih dalam
"Hmm.. Iya deh nggak apa-apa.. Tapi novel saya kemarin ceritanya tentang apa ya Mas? Saya lupa.."
"Hmmm.. Aduh, apa ya.. Hmm.. Eh sebentar ya pak, saya banyak kerjaan.." telepon pun ditutup.
Seketika kesedihan datang menyergap. Mungkin benar nasakah saya hanya ditumpuk, mungkin malah belum dikeluarkan dari amplop. Saya masih belum terima kalau naskah novel saya dianggap tidak memenuhi standar. Bunga yang tahu berita buruk itu pun segera angkat kaki dari rumah. Dia mungkin sudah menyesal telah saya perbudak dan melakukan apa saja yang saya minta selama kurang lebih 6 bulan terakhir ini dengan iming-iming akan dijadikan asisten penulis terkenal.
Namun seperti kata pepatah, dibalik lelaki hebat terdapat wanita yang hebat pula. Istri pun dengan lembut menatap saya.
"Sudahlah Yah, mungkin belum saatnya aja.." katanya sambil memijat lembut pundak saya.
Saya pun tersenyum menatapnya. Istri dan anak saya selalu mendampingi saya dalam berbagai keadaan. Saya pun berencana mengajak istri dan Ndut untuk liburan akhir pekan nanti.
"Lagian kemaren Bunda baca, naskahnya jelek gitu, mana mungkin diterima, mungkin Ayah termasuk orang yang memang nggak punya bakat apa-apa.."
Saya kembali tersenyum melihatnya. Saya berubah fikiran. Saya nggak jadi liburan. Saya kayaknya mau beli tali tambang saja.
Tapi satu hal yang pasti, ketika saya mengingat saat-saat saya sedang duduk di ranjang rumah sakit menulis novel, saya merasakan semangat yang berbeda. Saya tidak pernah menulis sebelumnya, tapi saat itu saya larut dalam asyiknya kegiatan baru. Sedikit banyak kejenuhan saya terobati. Apakah saya akan tetap menulis? Mungkin. Apakah saya akan main hp sambil nyetir lagi? Nggak akan!
NB: Maaf nggak ada gambar, nggak rapi, seadanya saja. Ibarat pepatah mengatakan:
Mmm.. Nanti deh kalau sudah dapat pepatahnya saya update lagi
Dalam kesempatan ini ijinkanlah Saya menulis sepenggal pengalaman hidup saya yang mungkin berguna sebagai bahan renungan kita semua. Renungan yang mungkin bermanfaat mengisi kekosongan fikiran kita semua saat menikmati indahnya matahari terbenam, saat mengamati bintang-bintang di langit pada malam hari, maupun saat membaca label sampo ketika tengah berproses buang air besar.
Cerita ini berisi pengalaman saat untuk pertama kalinya dalam hidup saya mencoba menulis novel (siapkan tisu ya, sabun nggak usah).
Cerita bermula saat suatu sore hari Minggu yang cerah, putri saya yang cantik, mungil dan menggemaskan merengek mengajak saya untuk membelikannya es krim. Saat itu, saya yang sedang asyik bermain game di smartphone di ruang tengah pun merasa terganggu dengan permintaannya.
Kenapa anak kecil seperti selalu tahu saat yang tidak tepat untuk minta sesuatu? Kenapa dia tidak minta saya menemaninya waktu pagi tadi saat saya disuruh mertua membetulkan mesin pompa air? Kan bisa jadi alasan buat saya kabur.
Saya mencoba menatap bola matanya yang indah dengan tatapan minta dikasihani. Namun matanya melotot seakan berteriak "Saya adalah anak kecil! Maka sayalah yang punya wewenang di sini!"
Akhirnya saya pun hanya bisa pasrah dan tunduk pada keinginan anak itu sambil mengumpat dalam hati "Gua kasih adek baru tahu rasa lu!"
"Emang Ndut mau beli es krim apa?"
"Es Krim dekat sekolahan Ndut yah! Yang biasa Ayah sering nungguin Ndut kalo Ndut pulang sekolah!"
Seketika mata ini berbinar, jantung berdegup kencang, hidung kembang kempis dan mulut menganga lebar. Segera saya melongokkan kepala ke arah jam dinding ruang tengah. Jam setengah 4! Sempurna!
"Ayuk lah Ndut! Cepetan sekarang aja!"
Derap langkah istri yang dari tadi sedang asyik mencat kukunya di dalam kamar pun terdengar melangkah ke ruang tengah. Berdiri di ambang pintu kamar, wajah manisnya menyiratkan kemurkaan yang sangat dalam.
"Kok Ayah tiba-tiba semangat?!"
"Anu.. anu Bun, kan si Ndut sudah lama nggak makan es krim, kasihan.."
"Udahlah! Nggak usah pura-pura! Bunda ikut!" serunya sambil meraih tas
Saya pun menghela nafas panjang. Pernahkah Anda merasakan sebuah harapan dalam hidup Anda sirna? Itulah yang tengah saya rasakan saat itu.
Dari arah kamar, terdengar suara Istri mengomel panjang
"Mentang-mentang jam 4 sanggar aerobik mahasiswi samping kios es krimnya bubaran, langsung semangat! Gitu kan?! Hah?!"
------
Mobil pun telah parkir di kios es krim yang berbeda dari yang direncanakan. Di sepanjang perjalanan, istri dengan semangat berusaha mempengaruhi Ndut untuk berganti kios es krim dengan iming-iming dibelikan dua cup es krim. Tentu anak dengan pipi tembem itu pun menyetujui usul sang Bunda.
Dengan lemas saya pun kembali memainkan game yang tadi tertunda di dalam mobil, sementara Ndut dan Bundanya beli es krim di dalam kios. Tak lama mereka pun kembali ke mobil. Saya yang masih bermain game pun mulai menyalakan mobil.
Entah setan mana yang melintas (enaknya jadi manusia, kalau ada kesalahan bisa nyalahin setan, nah kalau setan lagi khilaf nyalahin siapa?), saya memutuskan untuk mencoba kemampuan multitasking saya dengan tetap bermain game sambil menyetir mobil. Sungguh, hal yang sangat tidak bertanggung jawab, dan sumpah baru kali itu saya lakukan.
Karena konsentrasi terbagi mobil pun saya kemudikan dengan cukup pelan. Istri yang sedang asyik menyuapi Ndut es krim (saya ragu siapa yang lebih banyak menghabiskan es krimnya) nampak tidak memperhatikan saya yang bertindak konyol dan membahayakan nyawa mereka. Tiba-tiba bagaikan adegan sinetron (yang diam-diam saya ikut nikmati walau mulut ini sering mengkritisi), istri berteriak
"Awas Yah!"
-------
Saya terbangun dengan kaki terasa sakit, mata saya pun mengedarkan pandangan ke sekeliling. Saya sudah di rumah sakit.
"Ayah sudah sadar!" teriak istri sambil menggendong Ndut melangkah ke arah saya dengan wajah tegang nampung menyiratkan sebersit kelegaan.
Saya yang masih belum dapat mencerna apa yang terjadi pun hanya bisa bengong. Istri pun menceritakan bahwa kemarin saya berusaha menghindari sepeda motor yang tiba-tiba melintas dari gang, secara refleks saya membelokkan mobil sehingga menabrak trotoar dengan cukup keras. Ada indikasi saya dengan tidak sadar menginjak dalam pedal gas alih-alih pedal rem saat itu.
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!" seru Ndut menyela dengan rona wajah bahagia.
"Kaki kanan Ayah patah tulang" istri melanjutkan.
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!" seru Ndut lagi.
"Kata dokter mau dipasang pen"
"Tapi mobilnya masih bisa diperbaiki loh Yah!"
Saya mulai berfikir untuk mencoret nama anak ini dari daftar warisan, itupun kalau nanti ada sisa harta yang bisa saya wariskan.
Tapi satu hal yang memang harus disyukuri, anak dan istri saya selamat. Mereka nyaris celaka hanya karena kebodohan saya. Sampai detik ini saya tidak berani cerita bahwa waktu itu saya sedang tidak berkonsentrasi penuh pada saat mengendarai mobil, terlepas apakah itu memang faktor utama yang menyebabkan kecelakaan terjadi.
Hingga saat ini, di depan istri saya masih menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi
"Tuh kan! Coba beli es krimnya di samping tempat aerobik!"
---------
Hari-hari penuh kebosanan pun melanda. Aktivitas saya di rumah sakit benar-benar terbatas bagaikan jatah beras miskin:
Nonton TV - Main HP - Makan - Tidur
Padahal sebelumnya saya sangat aktif dengan beragam aktivitas, seperti:
Nonton TV - Main HP - Makan - Tidur - Jogging di depan SMA menjelang bel masuk dan pulang
Melihat kebosanan saya itu, salah seorang sepupu yang kita sebut saja Bunga (bukan nama sebenarnya) mengusulkan sebuah ide brilian.
"Bang, kalau abang bosen, nulis aja bang!"
"Nulis apaan?" tanya saya sambil melihatnya menghabiskan roti yang dibawanya. Pasti dia lupa kalau roti itu dititipkan oleh orangtuanya untuk diberikan kepada saya.
"Ya diary kek, cerpen kek, cerbung kek, novel kek!"
Seketika saya mendapatkan inspirasi. Ada betulnya anak ini, kenapa saya tidak coba menulis saja. Saya lihat istri saya yang berdiri di samping dengan tatapan penuh tanya. istri saya pun menatap saya dengan penuh arti. Setelah mendampingi saya dengan setia selama beberapa hari ini, dia terlihat tampak lebih muda dan cantik. Saya coba genggam tangannya erat, dia berhak tahu kalau saya sangat berterima kasih dia selalu mendampingi saya dalam susah dan duka.
"Emm.. Maaf Pak..Tangannya.."
"Hah? Kamu Siapa?"
"Saya yang ngantar makan siang pak.."
"Lah, Istri saya mana?"
"Tadi ke kamar mandi Pak.. Saya permisi dulu.."
------
Pertanyaan pertama yang menggantung adalah apa yang sebenarnya ingin saya tulis?
Biografi? Belum banyak orang yang kenal dan mengidolakan saya.
Buku tutorial? Saya tidak yakin buku berjudul "1001 Kamuflase untuk Lirik-lirik Siswi SMA" bakal lolos dari sensor pemerintah dan sensor istri saya.
Buku masakan? Saya pernah masak nasi goreng, dan melihat ekspresi Ndut dan istri waktu menyantapnya, saya yakin setan juga akan istigfar kalau ikut makan bersama kami.
Satu-satunya yang bisa saya tulis adalah sektor fiksi, mengingat bakat hebat saya mengarang surat ijin sakit saat SMP dulu.
Sebagai seorang yang tidak mau tanggung-tanggung dalam mengerjakan segala sesuatu, saya langsung memutuskan untuk menulis novel!
Apa itu cerpen? Apa itu cerbung? Nggak level!
Tapi temanya apa?
"Tentang cinta-cintaan anak kuliah aja bang!" seru Bunga memberi usul dengan semangat
"Ah, udah banyak itu! Abang mau nulis tentang naga-nagaan aja. Ntar ada cerita cintanya juga, si pangeran yang harusnya bunuh naga buat bebasin putri malah jatuh cinta sama naganya, tapi orangtua naganya nggak merestui"
"Ih Abang! Kan Bunga yang kasih ide buat nulis, pertama kali ini deh tulisin tentang kisah cinta Bunga" rajuk gadis yang nampak makin subur setiap harinya itu.
Bunga pun menceritakan kisah hidupnya, tentang seorang gadis cantik yang diundang datang kencan makan malam setelah kenalan di media sosial oleh seorang pria tampan namun tidak ada kelanjutannya lagi. Sang pria pun mencari gadis lain namun pada akhirnya hidup menderita karena satu dan lain hal. Klise! Sinetron banget!
"Abang kan dulu dah pernah bilang, kalau mau pasang foto di medsos yang asli jangan yang diedit sudah kurus. Wajar aja dia kaget" saya mencoba menasihati setelah mendengar cerita versinya yang nampak sudah diubah faktanya disana-sini, sedangkan cerita sebenarnya sudah tersebar di seluruh anggota keluarga besar.
"Abang nuduh Bunga gendut?!" mata mahasiswi tingkat 3 itu melotot tajam.
"Bukan gendut.. Tapi kalau mau dibilang ideal masih jauh banget lah"
Maka hari-hari selanjutnya pun berlalu dengan mencoba menulis novel berdasarkan karangan cerita Bunga. Tak disangka untaian kata terus mengalir dalam hentakan jari-jari mungil saya di keyboard laptop. Hanya dalam dua jam saja, sudah dua kalimat yang berhasil saya ketik. Setelah saya hitung, untuk menulis novel perlu waktu 10 tahun dengan tingkat kecepatan seperti itu. Saya pun jadi putus asa dan bad mood.
Namun istri saya memang bukan wanita biasa, dia selalu tahu cara membangkitkan semangat suaminya tercinta.
"Ayah kalau lagi putus asa coba deh ingat-ingat kata-kata mutiara orang-orang terkenal, atau quote dari film yang ayah suka, biasanya kan ada yang bikin semangat"
Saya pun mencoba mengingat-ingat sesuatu, namun nampak sia-sia, satu-satunya kutipan yang saya ingat dalam adegan film hanyalah:
"Oh yes! Oh no!"
----------
Tak disangka kegiatan menulis itu ternyata lumayan dapat membunuh waktu yang saya habiskan di ranjang rumah sakit. Bahkan setelah boleh pulang ke rumah namun masih terbatas beraktivitas dan menggunakan kursi roda, saya tetap melanjutkan penulisan novel.
Akhirnya kurang lebih dua bulan, saya berhasil merampungkan novel aneh itu. Segera saya hubungi Bunga. Sebagai bahan inspirasi dan salah satu karakter utama yang mendapatkan banyak polesan dan upgrade karakter dari yang asli, dia berhak tahu bahwa novelnya telah selesai. Anak sulung dari 3 bersaudara itupun dengan antusias segera mengambil naskah tersebut.
Hari demi hari berlalu, naskah novel jadi-jadian itupun telah terlupakan dari benak saya. Hari-hari saya kembali disibukkan oleh terapi berjalan dan mencicil kerjaan yang menumpuk. Jalan-jalan di depan SMA favorit saya belum bisa saya lakukan kembali, karena untuk berjalan ke luar rumah istri merasa berkewajiban selalu mendampingi.
"Bang!" teriak Bunga yang tiba-tiba datang ke rumah suatu hari mengagetkan saya yang sedang asyik membaca SMS dari satpam SMA yang mengabarkan kalau sekarang para siswi sedang rajin mengambil pelajaran tambahan di sekolah setiap sore dalam rangka menghadapi ujian akhir dengan sering menggunakan pakaian ketat.
"Apa Bunga?"
"Naskah novel abang kata temen-temen bangus banget. Lucu!" teriaknya dengan mata berbinar bangga.
Saya tidak langsung menyahut pujiannya, sebagai seorang yang nampaknya kini akan berperan besar dalam hidupnya, saya harus menjaga kata-kata yang keluar dari mulut saya agar terlihat berwibawa. Saya hanya bisa mendongakkan kepala dan memicingkan mata menatapnya, bagaikan hidupnya amatlah rendah dibandingkan pesona yang saya miliki.
"Ya jelas dong!"
"Bunga dah kirimin ke penerbit!"
"Apa?! Penerbit?!"
Seketika keringat saya mengucur. Tentu saja novel itu tidak sama sekali dimaksudkan untuk diterbitkan. Hanya sebagai kenang-kenangan saya pernah mengisi waktu setelah hampir mengorbankan nyawa keluarga.
"Iya! Tunggu 4 bulan nanti bang kabar dari penerbitnya!"
Tentu saja saya kaget dengan keputusan gegabah itu. Namun dalam diri saya tak lepas terbersit godaan untuk berangan-angan seandainya novel saya diterima untuk diterbitkan. Bagaimana saya nanti akan menghindar dari kepopuleran? Saya bahkan sudah membeli kacamata hitam dan topi untuk berjaga-jaga bila saya terkenal dan ingin jalan-jalan supaya tidak dikenali. Lalu bagaimana dengan keluarga? Apakah mereka sudah siap menjalani kehidupan selebritis yang amat menuntut rasa saling percaya? Bahkan saya sudah menanyakan kesediaan Pak Jono, satpam SMA, untuk menjadi bodyguard saya dan keluarga jika nanti banyak wartawan yang mengepung rumah kami.
6 bulan telah berlalu namun tidak juga kunjung datang kabar dari sang penerbit yang sudah terkenal menerbitkan beberapa novel laris itu.
"Kamu dulu ngirimnya pake perangko berapa rupiah Bunga? Jangan-jangan belum nyampe?" tanya saya tidak sabar pada Bunga yang suatu hari mampir.
"Ye, Bunga ngirimnya pake kilat bang!"
"Ah, penerbit itu kan cuma nerbitin novel dari penulis yang sudah pengalaman. Kalau yang pemula sih susah! Paling juga disimpan aja nggak dibaca naskahnya!" celetuk istri saya sambil menyuapi si Ndut
Tentu saya merasa tersinggung dengan ucapannya. Saya memang pemula dalam urusan mengirimkan naskah novel. Namun kelihaian saya menulis dan mengarang cerita bukankah sudah termahsyur dan terbuti dalam mengarang surat ijin sakit di SMP saya dahulu? Siapa tahu pimpinan editor itu termasuk salah seorang yang saya bantu buatkan surat ijin saat SMP dulu.
"Telpon aja bang penerbitnya!"
Usul bagus! Saya suruh Bunga untuk memencet nomor telepon penerbit itu di HP saya, sementara saya asyik duduk bersandar di sofa tamu. Sebagai calon penulis termahsyur, saya menyadari bukan level saya untuk sekedar memencet nomor telepon seseorang di layar HP.
"Selamat siang!" terdengar suara empuk, lembut dan ceria dari seorang gadis di ujung telepon
"Siang mbak, namanya siapa ya?" saya bertanya dengan ramah, namun setelah melihat sorot mata istri saya memutuskan segera mengganti pertanyaan "Eh, anu mbak, bener ini penerbit xxx? (nama penerbitnya bukan xxx, tapi itu sengaja saya sensor, pada ngerti aja kan kalian? jangan cari di Google yang xxx, nanti keluarnya yang lain saya nggak tanggung jawab)
Setelah memastikan penerbit dan naskah novel saya sudah diterima, saya disambungkan ke bagian editor. Tanpa basa-basi (karena editornya cowok) saya langsung tanyakan keberadaan nasakah novel itu.
"Ehmmm... Ow novel itu ya.. Mmm.. Maaf, tapi kayaknya itu belum bisa kami terbitkan.."
Seketika saya terperanjat. Terngiang kembali pernyataan istri, jangan-jangan benar naskah novel saya hanya ditumpuk tanpa dibaca terlebih dahulu. Tentu saja teori ini perlu diuji lebih jauh, saya pun memutuskan untuk pura-pura bertanya lebih dalam
"Hmm.. Iya deh nggak apa-apa.. Tapi novel saya kemarin ceritanya tentang apa ya Mas? Saya lupa.."
"Hmmm.. Aduh, apa ya.. Hmm.. Eh sebentar ya pak, saya banyak kerjaan.." telepon pun ditutup.
Seketika kesedihan datang menyergap. Mungkin benar nasakah saya hanya ditumpuk, mungkin malah belum dikeluarkan dari amplop. Saya masih belum terima kalau naskah novel saya dianggap tidak memenuhi standar. Bunga yang tahu berita buruk itu pun segera angkat kaki dari rumah. Dia mungkin sudah menyesal telah saya perbudak dan melakukan apa saja yang saya minta selama kurang lebih 6 bulan terakhir ini dengan iming-iming akan dijadikan asisten penulis terkenal.
Namun seperti kata pepatah, dibalik lelaki hebat terdapat wanita yang hebat pula. Istri pun dengan lembut menatap saya.
"Sudahlah Yah, mungkin belum saatnya aja.." katanya sambil memijat lembut pundak saya.
Saya pun tersenyum menatapnya. Istri dan anak saya selalu mendampingi saya dalam berbagai keadaan. Saya pun berencana mengajak istri dan Ndut untuk liburan akhir pekan nanti.
"Lagian kemaren Bunda baca, naskahnya jelek gitu, mana mungkin diterima, mungkin Ayah termasuk orang yang memang nggak punya bakat apa-apa.."
Saya kembali tersenyum melihatnya. Saya berubah fikiran. Saya nggak jadi liburan. Saya kayaknya mau beli tali tambang saja.
Tapi satu hal yang pasti, ketika saya mengingat saat-saat saya sedang duduk di ranjang rumah sakit menulis novel, saya merasakan semangat yang berbeda. Saya tidak pernah menulis sebelumnya, tapi saat itu saya larut dalam asyiknya kegiatan baru. Sedikit banyak kejenuhan saya terobati. Apakah saya akan tetap menulis? Mungkin. Apakah saya akan main hp sambil nyetir lagi? Nggak akan!
NB: Maaf nggak ada gambar, nggak rapi, seadanya saja. Ibarat pepatah mengatakan:
Mmm.. Nanti deh kalau sudah dapat pepatahnya saya update lagi
0
1.9K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan