- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
"SATE" Penyambung Lidah Rakyat


TS
ryan.manullang
"SATE" Penyambung Lidah Rakyat
Quote:
"Jika rasa adalah pengalaman, sate memiliki riwayat dalam membumbui dan mencecapi suka cita Indonesia".
“Ayo kita cari sate ke luar, ambil angin!” seru Bung Karno.
Ajakan itu kerap melecut dari mulutnya untuk mengakhiri ketegangan diskusi dengan Roestam Effendi sekitar awal 1920-an. Sate. Hidangan ini tercipta lewat amukan jerebu pemanggangan yang menyesakkan. Aromanya melayang-layang bersama debu, lalu menghasut kalbu. Di balik kelamnya jerebu, cencangan daging berlumuran bumbu kecap dirangkai dalam bilah-bilah bambu. Ketika indra pencecap mencumbu, siapa pun tak kuasa merindu. Singkat kata, sate berhasil melerai gelegak pertengkaran dua pemuda lugu.
Ketika itu keduanya tengah bersekolah di Bandung. Bung Karno belajar di Technische Hoogeschool te Bandoeng, sedangkan Roestam belajar Hogere Kweekschool Bandung. Awalnya, mereka berjumpa ketika beranggar pikiran di kediaman para pendiri Nationaal Indische Partij, boleh jadi di rumah Tjipto Mangunkusoemo atau rumah Douwes Dekker. Kendati sama-sama berpikiran kiri, mereka masih saja berselisih pendapat. “Cuma dalam satu hal kita sepaham dan sependapat,” ungkap Roestam, “yaitu agak prihatin dengan banyaknya organisasi-organisasi pemuda waktu itu yang mengibarkan dan mengikuti bendera-bendera kesukuan.” Roestam menuturkan kenangan tentang santapan pelepas ketegangan yang digemari Sukarno muda dalam catatan pendeknya bertajuk “Menyusuri Kenang-kenangan Perjuangan Masa Mudaku”
Kisahnya merupakan bagian Bunga Rampai Soempah Pemoeda, yang terbit pada 1978—setahun sebelum dia wafat. Lelaki asal Padang itu beken sebagai pujangga dan pernah sebagai orang Indonesia pertama yang duduk di parlemen Negeri Belanda mewakili Partai Komunis Belanda, Communistische Party Nederland. Sementara di negeri sendiri, Roestam dicap sebagai pengkhianat Partai Komunis Indonesia.
Entahlah, mengapa Bung Karno menggemari sate. Santapan kegemaran memang diyakini bisa mencetuskan zat yang berpengaruh pada struktur kimiawi otak dan psikologi, sehingga bisa memperbaiki suasana hati penyantapnya. Layaknya kopi yang mencandu dan menginspirasi.
Quote:
Bandung, bagi Bung Karno, adalah kota inspirasi keduanya selepas Surabaya. Di kota ini dia mengawali landasan pemikiran untuk pergerakan politiknya. Suatu hari dia membolos kuliah untuk sekadar blusukan dengan sepeda ke kawasan pinggiran kota. Dia berjumpa dengan seorang petani bersahaja bernama Marhaen,dan berbincang sejenak tentang kehidupan sejati rakyat jelata. Sosok petani lusuh itu kelak memberinya pencerahan tentang lambang penemuan kembali visi kepribadian nasional Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” demikian ungkapnya dalam Sukarno, An Autobiography as Told to Cindy Adam s, yang terbit pertama kali di New York pada 1965. Buku yang sama dalam versi bahasa Indonesia menyusul terbit setahun kemudian, berjudul Bung Karno, Pejambung Lidah Rakjat Indonesia.
Dalam suatu perkumpulan di Bandung, Soekarno pernah berapi-api mengindoktrinasi kawan-kawannya tentang Marhaenisme. Nama petani itu telah lahir kembali yang sarat pengertian pengertian politik.
Tukang sate pun turut menginspirasi Bung Karno tentang visi perjuangan kelasnya. Karena, menurutnya, seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai peralatan sedikit: “orang kecil dengan kepemilikan kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri” seperti petani, pedagang keliling, dan tukang sate pikulan.
Quote:
Ketika menjabat sebagi Presiden Republik Indonesia, si Bung masih kerap blusukan di sudut-sudut Jakarta. Berlagak menyamar, dia bisa mendengarkan rakyat yang bercakap, berdebatan, berkelakar, hingga bercumbu kasih. Rakyat adalah “roti-kehidupan”baginya. “Aku ingin bercampur dengan rakyat,” ungkapnya. “Itulah yang menjadi kebiasaanku.”
Bersama seorang pengemudi istana, Bung Karno keluyuran dengan mobil kecil tanpa tanda pengenal kepresidenan. Mereka menyusuri jalanan ibu kota, dan sesekali singgah sejenak mencicipi menu jalanan. “Adakalanya aku berhenti dan membeli sate di pinggiran jalan. Kududuk seorang diri di pinggir trotoar dan menikmati jajanku dari bungkus daun pisang,” kenangnya. “Sungguh saat saat yang menyenangkan.” Kendati penampilannya sudah tersamar, ada kalanya misi rahasia Bung Karno terbongkar karena rakyat begitu mengenali cengkok dan warna suara presidennya. Jika perkara ini terjadi, Bung Karno buru-buru masuk mobil kecilnya dan segera tancap gas.
"Lukisan Pendjual Sate adalah wujud kecintaan Lee Man Fong terhadap Indonesia," ungkap Mikke. Dia juga menambahkan, mungkin "lukisan tersebut dibeli pada saat pameran Yin Hua di Jakarta. Kemungkinan kedua, lukisan tersebut dikerjakan dan diberikan pada saat ia bertugas sebagai pelukis istana." Mikke mengungkapkan bahwa Man Fong "mendirikan dan mengorganisasi sebuah kelompok bernama “Yin Hua”, sebuah organisasi pelukis keturunan Tionghoa pada tahun 1955." Setiap tahun, pada 1955-1960, kelompok ini menggelar pameran di Jakarta. Bung Karno pun rajin menyaksikan pameran mereka. Apakah lukisan itu dipilih oleh Bung Karno karena menampilkan penjual sate? Entahlah. Namun, pastinya, Man Fong adalah pelukis istana yang menarik perhatian Bung Karno karena memadukan teknik lukis Cina klasik dan tema Indonesia. Bahkan, menurut Mikke, Bung Karno memiliki seratusan koleksi karya Man Fong, yang menjadikan koleksi terbanyak kedua setelah pelukis Dullah. Inilah bukti betapa Bung Karno menggemari lukisan-lukisan karya Man Fong.
Quote:
Kegemaran Bung Karno menyantap sate telah menjadikan hidangan ini sebagai salah satu menu adirasa yang hadir di Konperensi Asia Afrikapada 1955. Betapa sate telah hadir sebagai santapan diplomasi yang menyatukan selera dan kesetaraan nasib negara sedang berkembang di dua benua. Kita pun teringat kembali ketika sate menjadi alat pelentur diskusi bagi Bung Karno dan Roestam sekitar tiga dekade sebelumnya. Si Bung berkesempatan mengajak Perdana Menteri India dan sederet delegasi negara Afrika untuk singgah dan bersantap di kedai peraciknya. Kedai peracik sate nan sohor itu bernama Rumah Makan Madrawi "Madura"—yang lebih sohor dengan sebutan Sate Madrawi. Pemiliknya adalah keluarga asal Madura asli yang mengadu nasib di Bandung. Selain menyajikan sate, kedai ini juga menghidangkan soto madura, gulai kambing, dan rawon. Dahulu, kedai ini berlokasi di dekat Masjid Agung Bandung. Apesnya, salah satu tengara pusaka kota itu gulung tikar pada pertengahan 1980-an.
Bukan suatu kebetulan apabila sate telah akrab di lidah orang-orang Asia Tenggara hingga Afrika. Orang Indonesia dan Malaysia biasa menyebutnya dengan sate, saté, atau satai. Tampaknya, sebutan itu berasal dari bahasa Tamil, yakni “sathai” yang bermakna makanan dari daging. Sementara itu orang Thailand dan Vietnam menyebut satay. Muslim di Filipina selatan lebih akrab menyebutnya dengan sattii. Sementara, sebutan sosatie menandai menu ini untuk orang Afrika Selatan.
Leluhur kita pun menyantap daging lebih sedikit ketimbang leluhur negeri-negeri yang memiliki kuasa atas padang-padang gembala. Catatan para penjelajah pemburu rempah abad ke-16 dan abad ke-17 menunjukkan bahwa daging ternak sungguh sedikit dijumpai di Asia Tenggara.
Quote:
Itulah serangkaian alasan mengapa di tanah bertudung hutan hujan tropis ini, perkara menyantap daging merupakan sesuatu yang istimewa. Daging yang dipanggang di atas jilatan api dan bara memiliki riwayat panjang di Nusantara. Kita pun memiliki catatan atas santapan hewani mereka.
Lien Dwiari Ratnawatidi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan sebagai seorang ahli arkeologi, Lien pernah meneliti menu makanan zaman Majapahit, yang dijumpainya dari sisa tulang, peralatan makan, relief candi, dan prasasti semasa soal peresmian daerah perdikan. Dalam acara peresmian itu lauk pauknya berupa daging kerbau, sapi, kijang, babi, ayam, angsa, dan berbagai jenis ikan. Lien mengungkapkan bahwa cara pengolahan santapan sekitar abad ke-14 pun beragam, salah satunya dipanggang.
Catatan lain soal daging panggang juga diungkapkan oleh Rijklof van Goens
dalam De Samenvattende Gesschriften. Pejabat VOC itu mengunjungi takhta Sultan Mataram pada 1648 hingga 1654. “Jamuan mereka seringkali begitu bersahaja,” ungkap Goens, “terdiri atas domba, kambing, seperempat sapi atau kerbau panggang.” Cerita dari Lien dan Goens tadi hanya merujuk pada kegemaran leluhur kita menyantap daging panggang ketika pesta, bukan sate yang tersaji seperti dalam bayangan kita. Sejak kapan santapan penggoda itu mulai mencumbu lidah orang Nusantara?
Quote:
Sejarah Singkat Sate
Sate berkembang di Nusantara sekitar abad ke-19. Asal usulnya dari racikan pedagang jalanan yang terinspirasi kebab—kuliner asal India berupa daging cencang panggang yang disajikan bersama sayuran. Sate mulai menjadi bagian menu bersantap yang diracik dari dapur hotel papan atas di Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sebagai contoh, setiap Minggu siang, Hotel des Indes dan Savoy Homann menyajikan Rijsttafel mewah yang setiap menu lauknya dibawakan oleh satu pelayan. Meski tersebar di Asia Tenggara, tampaknya sate bermula di Indonesia, demikian ungkap Jennifer Brennan dalam Encyclopedia of Chinese and Oriental Cookery, yang terbit di London pada 1988. "Kendati Thailand dan Malaysia menganggap hidangan ini adalah milik mereka, sesungguhnya asal mula sate yang berkembang di Asia Tenggara adalah Jawa, Indonesia,” ungkap Jennifer yang pakar sejarah kuliner Asia. “Di sini sate dikembangkan melalui adaptasi kebab India yang dibawa para pedagang Muslim ke Jawa. Bahkan, India tidak bisa mengakuinya sebagai negeri asal mula sate karena hidangan ini mendapat pengaruh Timur Tengah."
Kemerdekaan
Berbicara soal kemerdekaan, ada anekdot tentang Bung Karno ketika sehari setelah proklamasi. Sabtu pagi, 18 Agustus 1945, Bung Karno berangkat dari kediamannya di Pegangsaan Timur menuju Pejambon. Hari itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menggelar rapat. Lewat tengah hari, para pemimpin—yang mewakili golongan agama, masyarakat, suku di Indonesia—bertekad bulat memilih Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Bung Hatta sebagai wakilnya. Hari itu sekaligus menandai kata “presiden” yang baru resmi digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia. Suasana rapat tanpa perayaan itu pun berakhir jelang sore.
Dalam kondisi malaria yang belum pulih benar, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia berjalan kaki menuju rumahnya, yang berjarak sekitar empat kilometer. Pastinya, dia juga ditemani bersama beberapa kawan pengawalnya. Di tengah perjalanan, Bung Karno berpapasan dengan tukang sate pikulan yang bertelanjang dada dan tak beralas kaki. Inilah hari yang bersejarah bagi Bung Karno dan rakyat Indonesia karena untuk pertama kalinya sebuah lembing perintah Presiden Republik Indonesia meluncur: “Sate ayam lima puluh tusuk.” Saat itu bulan Ramadhan. Bung Karno menggelar santap malam bersama secara bersahaja ala anak jalanan. Mungkin, inilah jamuan kenegaraan pertama bagi Republik Indonesia. “Aku jongkok di sana dekat selokan dan kotoran,” ungkap Bung Karno kepada Cindy Adams. “Kumakan sateku dengan lahap dan inilah seluruh pesta atas pengangkatan sebagai kepala negara."
Ketika kita berbicara soal santapan boleh jadi kita sedang memperbincangkan soal cerita sebuah bangsa. Sate turut membumbui perjalanan peradaban dan revolusi Indonesia.
sumber
Diubah oleh ryan.manullang 11-10-2017 13:12
0
1.7K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan