tribunnews.comAvatar border
TS
MOD
tribunnews.com
Kerugian Negara Akibat Pemberian SKL BLBI untuk Bank BDNI Rp 4,58 Triliun


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, menyampaikan data hasil audit investigatif yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI bahwa kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL)terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) mencapai Rp 4,58 triliun.

"Kami berterima kasih kepada BPK yang sudah membantu melakukan audit investigatif. Jadi auditnya sudah kami terima dan indikasi kerugian keuangan negara final dari hasil audit itu adalah sekitar Rp4,58 triliun," kata Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Senin.

KPK disebutkan telah menerima hasil audit investigatif tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

"Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun," tuturnya.

Menurut Febri, dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan.

Baca: PDIP Masih Simpan Rapat-rapat Calon yang Akan Diusung di Pilgub Kaltim

Baca: Jalan Layang Pasupati Ditutup, Jasa Marga Imbau Pengguna Jalan Tol Hindari GT Pasteur

"Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri dari Rp1,1 triliun yang dinilai 'suistanable' dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan," kata Febri.

Sebelumnya, tutur Febri, perhitungan BPK hanya Rp220 miliar yang kemudian benar-benar tidak menjadi bagian dari indikasi kerugian keuangan negara tersebut.
Sehingga dari total Rp4,8 triliun, indikasi kerugian keuangan negaranya adalah Rp4,58 triliun.

"Jadi, ini satu langkah yang penting saya kira dalam penanganan kasus indikasi korupsi BLBI ini, audit kerugian keuangan negara sudah selesai dan proses pemeriksaan saksi-saksi akan kami lakukan lebih intensif ke depan," ujarnya.

Dalam kasus itu, KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meskipun baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Sumber: Antara


Sumber : http://www.tribunnews.com/bisnis/201...rp-458-triliun

---

Baca Juga :

- KPK Dalami Peran Ibunda Dalam Suap Aditya Moha kepada Hakim Sudiwardono

- KPK Tetap Agendakan Setya Novanto Bersaksi Dalam Sidang Kasus Korupsi e-KTP

- Wakil Ketua KPK Saut Situmorang Dilaporkan ke Bareskrim Polri Terkait Dugaan Pembuatan Surat Palsu

0
365
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan