- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengenal Pustaha: Produk Tulis Suku Batak


TS
ryan.manullang
Mengenal Pustaha: Produk Tulis Suku Batak
Quote:
Secara umum, istilah pustaha
merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan sebuah produk tradisi tulis dari suku Batak. Meskipun demikian, setiap kelompok masyarakat Batak memiliki definisi masing-masing terkait makna istilah ini. Kelompok Batak Toba misalnya menyebutkan bahwa Pustaha berasal dari bahasa kelompok Batak Toba yang merupakan istilah untuk menyebutkan buku ramalan suku Batak. Kelompok Batak Karo menyebut buku mereka dengan istilah pustaka atau pustaka lak-lak yang berarti ‘buku yang terbuat dari kulit kayu’, sedangkan kelompok Batak Pakpak menyebutnya dengan istilah lapihin atau lopijan untuk merujuk benda yang sama.
Menurut Voorhoeve, teks yang tertulis di dalam pustaha biasanya adalah ilmu magis, ramalan, dan obat-obatan meskipun demikian terkadang ditemukan pula pustaha yang berisi tentang peristiwa sejarah, legenda, serta beberapa bentuk pengakuan atas Eropa pada teks-teks tersebut. Pustaha dibuat oleh seorang dukun yang disebut datu
dengan tujuan membuat bahan rujukan yang berfungsi sebagai buku petunjuk yang melengkapi petunjuk lisan yang telah dipelihara sejak lama.
Pustaha ditulis di atas kulit kayu yang dilipat menggunakan mode concertina
(semacam akordion) dan terkadang dilengkapi dengan papan. Meskipun bahasa Batak memiliki banyak dialek, akan tetapi bahasa tulis yang digunakan dalam pustaha tetap seragam tanpa mengurangi ciri khas lokalnya. Ketidakjelasan aksara pada bahasanya ini membuat bahasa Batak memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi pada saat dilakukan proses transkripsi dan transliterasi terhadap teks dalam pustaha.
Quote:
Proses Pembuatan Pustaha
Menurut Teygeler, apabila pembuatan pustaha pada masa lampau dilakukan oleh seorang datu dengan tujuan sebagaimana telah disampaikan, maka pada masa modern saat ini pembuatan pustaha telah mengalami pergeseran yakni untuk kepentingan pariwisata semata. Sehingga berdasarkan tujuan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembuatan pustaha dapat dilakukan oleh setiap orang. Meski demikian, Teygeler menjelaskan bahwa bahan baku serta proses pembuatan pustaha tidak pernah mengalami perubahan. Berikut adalah langkah-langkah pembuatan pustaha yang diambil dari beberapa literatur:
1. Pembuatan pustaha menggunakan kulit pohon alim yang telah dikeringkan selama beberapa waktu. Datu atau muridnya akan memilih satu lembar yang cocok antara panjang dan lebarnya. Apabila tidak didapatkan bagian yang panjang, maka ia akan memotong kulit kayu tersebut kecil-kecil dan menyambungnya dengan menggunakan lem atau dijahit. Ukuran pustaha terkecil mencapai 5 x 6 cm, sedangkan ukuran terbesar mencapai 28,5 x 42,5 cm yang keduanya tersimpan pada koleksi pribadi H.J.A. Promes.
2. Ia akan memotong lurus kedua ujungnya dan diratakan dengan pisau. Kemudian permukaannya yang kasar dihaluskan dengan menggunakan daun yang kasar atau untuk saat ini dapat menggunakan ampelas.
3. Permukaan kulit yang terlipat atau robek harus diperbaiki dengan cara yang sangat sederhana.
4. Melipat kulit kayu merupakan tindakan yang tidak tepat karena dapat menyebabkan kertas tidak akan pernah rata. Pada salah satu naskah Koninklijke Bibliotheek terdapat sebuah kertas yang dilipat menjadi setengah ukuran buku pada umumnya, hal ini dimungkinkan bahwa pembuatnya membuat kesalahan pada saat pembuatan. Kulit kayu pertama kali dilipat menggunakan tangan, kemudian lipatan itu dipukul menggunakan palu sehingga menyebabkan permukaan kulit kayu itu menjadi rusak.
5. Biasanya sisi-sisi lipatan dipotong agar menjadi rata. Biasanya banyak ditemukan naskah-naskah yang sisi-sisinya tidak rata.
6. Bagian depan dan belakang kulit disiram menggunakan air saripati beras agar tinta dapat melekat dengan baik pada permukaan kulit. Saat ini pustaha yang digunakan untuk kepentingan wisata ditulis menggunakan tinta yang disebut Parmagam, sebuah bahan kimia yang berasal dari apotik setempat.
7. Untuk memudahkan penulisan di atas permukaan kulit seringkali dibuat garis samar (blind lines). Garis tersebut dibuat paralel dengan lipatan menggunakan penggaris dari bambu (balobas) dan digoreskan menggunakan pisau dari bambu (panggorit).
8. Proses penulisan teks pada pustaha sudah bisa dilakukan. Terkadang penyalin ingin mencoba alat tulisnya sehingga seringkali terdapat coretan-coretan pada lembar pertama di bawah sampul. Pustaha juga sering digunakan sebagai buku catatan untuk memberikan informasi dan berbagi bersama orang lain sehingga inilah yang menjadi alasan bahwa terkadang kita dapat menemukan buku yang ditulis oleh banyak tangan.
9. Setelah proses penulisan selesai, langkah terakhir adalah memberikan papan sampul. Akan tetapi tidak semua pustaha mengalami proses pemberian papan sampul seperti yang terdapat pada koleksi Van der Tuuk
saat dimasukkan ke Universitas Leiden pada tahun 1896. Terdapat ragam dekorasi pada papan sampul, ada yang diukir, polos, berwarna hitam atau coklat, dan terkadang ada juga yang tidak berwarna.
10. Biasanya naskah diikat bersama dengan menggunakan satu atau dua tali pengikat dengan menggunakan bambu atau rotan yang dianyam atau diratakan.
Tradisi Buku Lipat di Asia
Salah satu karakteristik pustaha adalah dilipat. Selain di China, Jepang, dan beberapa bagian negara di Asia Tenggara, produk buku lipat seperti ini tidak dikenal di Asia. Di India misalnya, tradisi ini tidak dikenal kecuali terdapat buku siap lipat terbuat dari kapas yang digunakan oleh pedagang dari Mysore dan itupun menurut Gaur berasal dari China. Hal tersebut cukup beralasan bahwa selama berabad-abad jenis buku kuno yang digunakan oleh masyarakat India adalah naskah yang terbuat dari daun palem yang dinamakan pothi.
Di bagian Utara Burma dan Thailand, buku lipat merupakan artefak yang sangat populer seperti halnya di Kamboja dan Laos meskipun lebih rendah popularitasnya. Buku-buku tersebut biasanya digunakan oleh para raja dan masyarakat kelas atas pada abad ke 14-15. China memulai tradisi pembuatan buku lipat pada akhir dinasti Sui dan pada awal dinasti Tang. Sekitar 850 buku lipat dibuat untuk menggantikan kertas sistem gulungan dan batangan. Tiga jenis buku lipat di China adalah: sutra lipat (jingzhe zhuang), angin puyuh lipat (the whirldwind binding / xuanfeng zhuang), dan album lipat (ceye). Tradisi buku lipat ini mulai tergerus oleh kehadiran buku-buku cetak pada akhir abad kesepuluh.
Jepang memulai tradisi pembuatan buku lipat pada masa Heian dengan mengimpor dari China. Jepang membedakan tiga jenis buku lipatnya yang dinamakan orihon. Seperti halnya sutra lipat pada tradisi China, buku lipat khas Jepang yang berbentuk akordion biasanya digunakan untuk menulis teks-teks Buddha. Model akordion lainnya termasuk album lipat yaitu nori-ire gajo yang sama dengan model China ceye serta nobiru gajo biasa digunakan untuk kaligrafi dan menggambar.
Sempuyo, buku lipat berbentuk seperti kipas, memiliki model sampul teks yang memutar dari depan ke belakang.
Tradisi Buku Lipat di Indonesia
Selain dluwang lipat model concertina, Tradisi buku lipat di Indonesia jarang ditemukan di luar Sumatera. Peninggalan Islam catechism (?) ini kemungkinan berasal dari Pesisir Timur Jawa dan ditulis pada abad ke-16 atau awal abad ke-17. Menurut Raffles, buku lipat serupa ditulis pada dluwang dengan menggunakan aksara Kawi yang dilaporkan berasal dari Cirebon, Jawa Barat.
Di Sumatera Selatan, masyarakat Lampung dan Rejang memproduksi buku lipat yang dibuat dari kulit kayu meskipun sangat jarang ditemukan adanya ilustrasi. Persamaan antara kedua buku daerah ini dengan pustaha sangat mencolok. Meskipun kebudayaan Batak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India, produk buku lipat dari masyarakat Batak tidak dipengaruhi oleh kebudayaan India. Hal ini cukup masuk akal karena buku ini sampai ke Batak dari satu atau pulau-pulau lainnya di Indonesia.
Menurut Uli Kozok, terdapat kontak budaya yang dilakukan oleh para pedagang dari China dengan masyarakat Batak. Sehingga menurut Teygeler, hal ini mengasumsikan bahwa tradisi pustaha berasal dari China.
Review dari Rene Teygeler, “Pustaha: A Study into the Production Process of Batak Book”, artikel pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 149, No. 3, 1993.
Diubah oleh ryan.manullang 08-10-2017 18:47
0
8K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan