CEKIDOT GAN !

Zulkifli dan Penggranatan Cikini

"Zulkifli Lubis adalah peletak dasar intelijen di Tanah Air dan pernah terlibat dalam pemberontakan. Toh, TNI tetap menghormati dan memakamkannya di TMP Dredet, Bogor"

Sabtu, 30 November 1957, Perguruan Cikini menggelar bazar amal untuk mengumpulkan dana. Acara itu merupakan bagian dari ulang tahun Perguruan ke-15. Di sekolah itu, sejumlah anak petinggi Republik menimba ilmu, tak terkecuali putra-putri Presiden Sukarno. Mereka adalah Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Tak aneh bila sang presiden berkenan meluangkan waktu untuk hadir dalam acara tersebut.

Seusai acara, ketika hendak memasuki mobil untuk kembali ke Istana, tiba-tiba terdengar ledakan keras. Asap tebal menutupi lokasi. Hadirin panik. Sejumlah pengunjung mengalami luka-luka dan tujuh orang meninggal. Beberapa pengawal presiden pun mengalami luka-luka, tak terkecuali Sukarno. “Tapi bukan kena granat, ha-ha-ha.... Ini (luka di tangan) kecantol kawat duri waktu menerobos rumah di depan sekolah,” kata Sukarno kepada putra sulungnya, Guntur, seperti terekam dalam buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku.

Setelah dilakukan penyelidikan, telunjuk penegak hukum mengarah kepada Zulkifli Lubis sebagai dalang peristiwa itu. Mantan komandan pertama intelijen berpangkat kolonel itu dianggap punya motif melakukan balas dendam terhadap Sukarno. "Karena dia punya kedekatan dengan bagian operasional peristiwa itu," kata Peter Kasenda, penulis buku Zulkifli Lubis Kolonel Misterius, kepada detikX, Jumat, 9 September 2016.

Namun tak mudah bagi aparat untuk mencokok Zulkifli. Pascaperistiwa itu, dia seolah raib, tak terlacak keberadaannya. "Dia dicari-cari tapi tidak ada yang bisa menangkapnya. Itu membuktikan betapa hebatnya orang ini. Jaringannya luas. Dia bisa ngumpet di mana saja," kata Peter.


Guntur dan Megawati bersama para pengawal, termasuk Aip Sudijo (perwira Brimob yang menyelamatkan Bung Karno dari ledakan granat di Cikini), persis di belakang Guntur.
Foto: repro buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku


Belakangan, dalam Memoar: Senarai Kiprah Sejarah terbitan Grafiti, 1993, Zulkifli menepis keterlibatannya dalam peristiwa Cikini. Dia menyebut dikambinghitamkan lawan-lawan politiknya kala itu. “Saya kenal dengan orang-orangnya (para pelaku). Tersangkut boleh saja, tapi kalau dikatakan (saya) menyuruh, itu sangat keliru,” ujarnya.

"Saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor kepada Bung Karno di kamar tidurnya."

Setelah selesai urusan Cikini, Zulkifli, yang masih dinyatakan buron kala itu, lantas bergabung dengan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)-Permesta pada 1958. Dia juga mengkritik keras bekas koleganya di TNI yang lebih mengedepankan jalan kekerasan dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan sejumlah tokoh di daerah, seperti Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, dan Daud Beureueh. “Harusnya dengan jalan damai, dan saya yakin itu bisa. Karena mereka Islam,” ujarnya.

Ketika Presiden Sukarno mengumumkan pemberian amnesti dan abolisi kepada segenap tokoh yang memberontak, Zulkifli pun luluh. Dia menjadi tokoh terakhir yang turun gunung, dan kemudian meringkuk dalam sel gelap selama 3 tahun 9 bulan, hingga 1966. Tidak lama setelah bebas, Zulkifli mengaku berusaha menemui Sukarno yang sudah tak lagi punya kekuasaan. Banyak hal ingin ia tanyakan kepada mantan bosnya itu, dan yakin Sukarno akan menceritakan semuanya. “Saya minta izin kepada Pangkopkamtib Soemitro dan Kabakin Suprijono, tapi tidak dikasih.”

Zulkifli Lubis lahir di Kuta Raja, Banda Aceh, pada 26 Desember 1923. Ayahnya, Aden Lubis, yang bergelar Sutan Sanalam, pernah bertugas sebagai juru tulis di kantor gubernur. Sedangkan ibunya bernama Siti Rewan Nasution. Sejak kecil, Zulkifli bisa mendapat pendidikan dengan baik karena keluarganya punya jabatan di pemerintahan. Selepas dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dia pindah ke Yogyakarta dan masuk AMS-B. Di AMS-B, meski bukan bintang kelas, dia mengklaim selalu nomor satu dalam pelajaran aljabar.


Zulkifli Lubis
Foto: repro buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah

Ketika Zulkifli duduk di kelas II Algemeene Middelbare School (setara dengan sekolah menengah atas) di Yogyakarta, tentara Jepang mulai masuk ke Indonesia. Perang Pasifik pecah, dan Jepang menutup sekolah-sekolah Belanda. Gantinya, Jepang membuka Seinen Kurenso atau Tempat Latihan Pemuda. "Di situ kami diberi pelajaran pokok-pokok kemiliteran," ujar Zulkifli.

Pada awal 1943, Zulkifli bersama Kemal Idris dan Daan Mogot terpilih sebagai angkatan pertama masuk akademi intelijen (Seinen Dojo) di bawah Markas Besar Intelijen Jepang. Kala itu usianya baru 19 tahun. Penggemblengan di Seinen Dojo Tangerang, menurut Peter Kasenda, sangat keras. Instruktur tak segan menempeleng kadet yang terlihat kurang. “Dalam latihan ilmu militer, saya nomor satu. Saya siswa yang tidak pernah dapat tempelengan Jepang," kata Zulkifli, yang kemudian digelari sebagai Bapak Intelijen Indonesia.

Saat mengikuti pendidikan ke Malaysia, lalu ke Singapura, Zulkifli bertemu dan satu kamar dengan Mayor Ogi, perwira intelijen Jepang yang mahir berbahasa Prancis. Ogi memberi banyak pelajaran kepada Zulkifli, terutama bagaimana cara di negara asing dapat mempengaruhi komandan musuh sedemikian rupa, sampai bisa menyerah, tanpa melalui pertempuran. Sementara itu, di Malaysia, dia banyak belajar cara mengetahui jumlah penduduk dalam satu kota. Juga bagaimana mengetahui rakyat anti-Jepang atau pro-Jepang.

Setelah Jepang menyerah, Zulkifli bersama Kemal Idris dan Daan Mogot membentuk Barisan Istimewa. Anggotanya berasal dari Pasukan Sukarela (Giyugun) yang kemudian ditempelkan pada Badan Keamanan Rakyat Pusat. "Saya didik sekitar seminggu untuk aplikasi intelijen, terutama untuk informasi, sabotase, dan psywar."


Zulkifli Lubis bersama istri dan anak-cucunya.
Foto: repro buku Memoar: Senarai Kiprah Sejarah


Zulkifli membangun sel-sel jaringan di tiap kota. Sejumlah ekspedisi intelijen berlangsung di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara pada akhir 1945. Kepada para kadernya, ia berpesan bahwa intelijen harus pandai menilai untuk mencari obyektivitas. Intelijen juga harus punya security minded dan tanpa pamrih. "Total abdi mutlak. TNI masih bisa dapat bintang, naik pangkat, kalau mati masih bisa dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen, tidak boleh begitu," kata Zulkifli.

Karena geraknya terbatas, ia bersama Moestopo menghadap Presiden Sukarno dan mengusulkan pembentukan Badan Rahasia Negara Indonesia. Posisinya langsung berada di bawah Presiden. "Saya salah satu pejabat yang bisa langsung melapor kepada Bung Karno di kamar tidurnya," kata Zulkifli. Namun kemudian Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin membubarkan badan itu dan meleburnya dalam kendali kementerian.

"TNI masih bisa dapat bintang, naik pangkat, kalau mati masih bisa dimakamkan di makam pahlawan. Kalau intelijen, tidak boleh begitu."

Meski dikenal sebagai figur intelijen yang mumpuni, di masa tuanya dia tampil bersahaja. Dia membiarkan rambutnya putih keperakan. Juga tak mencukur berewok. "Orangnya memiliki kewibawaan dan low profile," kata Wakil Pemimpin Redaksi SCTV Putut Tri Husodo. Saat masih menjadi wartawan Tempo di pengujung 1980-an, Putut mengaku pernah tiga kali mewawancarai Zulkifli. Tentu tak mudah mengorek informasi dari figur intel sekaliber Zulkifli. “Wah, dia sedikit sekali bicara dan susah dipancing.”

Meskipun pernah terlibat dalam pemberontakan, menurut Peter Kasenda, Zulkifli masih tetap dihormati TNI Angkatan Darat. Saat wafat pada 1993, Zulkifli dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dredet, Bogor, secara militer. "Jasanya sebagai pahlawan intelijen di masa revolusi membuatnya tetap diakui," kata Peter.

BACA JUGA : ‘James Bond’ INDONESIA Dilatih CIA dan MOSSAD