Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Gerakan Kebatinan dan Kontroversinya (pada tahun 1945-1965)
Gerakan Kebatinan dan Kontroversinya (pada tahun 1945-1965)


Pendahuluan

Gerakan kebatinan pada awal masa kemerdekaan menjadi  sebuah gerakan yang populer, kritis dan spiritualis serta eksistensinya diakui oleh pemerintah. Pasca kemerdekaan Indoensia, keompok kelompok penghayat  kepercayaan  melakukan konsolidasi  bersama dalam rangka menyusun strategi dan turut  menyusun konsep kehidupan berbangsa dengan dasar dasar keutamaan lokal (disebut local genius). Konsolidasi tersebut  dilakukan dengan membuat  wadah gerakan bersama seperti Badan Konggres Kebatinan Indonesia (BKKI) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro[1].


Gerakan yang  massif ini mendapat banyak dukungan dari  ratusan aliran kepercayaan[2] di seluruh Indonesia, namun juga banyak mendapatkan tentangan dari  mayoritas agama-agama ”resmi” negara. Banyak sekali perdebatan (sampai sekarang ini ) antara dua pihak  kelompok penghayat kepercayaan dengan kelompok agama ”resmi”tentang  dinamika, ajaran teologis maupun gerakan kebatinan.


Namun seiring dengan berjalannya  waktu, kelompok penghayat Kepercayaan”dikalahkan” secara politis pasca tragedi 1965, yaitu  dengan munculnya undang-undang atau peraturan pemerintah yang mendiskriminasi, misalnya  dengan disahkanya UU PNPS no 1 tahun 1965 tentang  Pencegahan penyalahgunaan dan atau  penodaan Agama: selain Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan Konghucu tidak diperkenankan memakai kata agama”, dan peraturan lainnya.


Dampaknya sangat  signifikan, para penghayat  dipaksa untuk memilih agama untuk urusan administratif, hak untuk beribadah untuk menjalankan keyakinannya secara terbuka dirampas, ditambah munculnya stereofit negatif dari masyarakat yang dilabelkan kepada penghayat.  Namun demikian saya melihat  banyak sekali para penghayat yang  masih tetap setia menjalankan keyakinannya, bahkan sekarang pun beberapa kelompok  membentuk wadah dalam forum penghayat sebagai  alternatif membangkitkan semangat  gerakan kebatinan kembali[3].


Dalam paper ini saya  mencoba untuk melihat  kembali  secara historis kemunculan gerakan kebatinan  di indonesia dan  menganalisa problem problem yang  timbul. Secara khusus tulisan ini hanya  mengangkat pada periode  1945-1965 sebagai gerakan kebatinan pertama yang  sangat besar dan mempunyai  dampak bagi sejarah  keberagaman pada masa kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut  dilakukan, karena saya  mencoba mencermati perkembangan kelompok penghayat kepercayaan pada sekarang ini sedang mencoba untuk membangkitkan semangat  gerakan kebatinan Indonesia yang  sudah  pernah ada.


Kerinduan untuk membangun gerakan kebatinan atau yang  sekarang wacana populer  gerakan nusantara  sudah didengungkan sudah sejak lama. Hanya saja tidak ada badan atau  wadah persatuan gerakan yang mampu mewadahi kelompok kelompok yang mengangkatnya. Dugaan saya  itu  disebabkan karena kelompok penghayat sudah sekian lama terepresi oleh ”moral” bentukan masyarakat yang beragama ”resmi” dan terdiskriminasi oleh kebijakan undang undang yang dituangkan kedalam berbagai aturan yang dibikin pemerintah. Untuk itu  sangat  menarik kiranya bila kita bisa sedikit  melihat  bagaimana kebatinan dan apa yang mendasari  munculnya gerakan itu dan bagaimana tantangannya?


Munculnya  Gerakan Kebatinan

Pada saat terjadi perang kemerdekaan berbagai propaganda dan semangat-semangat nasionalisme begitu digencarkan, hal itu dilakukan sebagai usaha mempertahankan kemerdekaan yang baru terbentuk. Orang-orang bersatu dengan segala cara supaya bisa memenangkan perang dengan kolonial Belanda. Berbagai laskar-laskar rakyat dibentuk untuk membantu angkatan bersenjata. Hal itu menumbuh suburkan perguruan atau paguyuban aliran kejawen dalam rangka ikut andil dalam perang kemerdekaan[4]. Ratusan kaum laki-laki dan para pemuda berduyun-duyun mencari kesaktian atau kekebalan tubuh untuk mencari keselamatan. [5].


Dari hal tersebut diperkirakan segala bentuk-bentuk mistik yang telah terkubur selama ratusan tahun atau hanya orang-orang tertentu yang mengetahui hal itu, menjadi terbuka lebar bagi kalangan umum. Pada masa itu orang begitu disibukkan dengan istilah kemerdekaan, untuk itu untuk mendukung kemerdekaan tersebut banyak masyarakat yang ikut berjuang secara fisik yaitu berperang melawan musuh. Semangat itu membuat mereka harus ikut andil entah bagai manapun caranya termasuk dengan berbagai kegiatan mistik.


Tumbuhnya berbagai aliran kepercayaan itu juga sebagai dampak dari masa krisis dan masa transisi masyarakat. Masa krisis disebabkan karena berbagai permasalahan dan resesi ekonomi yang mendera. Krisis yang terjadi ini merupakan sebuah bencana luar biasa bagi masyarakat kita, karena berbagai bahan makanan yang sulit ditemui, tidak ada minyak tanah dan bahkan pakaian pun sulit didapat. Keadaan tersebut sungguh sangat  menyengsarakan  rakyat Indonesia.


Sedangkan masa transisi  disebabkan dalam kurun waktu kurang dari 5 tahun (1940-1945) sudah terjadi perpindahan kekuasaan dari jaman Belanda ke jaman Jepang, kemudian menjadi jaman Indonesia merdeka. Ketidakpastian sistem kekuasaan membuat sebuah kebingungan tersendiri bagi  rakyat. Terlebih  kebijakan sistem pemerintahan yang diterapkan sangat berbeda, sehingga mengombang-ambingkan  psikis rakyat


Kebingungan secara fisik dan psikologis itu membuat setiap orang harus terus survive dengan berbagai cara bersama keluarganya. Faktor itulah yang mendukung dan menimbulkan berbagai gerakan kebatinan atau menurut Bakker, SJ. masuk dalam kategori gerakan Gnostik yaitu sebuah gerakan sosio-agama yang sekali kali timbul dalam zaman kegoncangan besar[6].


Gerakan tersebut terjadi bila dalam sistem masyarakatnya terjadi perubahan sosial secara cepat atau bila nilai nilai moral dan keagamaan mendadak menjadi pudar sehingga nilai nilai yang di pegang menjadi lenyap, bila tekanan lahir  mengasingkan manusia dari identitasnya maka muncul pula dengan yang disebut harkat gnostik. Harkat itu mendorong manusia untuk memikirkan kembali tempatnya dalam arus jaman, selain itu manusia semakin di dorong kedalam refleksi dan permenungan kedalam segala pemecahan masalah-masalah yang sedang memporak-porandakan sistem mereka. Gerakan ini bisa dimasukkan sebagai  bagian dari  mistik (jalan hidup spiritual) yang dekat dengan nuansa mistis.


Menurut  Sartono Kartodirjo, maju mundurnya gerakan mistik selaras dengan  keadaan sosial dan banyak contoh mengenai gerakan-gerakan mistik Khiliastik(yang sangat menantikan Ratu Adil[7] dan sejenisnya) yang dipimpin oleh guru-guru mistik yang kharismatis sebagai protes terhadap penindasan. Sama halnya dengan pendapat Niels Mulder, yang menganggap bahwa perkembangan ramai dari berbagai aliran mistik yang harus dimengerti sebagai usaha mengungkapkan diri dan mencari makna ditengah-tengah suatu jaman yang kacau. Bahkan hal itu terkadang sebagai suatu bentuk organisasi modern  untuk mengidupkan kembali warisan kebudayaan Jawa.


Sementara solusi yang ditawarkan oleh kelompok agamawan tidak serta merta mampu menyejukkan jiwa masyarakat yang sedang kekeringan batin, doktrin ajaran yang biasa menjadi sangat menjemukan dan memuakkan bagi sebagian besar bagi masyarakat yang sedang menderita. Apalagi  ajaran-ajaran agama yang terlalu bersifat doktriner teologis yang  ketat.


 Dimasa seperti itu orang butuh sesuatu yang mampu menjawab berbagai tantangan hidup dan perubahan jaman. Maka tak heran kalau ditengah kejenuhan hidup tumbuhlah berbagai aliran-aliran agama lokal yang menjanjikan sebuah pencerahan dan sebuah kepastian. Dari latar belakang keresahan seperti itulah yang mendorong segala jenis gerakan-gerakan kebatinan, semangat kebatinan ini menjadi harapan besar untuk datangnya jaman baru yang  adil, aman, makmur, sentosa dll. Contoh yang  paling nyata seperti halnya diwujudkan dengan kerinduan menantikan datangnya Ratu Adil Herucakra atau Satriya Piningit atau Imam Mahdi yakni sosok yang bisa melepaskan mereka dari ketertindasan  dan kesejahteraan baru[8].


Saat itu banyak pilihan atau alternatif pilihan yaitu berupa paguyuban atau komunitas, dimana orang bisa mencari dan mendapatkan sebuah keselamatan, kedamaian dan kecukupan, yaitu seperti aliran kepercayaan Sapto Dharmo, Pangestu, Adam Makrifat, Kawruh Bejo, Budha Jawi, Pran-Suh, Waris Mataram dan lain sebagainya. Dalam data Departemen Agama  tahun 1953 melaporkan adanya 360-an  “agama baru” di Indonesia[9].


Gerakan kebatinan yang  sangat  pesat pada periode itu, selain bergerak dibidang  spiritual, mereka juga membentuk wadah dikalangan para penghayat kepercayaan itu sendiri, yaitu dengan membentuk Badan Konggres Kebatinan Indonesia (BKKI) pada tanggal 19 Agustus 1955 di Semarang.


Pembentukan BKKI itu dihdiri oleh 70 wakil aliran besar  kepercayaan se-Indonesia dan memutuskan untuk memilih Mr Wongsonegoro sebagai ketua kongres tersebut. Latar belakang pembentukan ini adalah sebagai wujud preventif terhadap anggapan dan prasangka buruk yang diarahkan kepada kelompok keprcayaan ini.  BKKI inilah  yang memperjuangkan hak-hak  kelompok  aliran  kepercayaan untuk  disetarakan dengan  ”agama resmi”.


Kebatinan versus Agama

Hubungan antara kebatinan dan agama  memang sangat rawan konflik, bahkan saking  kerasnya pertentangan itu  bisa memicu konflik fisik. Menurut  Bakker, ketegangan itu mengarah perebutan nilai mutlak, ke-hendak untuk menerka dan menjawab rahasia terakhir dari hidup, berasaskan pada keyakinan masing-masing yang bisa sama dan lebih banyak berbeda. Masing-masing mempunyai cita-cita yang sama, namun sering kali caranya tidak bisa  sering bertemu.


Paradigma yang ada, kebatinan dianggap sebagai agama baru  yang mencoba menggeser posisi agama agama besar (yang dianggap sebagai bida’ah atau semacam  bentuk kafir-isasi atau murtad-isasi, penyelewengan aqidah dan sebagainya). Sedangkan kebatinan sendiri datang dengan sebuah pendalaman dari penghayatan dari agama, sekaligus sebagai kritik terhadap agama yang dinilai gagal dalam mendamaikan dan menyejahterakan manusia. Agama-agama yang ada dirasa sudah tidak mampu memahami dan menjiwai  kebutuhan manusia.

Kegagalan Hirarki dan struktur agama-agama besar  di Indonesia  untuk memberikan pemecahan  bagi personalan persoalan sosial yang pokok  dari kehidupan masyarakat dewasa ini ( A. Wahid)[10].


Lebih ekstrim lagi adalah agama agama besar itu mengkomodifikasi ajaran yang mulia atau jalam menuju surga, dan menggunakan kedok kedok religius yang  banyak ditunggangi kepentingan sehingga orang bisa berbuat apa saja dengan mengatasnamakan  agama.


Padahal kalau kita cermati lebih lanjut antara agama dan kebatinan  sama-sama  menghayati iman  ke-hakekat tertinggi, membina batin untuk bersatu dengan-Nya dan mengalami kesatuan dengan dirinya. Akan tetapi problemnya adalah karena hubungan agama dengan penghayat sering kali dipolitisir.

Gerakan kebatinan bukanlah merupakan sutu agama baru yang akan mendesak agama-agama yang sudah ada, tetapi kebatinan bahkan akan memperdalamnya  atau sublimeren agama-agama yang sudah ada. Ditegaskan pula bahwa para pengikut kebatinan bukanlah para penganut atheis, karena mereka semua percaya pada Tuhan (Mr. Wongsonegoro dalam Konggres Kebatinan II, Solo 1956).


Kebatinan  datang ketika  krisis melanda  dan modernisitas  membuat orang terasing dengan dirinya. Gerakan ini mencoba untuk melindungi diri dari gerakan gerakan sekulerisme, materialisme dan rasionalisme dengan menggali nilai-nilai luhur terpendam dari kebudayaan asli. Bahkan misi lain gerakan kebatinan ini karena ingin menyelamatkan unsur dari  tradisi yang sangat kaya tetapi sudah luntur. Kelompok gerakan kebatinan menyediakan juga pemikiran pemikiran untuk  penguatan rasa agama dan kepribadian (sebagai bagian dari kepercayaan) asli maupun pemulangan harga diri  melawan rasa minder  terhadap teknologi asing[11].


Permasalahannya sekarang adalah bahwa kelompok agama sudah menegasikan maksud dan tujuan diatas, stereotif negatif sudah terlanjut  dilekatkan kepada kelompok tersebut (seperti  istilah  sinkretisme yang  diharamkan). Bila kita baca pemetaan yang  ditulis As’ad El Hafidy maka akan kelihatan beberapa missing link-nya, yaitu tulisan mengenai penyebab maraknya aliran-aliran baru yang  diwujudkan kedalam  kepercayaan, mistik dan kebatinan adalah;

a)                 Karena salah terima, salah faham diwaktu menerima pelajaran daari guru agama yang mengambil  kiasan dan pralambang. Berdasarkan kebatinan yang mendalam dan falsafah yang multi tafsir.

b)                 Mancampur-adukkan faktor-faktor penting yang diambil dari sumber-sumber pelajaran agama, mengambil  salah satu  lafadz dan kalimat  dari ayat atau bahasa arab dengan diberi arti dan makna dengan sesuka hatinya, sehingga terjadi kekeliruan murod dan maksudnya  sehingga hilanglah  tujuan Lafadz kalimat yang asli (sehingga  timbullah golongan  Islam Putihan dan  Islam Abangan).

c)                  Sengaja mengadakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan mistik atau kebatinan  dengan dalih “mengembalikan jiwa asli” karena Hindhu dan Budha berasal dari India, agama Yahudi dari Israel, agama Masehi dari  Eropa dan Islam dari Arab.

d)                 Ingin memashurkan namanya, dengan cara membuka praktek perdukunan, meramalkan kebaagiaan, ilmu rajah, perbintangan, bahkan terdapat yang mengharapkan  kedatangan Ratu Adil, Imam Mahdi, Jayabaya, dll.

e)                 Bukan tidak mungkin dalam suasana yang serba kacau, pencipta  aliran-aliran baru memadang gejala-gejala untuk kekayaan pribadi. Jaringan dikembangkan dengan propaganda aliran-aliran tersebut. Malah ada yang sampai hati menggunakan gelar-gelar Kanjeng Kyai, Bendoro, Ki Ageng, resi, Syech,bahkan menobatkan diri sebagai nabi yang menerima wahyu langsung dari Tuhan, dan yang sangat terlalu menganggap dirinya sederajat dengan Tuhan.

f)                   Beranggapan  bahwa “bunyi UUD 1945 pasal 29” adalah kesempatan untuk menjelmakan aliran-aliran baru dalam kepercayaan. Setiap orang berhak atas kebebasan agama keinsyafan batin dan fikiran, dijadikan alasan pokok  untuk mencipta agama baru yang dianggapnya sesuai dengan kepentingannya sendiri.


Dari paparan diatas, sekiranya dapat kita lihat dengan jelas berbagai pertentangan, prasangka dan stereotif negatif pada kelompok masyarakat penghayat kepercayaan.  Sehingga perbedaan pandangan tersebut menjadikan “perang dingin” yang berkepanjangan dan tak kunjung padam sampai hari ini. Walaupun berbagai klarifikasi yang diberikan oleh kedua kelompok tersebut hanya sebatas retorika dan hanya bisa diterima oleh kelompoknya sendiri. Akibatnya  para penghayat  kepercayaan yang  banyak non politis (dan tidak ikut masuk sebagai  birokrat  pengambil kebijakan), lebih banyak di diskriminasi  secara hukum di negeri ini.


Nuansa politis yang  diskriminatif benar-benar terasa ketika Departemen Agama yang berusaha untuk memberi definisi agama. Sebagai tindak lanjutnya maka dibentuklah  panitia  pemberian definisi  dibawah  pimpinan Menteri Agama K.H. Wahid Wahab yang mengusulkan sebagai syarat-syarat agama yaitu, Wahyu Allah, Rasul, Nabi, Kitab Suci, kaidah hidup bagi para penganut[12]. Dari usulan  Menteri Agama ini yang kemudian menjadi cikal bakal UU/Nomor 01/ PNPS tahun 1965 (penodaan agama). Pada akhirnya negara ini hanya mengakui agama Islam, Kristen, Katolik, Hindhu, Budha dan Konhuchu, selain dari 6 agama ini  dinyatakan  bukan sebagai agama.


 Puncaknya disekitar tahun 1963-1965 ketika gerakan kebatinan dianggap semakin meluas dan meliar, ditambah lagi momen Tragedi 1965, disinyalir banyak infiltrasi komunis yang masuk kedalam kelompok-kelompok kebatinan. logika yang dikembangkan dalam masyarakat adalah  bahwa komunis itu  identik dengan ateis (tidak bertuhan), kafir, murtad, sementara stereotif terhadap penghayat  juga dikatakan kafir dan murtad, sehingga analoginya  komunis sama dengan penghayat kepercayaan. Bila komunis layak dibantai, maka penghayat juga sama layaknya.


 Konflik dan perdebatan diantara masyarakat kebatinan dengan kelompok agamawan sudah sampai mencapai ke gejala menebar fitnah. Sehingga pasca  Gerakan 30 September 1965 maka banyak aliran-aliran yang dituduh terinfiltrasi oleh PKI langsung dibekukan, dibubarkan dan tokoh-tokohnya  ditangkap (bahkan dibunuh).


Seperti pada contoh kasus pada agama Adam Makrifat atau dikenal sebagai  aliran Pran Soeh (sering disebut umat agama Adam Makrifat) yang berkembang semenjak 1921 di Muntilan dan Yogyakarta. Pada mulanya agama bimbingan dari romo  Pran-Soeh Sastrosoewignyo (seorang  putra dari Kyai wiropati yang senang dengan ajaran Islam makrifat) itu bernama Oemat Moehamad Manunggal (OMM), karena diprotes oleh umat Islam disekitarnya. Kemudian berganti menjadi Oemat Moehamad Muntilan dan kemudian  diganti lagi Pran-soeh.


Pasca Gerakan 30 September 1965, pimpinan ajaran romo Pran-Soeh  yang bernama Sirwoko[13] hilang tanpa diketahui rimbanya, demikian juga dengan beberapa pimpinan cabang di beberapa kota di  Yogyakarta dan Jawa Tengah. Hingga kemudian tanggal 6 agustus 1966 agama  ini resmi dibekukan dan dibubarkan melalui keputusan kejaksaan tinggi dikarenakan  terlibat dengan gerakan  komunis.


Secara umum dampak terbesar pasca 1965[14] adalah orang menjadi takut untuk “tidak beragama resmi” mereka berbondong-bondong untuk masuk salah satu agama yang  dilegalkan pemerintah. Keterpaksaan untuk masuk tersebut lebih banyak disebabkan untuk menghindari dicap komunis, atheis, dan supaya mereka bisa mengurus urusan administratif (KTP, Akte dll). Karena sejak saat itu (sampai sekarang) pelayanan yang bersifat admisnistratif hanya diberikan adalah kepada orang-orang yang beragama resmi saja. Sejak itulah kelompok penghayat kepercayaan selalu menjadi kelompok yang banyak terpinggirkan.


Penutup

Pokok permasalahan diantara kelompok agama “resmi” dengan agama (aliran kepercayaan) lokal  terjadi  sudah sejak lama, disebebkan oleh tumpang tindih kepentingan yang  bersifat  politis. Dalam konteks ini posisi mayoritas dan pemegang kekuasaanlah yang menjadi pemenang perseteruannya, sehingga senjata utama untuk menyudutkan yang  kalah  dikemas dalam sejumlah UU/PP maupun kebijakan lain.


Banyaknya aliran kepercayaan di Indonesia yang sebenarnya bisa menjadi bukti kekayaan religi yang bisa kita banggakan, berubah menjadi menjadi ironi, karena seharusnya pasal 29 yang menjamin kebebasan untuk menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing gagal dilaksanakan. Bukan kebebasan yang didapat, melainkan belenggu paten dengan banyak ancaman “sesat, kafir, haram, murtad” untuk memberangus perbedaan keyakinan. Negara yang seharusnya menjadi pelindung minoritas (atau  liyan) malah berbalik menjadi lembaga yang  sangat  represif. Politik keberagaman tidak dijalankan dengan benar, pembelaan terhadap keunikan segala macam perbedaan  hanyalah retorika semata.


Untuk itu perlulah kiranya tinjauan kembali atas sejarah kebijakan pemerintah terhadap para penghayat aliran kepercayaan di Indonesia. Sebab  segalam macam dialog lintas Iman, atau program program yang berbau toleransi  akan menjadi percuma bila tidak ada redefinisi konsep dan kebijakan terhadap agama yang terlanjur diberi syarat syarat yang tidak adil. Semangat  pluralisme diatas  keragaman berkeyakinan hendaknya  dibuka seluas mungkin, termasuk juga terhadap  aliran kepercayaan lokal (agama asli).

http://sajaratunjawa.blogspot.co.id/...sinya.html?m=1
0
1.6K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan