- Beranda
- Komunitas
- Story
- Heart to Heart
SENJA DI TEPI PANTAI


TS
widka
SENJA DI TEPI PANTAI
Quote:
SENJA DI TEPI PANTAI


Quote:
Tentang?
Sebuah cerpen yang mengisahkan seorang pria yang mencoba melengkapi potongan-potongan ingatannya melalui rajutan foto-foto yang bermakna.
Quote:
Aku bisa saja berada diruangan ini, bersama Ibu, bapak dan Kakak menyaksikan TV bersama, merapat erat dalam pelukan mereka. Tetapi di saat itu pula aku tidak lagi berada dalam ruang yang sama, memisahkan diriku hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Quote:
SENJA DI TEPI PANTAI
Tiba-tiba saja aku berdiri di pantai disenja hari, dimana langitnya berwarna jingga – kemerah-merahan. Di pantai itu aku juga melihat perahu cadik yang melintas, sepasang burung camar melintasi bias cahaya dari laut yang berbuih, dan tebing karang yang indah berwara-warni dipenuhi ganggang laut.
Orang-orang berlalu lalang di pantai ini, tanpa aku ketahui apa yang sedang mereka lakukan. Sepasang muda-mudi tidak aku kenal wajahnya melewati tubuhku menembus tubuh padat ini. Mereka biasa saja, akupun juga demikian seolah kejadian ajaib ini sudah terlampau jamak terjadi.
Pandanganku ternyata terhenti pada satu sosok gadis, dia melihat kearah cakrawala yang sama dengan pandanganku, kamudian menoleh kearahku dan tersenyum manis. Pandangannya membuat aku gugup, aku tak kuasa menatap wajahnya walaupun hanya sedetik, sehingga aku membuang pandanganku ke arah cakrawala, sekali lagi memandangi keindahan senja yang sebentar lagi sirna.
Semua pemandangan yang menyejukan ini melupakanku sejenak akan pertanyaan: Bagaimana aku bisa berdiri disini?
Tik-tik.. suara jam berbunyi membangunkanku dari tempat tidur. Kejadian di tepi pantai, cahaya senja yang menghangatkan bersama debur ombak hanya berakhir dimimpi saja. Aku sangat menyayangkan kejadian indah hanya berlangsung sepintas, dalam waktu sekejap, aku sudah berada di dunia nyata, persis diatas kasur kamar tidurku.
“Kamu sudah bangun nak?” Lirih ibu yang duduk dikursi samping tempat tidurku. Raut wajah cemas terlihat jelas dalam mata telanjangku.
“Gavin mimpi dipantai sebelum terbangun. Gavin pikir, Gavin masih ada disana. Tapi tenrnyata sudah di kamar.”
“Alhamdulillah. Ibu sangat mengkhawatirkan kamu, Gavin. Ibu bersyukur kamu tidak apa-apa.” Ucap ibu sambil menahan linangan air matanya.
“Tidak apa bu. Gavin tidak apa-apa. Cuma baru bangun dari tidur aja.” Aku berujar seolah tidak terjadi apa-apa dan memang tidak ada apa-apa setahuku.
Sejenak aku berpikir, kenapa ibu sangat khawatir? Bukankah bangun dari mimpi adalah suatu hal yang biasa? Lalu aku tidak bisa cengar-cengir lagi ketika mendapati ada selang infus dikamar yang menusuk ke pembuluh darahku.
“Ada apa, Bu?”
“Tidak ada apa-apa, Gavin. Kamu hanya tertidur,” gumam ibu sampai-sampai tidak terdengar jelas, “tidurmu terlalu lama.”
Setelah aku terbangun dari tidur panjang ku, aku merasakan gerakanku semakin lambat dan bumi berputar lebih cepat. Aku tidak lagi memiliki semangat yang besar, semua terasa hampa, dan tidak lagi bermakna. Aku mencoba menelusuri apa penyebabnya dan darimana perasaan ini datang. Sampai saat ini aku tidak tahu, ia datang begitu saja seolah menyumbul dari tanah menghujam ke dalam jiwaku.

>>>>
“Dan sepertinya gue tau rasanya mati seperti apa. Seperti pada saat gue pingsan itu.. Itulah mati…”
“Kenapa bisa berpikir seperti itu?”
“Karena semuanya tentang kesadaran. Ketika kesadaran hilang maka hilang pula rasa sakit, hilang pula kesedihan yang dialami oleh seseorang.”
“Sudahlah Vin, lu bicara seperti itu seolah-olah lu mau mati. Ayolah kita senang-senang. Bicara yang baik-baik… tentang hobi lo.. tentang fotografi.”
Saat ini aku bersama teman-temanku: Gilang dan Rubi tengah berada di sebuah caffe di tengah kota Jakarta. Menghabiskan waktu di akhir pekan. Berkumpul bersama sahabatku merupakan salah satu cara untuk melegakan hatiku. Beberapa kali aku melantur bicara tentang kematian, walaupun aku hanya berfilosofi, namun teman-temanku menganggap hal ini sangat sensitif. Sama halnya dengan seisi rumah, Ibu tidak memberitahuku penyebab aku pingsan lebih dari seminggu.
Pikiranku mengawang ke salah satu mimpi-mimpiku: senja hari di pinggir pantai, aku melihat kearah cakrawala sambil mendengarkan suara deru ombak. Samar-samar, aku mendengar mendengar Gilang dan Rubi membicarakan tentang masa lalunya waktu SMA: perkelahian, kejadian lucu, dan nasib buruk ketika ujian sekolah. Kadang mereka tertawa, merenung dan jijik. Tidak satupun dari perbincangan ini yang menarik perhatianku. Aku ingin kembali lagi tertidur, untuk mengenang pemandangan senja di pinggir pantai.
>>>>
Pagi itu matahari sedang menyumbul sedikit. Merangkak untuk memperlihatkan congkaknya kepada dunia. Cahaya keemasannya terurai menggerayangi embun pagi, menumpulkan cahaya lampu, menerangkan jalan ibu kota yang sudah terlalu ramai.
Aku menghirup udara pagi, berharap ada energy positif yang memberikanku gairah dalam hidup. Selepas mandi, aku membongar seisi lemari untuk mencari pakaian dalamku. Namun tanpa sengaja selembar foto jatuh dari sela-sela baju.
Awalnya aku berpikir itu adalah foto biasa yang menampilkan seorang gadis di tengah padang ilalang. Namun tidak demikian halnya ketika aku menyadari bahwa aku sudah tidak lagi berada di kamar, aku sudah berada di tengah ilalang bersama gadis yang pernah aku lihat lengkap dengan desik ilalang yang saling bergesekan. Tiba-tiba dadaku bergetar bahwa gadis itu mengingatkanku pada mimpi saat senja di pinggir pantai. Mengingatkanku pula pada rasa sepi. Aku terpaku melihatnya ketika dia berlalri-lari kecil kearah barat sembari menyentuh lembut ilalang, kemudian hilang tertelan ilalang.
Aku menatap kaku,
Hatiku bergetar manatap ilalang.
Wanita yang mereguk sepiku,
Keanggunannnya hilang tertelan ilalang.
Hatiku bergetar manatap ilalang.
Wanita yang mereguk sepiku,
Keanggunannnya hilang tertelan ilalang.

Ceklek suara pintu terbuka menyadarkanku dari lamunan. Ibu masuk ke kamar sembari membawa tumpukan baju.
“Sudah berapa lama kamu berdiri disana?” Tanya Ibu sambil tersenyum.
Aku mendengar samar pertanyaan itu, namun pikiranku masih terjebak di padang ilalang sehingga aku tidak menjawab.
“Ayo.. Gavin. Sini ibu bantu memakai baju.” Katanya tanpa menggerakan giginya yang terkancing.
Aku melihat ada sensasi ambigu dalam wajah Ibu: gemas melihat kelakukanku yang melamun sepanjang hari tapi juga harus bersabar. Mungkin dia khawatir jika terlalu keras akan melukai hatiku. Apakah aku begitu rapuh? Entahlah.
Ibu memilih kaos oblong berwarna putih sambil berujar: “Sampai kapan kamu terus-terusan melamun seperti itu?”
Aku seperti dalam posisi setengah sadar, seolah jiwaku masih berada di tengah padang ilalang bersama gadis yang tidak aku ketahui namanya.
Seharusnya aku menjawab pertanyaan Ibu satu-satu, namun saat aku tersadar, semuanya sudah telat sehingga aku enggan menjawab. Aku menyadari bahwa aku telah mengecewakan Ibu. Dari mana aku tahu? Aku melihat Ibu menitikan air matanya saat mencoba memakaikanku baju layaknya anak kecil.
Baru aku sadari sejak tadi tubuhku tidak terhalang oleh apapun.
>>>
Sore itu, aku sedang menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Tidak ada yang aku temui di layar kaca sana. Semua gambar-gambar simulacra yang sekelebat tampil di layar kaca lewat begitu saja. Tidak ada yang bermakna. Di bawah meja, aku melihat ada potongan gambar VCD film perang Saving Private Ryan, lantas mencari kepingan tersebut di bawah meja. Tidak ada. Aku melanjutkan pencarian di laci – tanpa sengaja aku menemukan sebuah foto padang rumput savanna yang luas. Pandangan ku terpaku sejenak karena pemandangan indah yang ditampilkan pada lukisan cahaya tersebut. Keindahan yang ditampilkan membuat aku berpikir bahwa gagasanku tentang surga tidak terlampau muluk: sebuah bukit yang luas dan sungai yang jernih dengan banyak ikannya. Tiba-tiba saja foto itu menjelma menjadi ruang dan waktu, seolah jiwa ragaku berada di tengahnya, seperti apa yang dilukiskan dalam potongan gambar.
Bagaimana bisa aku berdiri disini?
Gadis itu kembali muncul ditengah savanna yang hijau, diantara bukit-bukit yang indah. Ini adalah kesekian kalinya aku memimpikan dia. Mimpi yang jernih tentang gadis itu. Mimpi ini pastilah mewakili pertemuanku di alam yang nyata. Namun siapa gadis itu? Kapan aku menemuinya?
Aku tergoda untuk mendekatinya, namun semak perdu mengikat kakiku seolah bicara: Jangan kau dekati dia.
Aku kembali ke ruangan TV. Ibu memijat-mijat kakiku kemudian tersenyum tanpa bicara apapun.
“Apa Ibu kenal gadis itu?”
“Gadis yang mana Gavin?”
“Gadis yang selalu ada dalam mimpi ku. Bermain dipantai pada senja hari dan berlari-lari di tengah savanna yang luas.”
Ibu tidak langsung menjawab. Untuk sejenak dia hanya meremas-remas ujung bajunya, seperti ada sensasi ambigu dalam batinnya: Akankah dia menceritakan tentang kenyataan yang pahit atau membohonginya dengan berbagai macam cerita metafora untuk membiaskan makna yang sesungguhnya.
“Gavin. Ibu tidak bisa menceritakan tentang gadis itu. Jika Gavin ingin mengingat kejadian itu lagi. Ibu bisa ambil beberapa foto yang bisa membawamu kedalam ingatan Gavin yang lama, yang mungkin sudah kamu lupakan.”
Aku mengangguk tanda setuju, namun ibu menunjukan reaksi menyesal telah memberikanku pilihan. Ibu beranjak dari ruang TV meninggalkanku yang masih terbaring di sofa. Ketika dia kembali, ia membawa sebuah kotak kecil yang terbuat dari kaleng persegi berukuran 15 centimeter.
Aku membuka kotak kecil itu yang berisikan foto-foto pemandangan indah layaknya lukisan di zaman Romantik.
“Dulu kamu senang sekali foto. Pergi dari rumah selama berminggu-minggu. Pulang hanya untuk menunjukan foto-foto itu kepada ibu. Namun setelah Anjani mengalami kecelakaan saat kalian pergi…”
“Anjani?” Potong Gavin yang terkejut dengan sebutan nama tersebut. Tiba-tiba saja tubuhnya kaku, menggigil, giginya gemeletuk layaknya terkena demam yang tinggi, matanya kosong seperti orang dalam posisi setengah sadar.
Aku bisa saja berada diruangan ini, bersama Ibu, bapak dan Kakak menyaksikan TV bersama, merapat erat dalam pelukan mereka. Tetapi di saat itu pula aku tidak lagi berada dalam ruang yang sama, memisahkan diriku hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Mimpi itu membawaku ketempat persis dimana aku menemukan senja yang bagus di pantai, lengkap dengan: ombak, angin, dan kepak burung dan cahaya keemasan bias jingga pada langit yang hanya bisa dibayangkan dalam mimpi.
Aku melihat kearah Anjani: dia gulung celana jeansnya sampai di atas lutut, melepaskan sepasang weedges dari kakinya dan berjalan mendahuluiku dengan gerak kaki yang lincah.
Aku berjalan mengikuti garis pantai dekat dengan air laut yang bergerak naik turun membenamkan kedua telapak kakiku. Kami berjalan melewati beberapa cottage kecil yang terbuat dari kayu. Di sana nampak sepi.
Hingga pada titik tertentu, aku melihat kearah tebing karang yang tinggi. Kami berdua menaiki tebing tersebut. Namun kejadian yang tidak terduga muncul tatkala kaki Anjani tergelincir hingga tubuhnya tertumbuk oleh batu karang yang keras.
Anjani terbujur kaku. Aku mencoba membangunkannya, namun sia-sia. Hingga aku menyadari bahwa dia sudah tidak lagi bergerak untuk selama-lamanya. Saat itulah ada ledakan emosi dalam tubuhku yang membuatku melupakan potongan-potongan gambar tersebut dari ingatanku.
>>>
Tik-tik.. suara jam berbunyi membangunkanku dari tempat tidur. Ya.. aku baru saja bangun dari mimpi dimana aku berdiri bersama debur ombak, kini hanya hitungan detik saja aku sudah berada di kasur.
“Kamu sudah bangun nak?”
- END -
Diubah oleh widka 29-09-2017 22:01
0
4.3K
Kutip
9
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan