Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lanank.jagadAvatar border
TS
lanank.jagad
Posisi Panglima TNI yang Setara Menhan Dikhawatirkan Berdampak Politis


JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, berpendapat bahwa munculnya pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang terkesan politis disebabkan karena tidak berjalannya reformasi di sektor keamanan.

"Setelah UU TNI tidak ada lagi acuan untuk menegaskan kontrol sipil atas militer. Ini yang sangat penting. Karena reformasi sektor keamanan setelah 2004 sampai sekarang itu mandek," ujar Beni saat memberikan keterangan pers di kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Senin (25/9/2017).

Berangkat dari polemik pernyataan Panglima TNI belakangan ini, Beni menilai perlunya reformasi di sektor pertahanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurut Beni, saat ini posisi Panglima TNI dipandang setara dengan Menteri Pertahanan, karena bertanggung jawab langsung kepada presiden.

(Baca juga: Imparsial Minta Panglima Beri Contoh Baik untuk Sinergi TNI-Polri)

Beni menjelaskan, dalam bagian penjelasan UU TNI, disebutkan secara jelas bahwa ke depan institusi TNI berada di bawah Kementerian Pertahanan.

Dengan begitu, diharapkan tidak lagi ada dualisme dalam hal kebijakan strategis maupun anggaran. Di satu sisi, seorang Panglima TNI akan fokus dalam meningkatkan profesionalisme TNI.

"Jadi tidak ada dualisme dalam membuat kebijakan strategis dan operasional terkait penggunaan kekuatan TNI," ucap Beni.

Beni menilai, dengan posisi Panglima TNI yang sejajar dengan Menteri Pertahanan, maka ada kekhawatiran memunculkan dampak politis terhadap TNI. Panglima TNI pun dikhawatirkan menjadi figur politik.

"Sehingga dia merasa sebagai figur politik bukan figur tentara profesional," kata dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti Imparsial Ardi Manto. Menurut dia, Presiden Jokowi dan DPR harus mendorong realisasi reformasi sektor keamanan untuk menciptakan aparat keamanan yang profesional dan tidak kontroversial.

"Kami mendesak kepada Presiden dan DPR untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh atas sektor pertahanan untuk mendorong terciptanya sektor pertahanan yang baik, kuat dan profesional," ujar Ardi.

Ardi menuturkan, berdasarkan catatan Imparsial, Panglima TNI Gatot Nurmantyo beberapa kali bersikap kontroversial.

Gatot, kata Ardi, pernah memantik polemik dengan hadir di dalam Rapimnas salah satu partai politik serta menyampaikan kritik terhadap pemerintah melalui sebuah puisi.

(Baca: Saat Panglima TNI Membacakan Puisi di Rapimnas Golkar...)

Selain itu, Gatot juga dinilai pernah membuat kebijakan yang tidak sejalan dengan UU TNI, yakni membuat berbagai nota kesepahaman atau MoU dengan instansi pemerintah lainnya.

Menurut Ardi, Pasal 7 ayat 2 dan 3 UU TNI menyebutkan bahwa Operasi Militer Selain Perang (OMSP) hanya bisa dilakukan melalui keputusan politik negara, bukan melalui MoU.

Lebih lanjut, Panglima TNI juga pernah memantik konflik terbuka dengan Menteri Pertahanan ketika melakukan rapat kerja di DPR yang sempat diliput oleh media melalui pernyataan dan sikapnya terkait masalah anggaran.

"Pernyataan dan sikap itu menciptakan hubungan yang tidak konstruktif antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan yang akan mempengaruhi sektor pertahanan," kata Ardi.

Terakhir, beredar rekaman suara Panglima TNI di media sosial saat berbicara dalam acara silaturahim Panglima TNI dengan purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (22/9/2017).

Dalam rekaman itu, Panglima TNI menyebut adanya institusi nonmiliter yang membeli 5.000 pucuk senjata. Panglima TNI juga bicara soal larangan bagi Kepolisian untuk memiliki senjata yang bisa menembak peralatan perang TNI.

Belakangan, Panglima TNI mengakui bahwa rekaman tersebut memang pernyataannya. Namun, Gatot menegaskan bahwa pernyataan itu bukan untuk publik. Sehingga, ia tidak mau berkomentar lagi soal substansi pernyataan dalam rekaman itu.

Menanggapi pernyataan Panglima TNI, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjelaskan bahwa instittusi non-militer yang berniat membeli senjata api adalah Badan Intelijen Negara (BIN) untuk keperluan pendidikan.

Jumlahnya tak mencapai 5.000 pucuk, tetapi hanya 500 pucuk. BIN juga sudah meminta izin ke Mabes Polri untuk pembelian senjata itu. Izin tak diteruskan ke TNI lantaran spesifikasi senjata yang dibeli BIN dari Pindad itu berbeda dengan yang dimiliki militer.

Sumber

Apa-apaan ini, kalau TNI dibawah Menhan saya tidak setuju, betapa timpang nya antara Loreng dengan Cokelat kalau begitu.

Polling
0 suara
Setujukah agan?
0
2.1K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan