Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

p0congkaskusAvatar border
TS
p0congkaskus
HNW: Solusi Tragedi Kemanusiaan Rohingya, Berharap dari Diplomasi Para Ibu
Hidayat Nur Wahid: Solusi Tragedi Kemanusiaan Rohingya, Berharap dari Diplomasi “para Ibu”



TRAGEDI kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, telah menyita perhatian masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Lebih dari 70 tahun lamanya, etnis Rohingya yang mayoritas Muslim ini hidup tanpa negara. Mereka terombang-ambing, bermigrasi dari Myanmar hingga ke Bangladesh. Etnis ini juga tersebar di belahan India, Malaysia, Thailand, dan Pakistan.

Indonesia sendiri dengan tepat telah mengambil langkah solidaritas untuk masyarakat Rohingya. Mulai dari masyarakat sipilnya hingga pemangku kebijakan. Beberapa waktu lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi bertemu dengan pemimpin paling berpengaruh di Myanmar, Aung San Suu Kyi. Diplomasi kedua negara ini pun mendapat apresiasi oleh berbagai negara dan kalangan luas.

Bahkan, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengatakan, pertemuan tersebut merupakan diplomasi “para Ibu” untuk melahirkan solusi mutakhir bagi penyelesaian kasus Rohingya. Hidayat mengapresiasi langkah yang ditempuh Retno untuk menemui Aung San. Tak hanya itu, Menlu Indonesia ini juga berhasil melobi Perdana Menteri Bangladesh, Hasina Wajed.

Hidayat berharap, diplomasi kaum ibu ini betul-betul menghasilkan sesuatu yang solutif. Sebab, tidak ada satu ibu pun yang rela anak-anak bangsanya telantar dan menjadi tumbal dari tragedi kemanusiaan ini. Untuk mengulas masalah ini, wartawan rilis.id Taufiq Saifuddin berkesempatan mewawancarai Hidayat Nur Wahid di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Jumat (22/9/2017). Berikut petikannya:

Apa yang menimpa masyarakat Rohingya telah membangkitkan solidaritas masyarakat dunia, seperti apa sepatutnya memosisikan persoalan ini?

Dalam konteks Rohingya, sebetulnya ada juga sisi kebaikan atau hikmah yang dapat kita petik secara bersama. Saya ingin mengulas isu ini dari sisi keumatan dan keparlemenan. Kita tentu harus mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Kemenlu saat ini. Sesungguhnya peran tersebut tidaklah tiba-tiba muncul, langkah itu juga karena kami di Komisi I DPR RI terus menelepon Bu Menteri untuk segera melakukan langkah-langkah diplomasi penyelesaian kasus Rohingya.

Seperti itulah posisi kami sebagai wakil rakyat sekaligus wakil umat. Sampai sekarang pun komunikasi dengan Bu Retno dan Kemenlu masih terus berjalan. Komitmen kami di DPR ialah betul-betul menjadi bagian dari yang mengawal dan memperjuangkan aspirasi umat. Dan memang tugas parlemen itu bicara terkait persoalan ini.

Tak hanya DPR saya rasa, kita semua tentu harus melanjutkan kebaikan yang sudah dilakukan oleh pemerintah saat ini. Yang patut dicatat, proses penyelesaian masalah Rohingya juga melibatkan diplomasi “para Ibu”. Menlu kita Retno Marsudi adalah ibu, pemimpin sekaligus pemenang pemilu di Myanmar Aung San Suu Kyi juga seorang ibu, begitu juga Perdana Menteri Bangladesh, Hasina Wajed, juga ibu.

Jadi, diplomasi kaum ibu ini sesungguhnya akan menghasilkan sesuatu yang solutif. Karena, mana ada ibu yang merelakan anak-anak bangsanya telantar dan menjadi tumbal dari tragedi kemanusiaan ini. Kita tentu berharap, persoalan ini dapat segera selesai. Mudah-mudahan, dengan sentuhan para ibu ini, bisa menyentuh nurani “para bapak” yang dalam konteks ini militer di Myanmar agar betul-betul melaksanakan apa yang disebut sebagai proteksi terhadap warga negara.

Kita tentu sangat berharap agar nurani kaum ibu ini dapat tersampaikan dan menjadi solusi yang sangat manusiawi dan mendasar. Karena, tidak ada ibu mana pun, dalam agama apa pun bahkan di negara mana pun atau suku apa pun yang merelakan anak-anak dari komunitasnya mendapat masalah. Kaum ibu adalah komunitas spesial yang hadir di tengah-tengah kita semua.

Terkait diplomasi para ibu ini, sejauh mana strategi yang dapat digunakan agar tragedi kemanusiaan ini dapat tertangani?

Sebelumnya, kita harus lihat dulu sejarah perjalanan bangsa Rohingya. Sejauh ini, saya sering mengatakan, memang belum ada niat (untuk menyelesaikan persoalan Rohingya). Harus kita lihat historisitas bangsa Rohingya, sudah berlangsung sangat lama bahkan sejak awal mereka telah menjadi warga negara Burma yang saat ini kita kenal dengan Myanmar. Mereka telah tinggal di sana sejak beberapa abad silam.

Secara khusus, yang harus kita soroti adalah relasi etnis Rohingya dengan Negara Burma. Saat itu, ayah Aung San Suu Kyi, yakni Jenderal Aung San, telah meminta bahkan melobi masyarakat Rohingya kala itu untuk memperjuangkan kemerdekaan Burma. Banyak di antara nenek moyang Rohingya yang terlibat dalam proses kemerdekaan Negara Myanmar ini.

Saat kemerdekaan Burma diraih pada 1948, sejatinya telah ada dialog antara Jenderal Aung San dengan Bapak Pakistan saat itu Ali Jinnah. Jinnah menyampaikan, sebaiknya komunitas Muslim Rohingnya ini dimasukkan saja ke dalam Negara Pakistan Timur yang sekarang kita kenal dengan nama Bangladesh.

Saran dari Ali Jinnah untuk memasukkan komunitas Muslim Rohingya ke Pakistan Timur ditolak oleh Jenderal Aung San. Alasannya, Aung San menganggap komunitas Muslim Rohingya ini adalah saudara dari semua etnis yang ada di Burma. Aung San juga mengatakan mereka telah tinggal di Burma selama berabad-abad, dan pihaknya akan menjamin keberadaan mereka. Termasuk hak-hak yang sama dengan suku-suku lain yang tinggal di situ sebagai bagian dari warga Myanmar yang sah.

Seperti itulah kesepakatan itu terjalin, hingga terjadi kudeta militer Myanmar pada 1962. Kala itu, disusunlah Undang-Undang Dasar baru. Sementara, UUD yang pertama, terkait masuknya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar, hanya berlaku sampai tahun 1962.

Pada periode 1948 sampai 1962 itulah warga Rohingya diakui sebagai warga negara yang sah dan mendapatkan hak yang sah pula. Saat periode itu juga, banyak tokoh Muslim yang menjadi pejabat publik, ada yang jadi menteri, direktur, dan anggota dewan, sama seperti suku-suku yang lain.

Artinya, tragedi Rohingya ini telah berlangsung cukup lama?

Ya, tragedi kemanusiaan itu muncul sejak kudeta militer Myanmar tahun 1962. Jadi, 14 tahun sesudah masyarakat Rohingya diakui sebagai warga negara yang sah, terjadilah kudeta yang dipelopori oleh Jenderal Ne Win. Seiring dengan itu, bermunculanlah persoalan mayoritas-minoritas yang puncaknya terjadi saat UU tentang kewarganegaraan Burma tahun 1982 disahkan. Waktu itu, dicoretlah keberadaan dan pengakuan terhadap bangsa Rohingya sebagai bagian dari Negara Burma.

Berarti, memang ada niatan menghilangkan kewarganegaraan etnis Rohingya sejak terjadinya kudeta militer ini?

Kalau tidak niat, masak iya UU-nya diubah. Faktanya memang demikian. Saat itu, Perdana Menteri U Nu—yang juga sahabat dekat Bung Karno, pernah diundang ke Bandung saat Konferensi Asia-Afrika pada 1955—jelas sekali mengemukakan pentingnya sejarah perjuangan Burma. Pada masa U Nu memimpin sampai 1962 itu, hak-hak warga Rohingya terpenuhi sebagaimana warga yang lainnya.

Jadi, tragedi kemanusiaan itu terjadi sejak dihilangkannya kewarganegaraan masyarakat Rohingya, dan sampai saat ini pun mereka tidak lagi memiliki kewarganegaraan. Artinya, ini bukan lagi sekadar niat menghilangkan satu suku bangsa tertentu, bahkan itu termaktub dalam UU Myanmar saat ini.

Kita tentu sudah bisa membayangkan betapa bahaya kebijakan yang demikian ini. Kalau dianalogikan dengan suku-suku di Indonesia, efeknya tentu akan luar biasa kacaunya. Bagaimana bisa setiap negara boleh mencoret kewarganegaraan suatu suku yang dulu pernah menjadi warga negara. Tak terbayangkan itu terjadi di Indonesia. Insya Allah itu tidak akan terjadi.

Jika kita umpamakan, saudara-saudara kita orang-orang Jawa, mereka sekarang banyak juga yang sejak lama berada di Suriname dan menjadi warga negara setempat. Ada juga saudara-saudara kita dari etnis Jawa dan Makassar yang saat ini berada di Afrika Selatan. Bayangkan kalau mereka dicoret kewarganegaraannya.

Untuk itu, sekali lagi saya tekankan, mudah-mudahan diplomasi kaum ibu itu betul-betul menyentuh hal yang sangat mendasar. Dapat pula menjadi rekomendasi sekaligus solusi penyelesaian masalah Rohingya, yaitu pengembalian hak kewarganegaraan bagi bangsa Rohingya ke Negara Myanmar.

Kita melihat solidaritas terbangun dari berbagai kalangan untuk Rohingya. Apa ini akan memberikan efek positif atas penyelesaian tragedi kemanusiaan yang lainnya di dunia?

Hal terpenting yang dapat kita jadikan hikmah dari persoalan ini, ada sebagian orang yang menyebutnya sebagai persekusi, sebagian lagi sebagai tragedi kemanusiaan. Pada prinsipnya, kasus Ini telah menyatukan umat manusia dalam skala internasional maupun nasional. Di level internasional, kita telah menyaksikan Presiden Chechnya Ramzan Kadyrov memimpin demo membela Rohingya. Presiden Turki juga melakukan hal serupa. Bahkan Perdana Menteri Malaysia juga menyerukan solidaritas untuk Rohingya.

OKI (Organisasi Kerjasama Islam), walaupun secara organisasi belum menentukan sikap, namun perilaku langsung negara yang tergabung di dalamnya, sesungguhnya juga sudah menunjukkan solidaritasnya. Kita juga harus melihat bahwa Indonesia bukan hanya anggota biasa tapi bagian dari pendiri OKI.

Kita semua adalah bagian dari kebersamaan yang sudah terjalin ini. Posisi Indonesia yang sangat bagus saat ini menjadi bagian dari bangsa yang paling getol menyeru kebaikan. Indonesia harus secara berkelanjutan menindaklanjuti amanah masyarakat dunia untuk menyelesaikan persoalan Rohingya.

Solidaritas kolektif masyarakat dunia ini, sebetulnya, dapat juga diarahkan untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan di negara-negara Teluk. Saat ini, semua negara telah bersatu untuk bicara tentang Rohingya. Tidak menutup kemungkinan Rohingya bisa menjadi salah satu momentum menyelesaikan masalah di antara negara-negara Teluk dan Timur Tengah.

Indonesia lagi-lagi punya pintu besar untuk masuk ke sana. Negara-negara dunia saat ini juga menyampaikan harapan itu. Bahkan, Sekjen PBB Antonio Guterres berkali-kali menyampaikan pernyataan terbuka, meminta agar Indonesia berperan aktif menyelesaikan persoalan Rohingya.

Kebersamaan tingkat internasional, baik dari kalangan komunitas Muslim maupun non-Muslim, memberi harapan bahwa masalah ini akan selesai. Bila kemudian usaha seperti Bung Karno (saat Konferensi Asia-Afrika) dilakukan, Indonesia akan tampil hebat lagi. Semua telah berharap pada Indonesia, PBB berharap, negara-negara Arab berharap, negara di dalam OKI juga, dan Ibu Retno sudah diterima dengan amat bagus oleh Aung San di Myanmar.

Dalam konteks Indonesia, ini juga telah menjadi hal yang luar biasa. Saya kira penting kita maknai proses ini sebagai momentum bagi umat untuk terus menggalakkan persatuan dalam kebaikan. Kita bersama-sama, solider, dan kemudian tidak lagi mempertimbangkan siapa Anda. Muhammadiyah sudah membuat pernyataan yang sangat jelas, NU pun telah mengutuk dengan sangat keras.

Bisa saja soliditas dan kekuatan yang besar ini ditunggangi oleh kelompok-kelompok yang memiliki agenda politik tertentu di dalam negeri?

Kami di parlemen ingin selalu terlibat secara efektif untuk menyelamatkan demokrasi dan demokratisasi di Myanmar. Ujungnya adalah menyelamatkan rakyat Rohingya dari tindakan-tindakan yang menghilangkan kedaulatan rakyat. Dan itu semuanya terjadi dalam posisi di mana menurut saya mestinya tidak dikompori untuk upaya menjatuhkan pemerintah. Niatan mulia ini jangan dinodai.

Ini merupakan kreasi amal saleh dan amal sejarah. Kita sesungguhnya ingin mengontekstualisasi alinea keempat UUD 1945. Jadi kalau kita berjuang, berpihak, melakukan solidaritas dan mengingatkan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan yang segera, sesungguhnya hanya melaksanakan Pembukaan UUD 1945. Jejak ini merupakan keteladanan dari Bung Karno saat menggunakan forum Asia-Afrika pada 1955 yang tujuannya adalah berpihak kepada kemerdekaan bangsa-bangsa yang ada di Asia. Termasuk, menolak penjajahan Israel atas Palestina, dan karenanya tahun 1955 itu Bung Karno tidak mengundang Israel.

Jadi, jika saat ini masyarakat melakukan demonstrasi, penggalangan dana dengan cara aman, tertib dan damai, kalaupun ada kritik terhadap pemerintah, akan lebih bijak jika dimaknai sebagai bentuk kecintaan masyarakat terhadap pemerintah. Ini tidak lain agar pemerintah segera melakukan peran-peran yang maksimal. Karena memang seharusnya begitu, mengingat Indonesia adalah negara ASEAN terbesar.

Indonesia sudah telanjur dipercaya oleh semua pihak untuk memediasi perdamaian. Tidak mungkin kita hanya termangu saja. Kita tidak mau kufur terhadap nikmat yang ada dan membiarkan tragedi ini berkepanjangan. Untuk itu, masalah ini harus segera dihentikan dan dicarikan solusi agar tidak melebar ke mana-mana. Dan berkali-kali saya sampaikan, umat Islam di Indonesia atau umat beragama di Indonesia memang sangat diperbolehkan dan sangat wajar untuk memberikan solidaritasnya.

Akan tetapi, kita harus tetap waspada dan tidak mudah terprovokasi, sehingga melakukan tindakan yang justru tidak membantu penyelesaian masalah ini. Mengutuk apa yang terjadi atas saudara kita di Rohingya adalah benar, tapi kalau kita mendemo Candi Borobudur, itu namanya salah tempat.

Adakah pengalaman melihat langsung kondisi yang terjadi di Myanmar saat ini?

Tahun 2012, saya pernah ke Myanmar. Saat itu kami sampaikan beragam masukan kepada pimpinan parlemen di Myanmar. Khususnya bagaimana pengalaman Indonesia menangani masalah semacam Rohingya, termasuk relasi antara mayoritas dan minoritas. Mayoritas Indonesia Muslim dan minoritas Indonesia Buddha bisa hidup berdampingan dan saling menghormati.

Kondisi di Rohingya sangat jauh dari pusat kekuasaan. Bila mayoritas mendapatkan tindakan yang seolah-olah mengesankan bantuan hanya ditujukan pada Muslim saja, ini akan melahirkan masalah baru. Karenanya, bantuan kemanusiaan yang akan diberikan oleh masyarakat harus ditujukan untuk semua manusia yang memerlukan, baik mereka yang beragama Islam maupun bukan. Jika model bantuan kita seperti ini, mudah-mudahan dapat mengubah cara pandang mereka bahwa Muslim itu bukan bahaya bagi Anda, Muslim justru ingin membantu Anda.

Sekali lagi, penting untuk mengapitalisasi segala apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia. Baik dalam konteks parlemennya maupun hubungan antarnegaranya, termasuk juga hubungan dengan negara-negara yang selama ini sesungguhnya menaruh harapan besar pada Indonesia.

sumber: http://rilis.id/hidayat-nur-wahid-so...-para-ibu.html
Diubah oleh p0congkaskus 25-09-2017 16:15
0
1.3K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan