- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
'Genjer-genjer' Bersuara Lantang di Negeri Orang


TS
c4punk1950...
'Genjer-genjer' Bersuara Lantang di Negeri Orang
Artikel lama mbah copas ahhh...mumpung pas seasonnya di bulan september.
Reporter: Rizky Sekar Afrisia , CNN Indonesia.
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Bahkan sepenggal lirik dari lagu Genjer-genjer itu pun tidak pernah terdengar lagi di masa Orde Baru. Lagu ciptaan Muhamad Arief itu dicap Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon, lagu itu mengiringi tarian mesum para Gerwani.
Namun di Jerman, lantunan Genjer-genjer justru terdengar nyaring. Di mana pun Tomi Simatupang, pemuda asal Indonesia yang satu ini duduk sembari memetik gitar, di sana Genjer-genjer mengalun. Lagu itu bahkan "naik kelas," dimainkan di kafe-kafe yang dipadati orang.
Tomi merupakan pemusik Indonesia, sekaligus putra dari sutradara dan aktor Landung Simatupang. Ia tinggal di Jerman bersama ibunya sejak usia 10 tahun. Tomi pertama mendengar Genjer-genjer saat pemutaran wajib film Pengkhianatan G30S PKI pada masa Orba.
"Melodi genjer-genjer mengiringi salah satu adegan yang paling sadis," kata Tomi melalui surat elektronik kepada CNN Indonesia. Saking traumatisnya adegan itu, ingatan tentang Genjer-genjer di kepala Tomi terdesak.
Ia kembali mendengar lantunan lagu yang sama dalam film Gie. "Kali itu versi Bing Slamet dengan aransemen Jack Lemmers," tuturnya. Tomi langsung terobsesi.
Menurutnya, melodi Genjer-genjer seperti lagu anak-anak dan mudah diingat. Pola rima serta paduan lirik dan lagunya, bagi Tomi, menunjukkan Genjer-genjer karya maestro. Ia lantas mempelajari sejarah di balik lagunya.
Tomi pun tahu, lagu itu mengisahkan proses memanen sampai memakan tanaman genjer. Itu sejenis rumput liar yang biasanya dianggap pengganggu pada masa penjajahan Jepang, lantaran rakyat Indonesia sangat kesulitan.
Lagu itu sejatinya tidak ada kaitan dengan PKI. Plesetan menjadi Jenderal-jenderal sebagaimana yang pernah diterbitkan di Harian KAMI usai peristiwa G30S, menurut Tomi, disebabkan kepolosan dan kenetralan lagu yang sudah diciptakan sejak sekitar 1953 itu.
Merasa lagu itu mewakili Indonesia, ia pun memutuskan membawakannya di Jerman. "Saat itu hampir tidak ada orang yang kenal, apalagi mempermasalahkan," kata Tomi. Respons para pendengarnya justru sangat positif. Jadi banyak yang tertarik sejarah Indonesia.
"Apalagi setelah saya mempelajari sejarahnya dan membiasakan diri bercerita di antara bait-baitnya," Tomi melanjutkan. Sejauh ini, tidak ada yang mengaitkan lagu itu dengan PKI. Kalau pun ada, mereka lanjut dengan diskusi.
Bukan hanya penonton awam, rekan-rekan musisi Tomi di Jerman pun banyak yang tersentuh oleh Genjer-genjer dan kisah di baliknya. Sebagian akhirnya sadar betapa besar makna lagu itu untuk Indonesia, terutama perkara sejarahnya.
Tomi bersama rekan-rekannya pun menyuguhkan Genjer-genjer dengan komposisi yang berbeda-beda. Ia mencoba mengaransemen ulang dengan gaya blues, rock, jazz, bahkan sampai reggae. Dengan gaya berbeda-beda itu ia pernah bermain dengan musisi dari Jerman, Polandia, Australia, Amerika Serikat, Turki, Norwegia, Israel, termasuk dari Indonesia sendiri.
Pemuda asal Yogyakarta itu bahkan punya kegiatan bernama Genjermania. "Itu paduan antara konser, presentasi audiovisual, penampilan, dan aktivisme," ia menerangkan.
Di sela-sela presentasi audiovisual ia bisa membawakan Genjer-genjer, atau lagu lain seperti Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Ade Irma Suryani, Bhinneka Tunggal Ika, dan lainnya.
"Pada intinya, saya menggunakan Genjer-genjer sebagai benang merah untuk menceritakan sejarah Indonesia, dengan fokus peran Indonesia dakam perang dingin dan genosida yang terjadi setelah G30S," ujar Tomi.
Dalam ceritanya, ia juga menerangkan asal-muasal Genjer-genjer. Termasuk soal nasib penciptanya yang dihilangkan Orba karena dianggap berkaitan dengan PKI. Putra sang pencipta pun kini nasibnya berkesusahan.
"Saya diberi tahu putra tunggal Pak Arief tidak pernah menerima royalti, hidupnya miskin dan terlantar karena dicap anak PKI. Pak Arief sendiri dihilangkan setelah dipenjara oleh Angkatan Darat," ucap Tomi bercerita.
Kondisi itu yang membuatnya menjadikan Genjermania bukan sekadar "pembelajaran sejarah dan pentas musik." Ia juga membantu pencipta asli Genjer-genjer lewat kegiatan itu. Karena itu hasil penjualan tiket Genjermania ia serahkan pada keluarga Arief.
Banyak dampak positif ia rasakan. Bukan hanya dirinya bisa membantu keluarga Arief dan menyosialisasikan sejarah Indonesia. Dokumen Arief dan syair lagunya jadi terdigitalisasi. "Sebagai bukti syair asli Genjer-genjer tidak ada isi politik sama sekali," ujar Tomi lagi.
Meski telah 50 tahun berlalu dan Pemerintah kini tak lagi antipati terhadap PKI, membicarakan itu bagi sebagian kalangan di Indonesia masih dianggap "tabu." Bagi Tomi, mendengar PKI bukan sekadar bicara soal pembantaian massal yang terjadi pada 1965.
"Nenek saya pernah bercerita di dekat rumah kami di Yogya ada orang yang digergaji kepalanya karena dituduh PKI. Bapak saya pernah bercerita dia menemukan kepala dan mayat manusia waktu bermain di pantai tahun 1965 atau 1966," pemuda 34 tahun itu berkata.
Lebih dari sekadar pembunuhan di tanah sendiri, PKI tidak lepas dari politik internasional. Sebab, bahkan sampai Soeharto lengser pada 1998, pembantaian massal di Indonesia adalah topik kontroversial di barat.
"Karena dalam perang dingin jutaan nyawa Indonesia, komunis atau tidak, telah dikorbankan demi melawan komunisme," ujarnya.
Ia berpandangan itu bagian dari perang dingin yang didukung AS, Inggris, dan Australia, meski negara-negara adidaya itu terus menutupi perannya. Ironisnya, riset tentang itu justru tidak dilakukan orang-orang Indonesia.
Tomi bahkan mengaku mendapat banyak informasi dari hasil penelitian Bernard Arps di Universitas Leiden. Ia juga senang saat Joshua Oppenheimer, sutradara asal Amerika, justru membuat dokumenter tentang Genosida '65 di Indonesia.
Dua filmnya adalah The Act of Killing (Jagal), yang bercerita dari perspektif pelaku pembantaian di Medan, serta The Look of Silence (Senyap) yang menyuguhkan sudut pandang keluarga korban pencari kebenaran.
"Betapa ironis, sekarang rata-rata orang Eropa tidak takut atau benci komunis, justru banyak orang Indonesia masih," ia mengeluhkan.
Karena itu Tomi tidak ragu mendendangkan Genjer-genjer dan bercerita sejarah lagunya, termasuk perkara PKI, di negeri orang. Ia berharap, refleksi Genjer-genjer di luar negeri bisa menular ke Tanah Airnya sendiri.
sumber
Reporter: Rizky Sekar Afrisia , CNN Indonesia.

Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Bahkan sepenggal lirik dari lagu Genjer-genjer itu pun tidak pernah terdengar lagi di masa Orde Baru. Lagu ciptaan Muhamad Arief itu dicap Partai Komunis Indonesia (PKI). Konon, lagu itu mengiringi tarian mesum para Gerwani.
Namun di Jerman, lantunan Genjer-genjer justru terdengar nyaring. Di mana pun Tomi Simatupang, pemuda asal Indonesia yang satu ini duduk sembari memetik gitar, di sana Genjer-genjer mengalun. Lagu itu bahkan "naik kelas," dimainkan di kafe-kafe yang dipadati orang.
Tomi merupakan pemusik Indonesia, sekaligus putra dari sutradara dan aktor Landung Simatupang. Ia tinggal di Jerman bersama ibunya sejak usia 10 tahun. Tomi pertama mendengar Genjer-genjer saat pemutaran wajib film Pengkhianatan G30S PKI pada masa Orba.
"Melodi genjer-genjer mengiringi salah satu adegan yang paling sadis," kata Tomi melalui surat elektronik kepada CNN Indonesia. Saking traumatisnya adegan itu, ingatan tentang Genjer-genjer di kepala Tomi terdesak.
Ia kembali mendengar lantunan lagu yang sama dalam film Gie. "Kali itu versi Bing Slamet dengan aransemen Jack Lemmers," tuturnya. Tomi langsung terobsesi.
Menurutnya, melodi Genjer-genjer seperti lagu anak-anak dan mudah diingat. Pola rima serta paduan lirik dan lagunya, bagi Tomi, menunjukkan Genjer-genjer karya maestro. Ia lantas mempelajari sejarah di balik lagunya.
Tomi pun tahu, lagu itu mengisahkan proses memanen sampai memakan tanaman genjer. Itu sejenis rumput liar yang biasanya dianggap pengganggu pada masa penjajahan Jepang, lantaran rakyat Indonesia sangat kesulitan.
Lagu itu sejatinya tidak ada kaitan dengan PKI. Plesetan menjadi Jenderal-jenderal sebagaimana yang pernah diterbitkan di Harian KAMI usai peristiwa G30S, menurut Tomi, disebabkan kepolosan dan kenetralan lagu yang sudah diciptakan sejak sekitar 1953 itu.
Merasa lagu itu mewakili Indonesia, ia pun memutuskan membawakannya di Jerman. "Saat itu hampir tidak ada orang yang kenal, apalagi mempermasalahkan," kata Tomi. Respons para pendengarnya justru sangat positif. Jadi banyak yang tertarik sejarah Indonesia.
"Apalagi setelah saya mempelajari sejarahnya dan membiasakan diri bercerita di antara bait-baitnya," Tomi melanjutkan. Sejauh ini, tidak ada yang mengaitkan lagu itu dengan PKI. Kalau pun ada, mereka lanjut dengan diskusi.
Bukan hanya penonton awam, rekan-rekan musisi Tomi di Jerman pun banyak yang tersentuh oleh Genjer-genjer dan kisah di baliknya. Sebagian akhirnya sadar betapa besar makna lagu itu untuk Indonesia, terutama perkara sejarahnya.
Tomi bersama rekan-rekannya pun menyuguhkan Genjer-genjer dengan komposisi yang berbeda-beda. Ia mencoba mengaransemen ulang dengan gaya blues, rock, jazz, bahkan sampai reggae. Dengan gaya berbeda-beda itu ia pernah bermain dengan musisi dari Jerman, Polandia, Australia, Amerika Serikat, Turki, Norwegia, Israel, termasuk dari Indonesia sendiri.
Pemuda asal Yogyakarta itu bahkan punya kegiatan bernama Genjermania. "Itu paduan antara konser, presentasi audiovisual, penampilan, dan aktivisme," ia menerangkan.
Di sela-sela presentasi audiovisual ia bisa membawakan Genjer-genjer, atau lagu lain seperti Di Bawah Sinar Bulan Purnama, Ade Irma Suryani, Bhinneka Tunggal Ika, dan lainnya.
"Pada intinya, saya menggunakan Genjer-genjer sebagai benang merah untuk menceritakan sejarah Indonesia, dengan fokus peran Indonesia dakam perang dingin dan genosida yang terjadi setelah G30S," ujar Tomi.
Dalam ceritanya, ia juga menerangkan asal-muasal Genjer-genjer. Termasuk soal nasib penciptanya yang dihilangkan Orba karena dianggap berkaitan dengan PKI. Putra sang pencipta pun kini nasibnya berkesusahan.
"Saya diberi tahu putra tunggal Pak Arief tidak pernah menerima royalti, hidupnya miskin dan terlantar karena dicap anak PKI. Pak Arief sendiri dihilangkan setelah dipenjara oleh Angkatan Darat," ucap Tomi bercerita.
Kondisi itu yang membuatnya menjadikan Genjermania bukan sekadar "pembelajaran sejarah dan pentas musik." Ia juga membantu pencipta asli Genjer-genjer lewat kegiatan itu. Karena itu hasil penjualan tiket Genjermania ia serahkan pada keluarga Arief.
Banyak dampak positif ia rasakan. Bukan hanya dirinya bisa membantu keluarga Arief dan menyosialisasikan sejarah Indonesia. Dokumen Arief dan syair lagunya jadi terdigitalisasi. "Sebagai bukti syair asli Genjer-genjer tidak ada isi politik sama sekali," ujar Tomi lagi.
Meski telah 50 tahun berlalu dan Pemerintah kini tak lagi antipati terhadap PKI, membicarakan itu bagi sebagian kalangan di Indonesia masih dianggap "tabu." Bagi Tomi, mendengar PKI bukan sekadar bicara soal pembantaian massal yang terjadi pada 1965.
"Nenek saya pernah bercerita di dekat rumah kami di Yogya ada orang yang digergaji kepalanya karena dituduh PKI. Bapak saya pernah bercerita dia menemukan kepala dan mayat manusia waktu bermain di pantai tahun 1965 atau 1966," pemuda 34 tahun itu berkata.
Lebih dari sekadar pembunuhan di tanah sendiri, PKI tidak lepas dari politik internasional. Sebab, bahkan sampai Soeharto lengser pada 1998, pembantaian massal di Indonesia adalah topik kontroversial di barat.
"Karena dalam perang dingin jutaan nyawa Indonesia, komunis atau tidak, telah dikorbankan demi melawan komunisme," ujarnya.
Ia berpandangan itu bagian dari perang dingin yang didukung AS, Inggris, dan Australia, meski negara-negara adidaya itu terus menutupi perannya. Ironisnya, riset tentang itu justru tidak dilakukan orang-orang Indonesia.
Tomi bahkan mengaku mendapat banyak informasi dari hasil penelitian Bernard Arps di Universitas Leiden. Ia juga senang saat Joshua Oppenheimer, sutradara asal Amerika, justru membuat dokumenter tentang Genosida '65 di Indonesia.
Dua filmnya adalah The Act of Killing (Jagal), yang bercerita dari perspektif pelaku pembantaian di Medan, serta The Look of Silence (Senyap) yang menyuguhkan sudut pandang keluarga korban pencari kebenaran.
"Betapa ironis, sekarang rata-rata orang Eropa tidak takut atau benci komunis, justru banyak orang Indonesia masih," ia mengeluhkan.
Karena itu Tomi tidak ragu mendendangkan Genjer-genjer dan bercerita sejarah lagunya, termasuk perkara PKI, di negeri orang. Ia berharap, refleksi Genjer-genjer di luar negeri bisa menular ke Tanah Airnya sendiri.
sumber
Diubah oleh c4punk1950... 21-09-2017 16:16
0
2K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan