- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Sebuah Cerita Negeri Gimah Ripah Loh Jinawi yang Berjalan Tertatih Meraih Mimpi


TS
skydavee
Sebuah Cerita Negeri Gimah Ripah Loh Jinawi yang Berjalan Tertatih Meraih Mimpi

Sebelumnya, tujuan penulisan catatan kecil ini tidak bermaksud menyerang pihak lain, atau mendeskreditkan pihak tertentu pula. Hanya ingin berbagi sebuah coretan tanpa makna. Jika tulisan dipercaya mampu mengubah dunia, maka, percayalah, tulisan kecilpun meski kadang luput dari perbincangan diwarung kopi, asalkan sarat dengan makna, bisa berkontribusi terhadap perubahan. Tentu saja, yang dimaksud bukan tulisan ini.
Berbicara tentang sebuah negara dengan julukan Nusantara ini kerap menjadi daya tarik tersendiri bagi saya pribadi. Diawali rasa penasaran dengan lirik lagu dari legenda Koes Plus yang hampir tiap pagi setelah subuh disetel oleh abang saya, terpikir betapa kayanya negeri ini. Kita tidak cuma memiliki lautan, tapi kolam susu. Bahkan tongkat kayu bisa jadi tanaman. Bandingkan dengan negara lain, yang Tuhan tidak dengan mudahnya memberikan anugerahNya.
Jika sempat berjalan-jalan keliling nusantara, kita akan disuguhi hamparan padi menghijau sepanjang mata memandang. Meski sekarang ini para petani lebih suka menjual lahannya ke agen property untuk dijadikan perumahan.
Kenapa? Karena biaya produksi tidak sebanding dengan hasil paska panen. Sedangkan para pengembang perumahan, berani bayar mahal. Sedikit demi sedikit, lahan tergerus untuk dijadikan komplek perumahan. Bukankah kebutuhan akan rumah merupakan kebutuhan primer? Betul sekali. Namun tak jarang, pemilik perumahan menyiasati hasil money loundry dengan membeli aset berupa tanah dan rumah.
Lautan kita juga luas membentang sepanjang batas cakrawala. Ikan tuna, sebagai salah satu ikan yang bernilai ekonomis, saat ini stoknya cukup melimpah akibat kerjaan menteri yang kontroversial, namun kerjanya layak diajungi jempol. Ah, sayangnya, asam digunung, garam diimport.
Belum lagi kekayaan negeri ini berupa emas yang sekarang gunungnya sudah dipapras sama freeport. Andai saja dari dulu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Ga usah semua deh. Masyarakat pemilik gunung emas sendiri aja dulu. Mungkin, mereka sudah hidup diatas garis kesejahteraan. Tak ada lagi panah terbang berseliweran akibat urusan perut. Koteka juga mungkin hanya jadi barang penghuni museum. Kan bisa beli baju mahal lengkap dengan tas ataupun aksesorisnya. Ngapain masih harus pake koteka?
Atau bicara hamparan batubara yang ketika siang hari mengkilap bahkan terkadang menimbulkan asap di Kalimantan sana, bila terkena sinar gaharnya sang surya. Perahu tongkang padahal hilir mudik menyebrangi sungai Mahakam. Namun sayang sungguh sayang, listrik masih suka byar pet.
Sungai Mahakam yang dipercaya, jika ada yang sempat meminumnya, akan lupa pada kampung halaman. Alhamdulillah, meski hampir tiap hari mengkonsumsi selama dua tahun, saya masih ingat kampung, dan selamat sampai hari ini.
Bisa juga kita melihat kandungan uranium di Bangka Belitung. Asal dikerjakan dengan baik, dan bisa dibuat untuk bahan pembangkit listrik tenaga nuklir, tidak akan ada ceritanya listrik bolak balik padam di daerah Sumatera. Apalagi jika listrik padam menjelang berbuka puasa. Pahala puasa habis tuntas gegara memaki-maki keadaan gelap. Atau kondisi gelap yang membuat orang lupa memasukkan sambal bukan ke mulut, tapi malah nyasar ke mata.
Kemanakah semua hasil kekayaan kita? Bukankah seharusnya kita berhak dan seyogianya turut serta berpesta dikampung sendiri? Padahal tiap tahun selalu aktif bayar pajak daripada selalu berkeringat dingin saban melihat bapak polisi dijalanan?
Pertanyaan retorik ini perlahan mendapatkan sebuah jawaban. Meski jawaban ini bukan artinya jawaban yang mutlak kebenarannya. Setidaknya, bisa mengurangi rasa penasaran yang cukup menghantui di alam pikiran.
Beberapa hari kemarin, institusi KPK, yang menurut survey, menjadi institusi yang paling "dipercaya", sukses melakukan OTT kepada sejumlah pejabat di tanah air. Mereka "diduga" memainkan atau meminta fee dengan jumlah tertentu atas proyek yang sedang dikerjakan.
Menjadi pejabat, tentu pekerjaan yang gampang-gampang susah. Dari segi gampangnya, para pejabat mendapatkan upah berkali-kali lipat dari standard UMK. Belum lagi seabrek fasilitas yang melekat, sebagai penunjang mobilitas pejabat yang susah ditemui ketika sudah menjabat. Padahal, kalau lagi musim kampanye, kucing tetangga matipun, jika diundang, disempatkan datang.
Tapi kalau sudah jadi, jika ingin bertemu harus buat apointment dulu. Masak sih?
Lalu, apa segi susahnya? Susahnya cuma satu. Jikalau bisa menahan godaan nafsu, selamatlah dia dunia dan akherat. Tapi kalau tidak, alamat diciduk serta dimaki-maki masyarakat sejagat.
Kasus OTT yang dilakukan KPK, meski berulang kali terjadi, ternyata belum memberikan efek jera bagi pelakunya. Tak jauh berbeda bagi pelaku yang doyan menyebar hoax dan menyulut berita yang berpotensi memecah belah bangsa. Apa karena hukumannya biasa saja? Sehingga tidak menimbulkan efek jera? Ayo dong, andai dibuat survey, hukuman mati untuk pelaku korupsi, pasti mendapat banyak dukungan. Apa iya? Atau hanya angan-angan dibenak saya yang menari dengan liar? Eta terangkanlah...
Korupsi secara harfiah, adalah memperkaya diri sendiri atau golongannya, dengan cara melanggar hukum. Mengapa melanggar hukum? Karena mereka diamanahkan mengelola dana sekian milyar bahkan hingga bilangan triliun. Dan uang itu termasuk uang saya, bapak dan mamak saya, kakak dan adik saya, keponakan saya, uwak dan tulang saya, tetangga saya, dan termasuk uang anda semua. Apa iya ikhlas? Uang yang seharusnya untuk kesejahteraan ummat malah dibuat bancaan pejabat yang rakus beserta kroni-kroninya? Sekolah dan rumah ibadah yang seharusnya tak sampai roboh, namun karena dananya disunat, maka asbes atau gedungnya miring seperti menara Pisa? Atau daripada dibuat korupsi, bisa membuat dan membangun sarana komunikasi yang aksesnya secepat kilat? Ga harus loading lama untuk bisa akses serial JAV terbaru?
Bicara koneksi internet cepat, membuat saya teringat "dia" yang tak boleh disebut namanya. "Internet cepat buat apa"? Oke baiklah, ga usah urusin internet cepat, setidaknya, jalanan jangan banyak berlubang saja, kiranya cukuplah. Karena jalanan berlubang sering membuat para ibu-ibu melahirkan sebelum waktunya.
Balik lagi ke masalah korupsi. Korupsi, dipersepsikan sebagai kategori kejahatan extra ordinary. Banyak efek domino yang terjadi akibat banyaknya kasus korupsi. Sarana infrastruktur juga terkendala akibat korupsi yang menggurita. Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi? Apakah besarnya biaya menjelang kampanye salah satu hal yang membuat pejabat gelap mata dan melakukan korupsi? Atau parpol terlalu sadis memalak para pejabat dan harus memberikan upeti besar demi tetap menjadi anggota parpol? Atau itu memang sudah diniatkan menjadi koruptor semenjak terpilih menjadi pejabat? Bukankah menjadi pejabat itu bentuk pengabdian?
Banyak orang bilang, satu saja warga menangis karena kelaparan, maka pejabat yang dimaksud akan terkena kutukan dan dosa besar? Pada ga takutkah?
Menuruti keinginan itu tak bertepi. Sama seperti meneguk air di lautan. Rasa haus akan selalu ada terus menerus.
Ah, sudah malam. Tanpa disengaja, saya pun telah korupsi waktu. Harusnya, masa ini saya memberikan jatah kepelukan anak-anak, tapi malah sibuk dengan menulis catatan tak berguna ini.
Selamat Malam...
0
2.9K
35


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan