- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Autumn Beneath Destiny of Ours


TS
Veritonix
Autumn Beneath Destiny of Ours

Quote:
"Yang Mulia.." Seseorang menyahut dibelakangku.
Aku membalikkan tubuhku menghadap ke orang tersebut. Siluet wanita terbalut gaun putih mutiara panjang yang menjuntai hingga kebelakang bersembunyi dibalik remangnya sinar rembulan.
Angin berhembus pelan menyapu surai rambut legamnya kebelakang. Ia tangkap beberapa helainya untuk kemudian ia sematkan ke belakang telinga. Langkah kaki mungilnya diatas lantai bebatuan perlahan mulai mendekat ke sinar lilin di tembok kastil. Ia tampakkan wujudnya yang nyaris menyerupai kecantikan khas rembulan itu.
"Apa yang dilakukan seorang raja malam-malam begini di teras kastil?" Ia bertanya lembut.
Aku terperangah mendengar suaranya. Dari segelintir nama yang ada dalam daftar hidupku. Catia Vortigern adalah orang terakhir yang ingin kujumpai disaat seperti ini.
Hubungan kami sekarang sedikit rumit.
Ya, rumit.
"Menghirup udara segar. Mencari ketenangan yang bertebangan diudara, kurasa?"
Ia menghela napas,
"Tidak kah seorang raja mempunyai agenda kegiatan yang cukup padat esok pagi? Kurasa ia butuh sedikit istirahat." Ia menyunggingkan sebuah senyum menenangkan. Sekalipun aku seorang raja, aku menyuruhnya untuk tak bersikap formal jika hanya ada kami berdua. Aku ingin ia menyikapiku layaknya seorang saudara.
"Aku tidak bisa tidur dengan tenang jika masih ada sesuatu yang mengganjal dipikiranku, Catia.” Ujarku kalem.
"Akan ada seseorang yang membantumu memecah semua permasalahanmu, Arthur. Merlin misalnya? Kecuali.." Ia menahan kalimatnya. Hanya untuk sekedar melihat reaksi di wajahku. Aku tahu maksudnya. Aku tahu kemana arah pembicaraannya.
"Aku tak ingin membahas perkara rumah tanggaku disini. Kau yang tahu soal aku, Catia. Kau saudaraku, kau adikku. Kau pun tahu sekarang bukan saat yang tepat, aku ingin mencari ketenangan disini." Aku menekankan kalimat terakhirku.
“Yah, aku sendiri tak bisa banyak berbicara, karena aku juga belum menikah.” Sejenak wajahnya tertekuk, terkekeh ringan, tak berlangsung lama sampai pandangannya beralih menatap rembulan.
"Kupikir kau lebih dari seorang manusia, Art. Merawatku dengan segenap belas kasih, sekarang kau menyebutku sebagai adikmu? Kau benar-benar berjiwa besar." Sambungnya diiringi tawa yang kali ini terdengar dipaksakan. Sarkas. Membahas yang lain. Catia memang senang mengutarakan perasaannya. Ia enggan menyembunyikan kesedihannya. Itu bukan sifatnya, kupikir itu adalah salah satu dari sikap polosnya. Walau terdengar ia seperti menyudutkanku.
Aku jengah juga melihatnya seperti ini. Ia terlalu sering bersedih. "Tidurlah, Catia. Kau tak perlu memikirkan apapun lagi, jangan pikirkan aku. Aku lebih dari sekedar baik-baik saja."
Catia mengangguk lemah, "Maafkan sikap egois ayahku. Ia sungguh-sungguh dibutakan ambisi gelapnya. Tidak sepantasnya ia melakukan hal itu padamu, kau orang yang baik Art, dan satu-satunya yang bisa kukatakan sekarang adalah, kau bisa mendapat pasangan yang lebih baik dari pasanganmu sekarang."
Ah lagi-lagi ia menyinggung persoalan itu lagi.
"Masalah itu sudah terlalu lama berlalu, tak semestinya kau ungkit lagi sekarang. Tak ada seorangpun yang perlu kusalahkan. Aku juga melakukan hal yang sama padamu. Tak perlu minta maaf." Balasku. Aku membuang mukaku kearah yang sama. Menolak membahas permasalahan ‘Guinevere’ dengannya lebih jauh. Apalagi soal masalahku dengan ayahnya dulu.
“Ya tapi kau tak memperlakukanku layaknya seorang penghian…”
“Catia hentikan, tidurlah.” Kataku menyelanya berbicara.
Catia mengulum mulutnya, mengangguk lemah, menelan seluruh ucapannya kembali. Ia memilih mengalah.
"Jika ada yang bisa kubantu, jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya. Tapi aku tidak yakin aku akan mengatakan sesuatu yang bagus jika itu menyangkut masalah pernikahanmu." Ia melenggang pergi meninggalkanku sebelum atmosfer udara yang tercipta diantara kami semakin tak mengenakkan. Tapak kakinya perlahan mulai terdengar menjauh.
Kehadirannya terasa mencekat bagiku. Sekelumit perasaan bersalah merongrong hati tatkala aku melihat wajah ayunya. Setelah semua insiden tragis yang menumpahkan darah kedua orang tua kami, aku tidak pernah berharap adanya permusuhan diantara kami berdua. Ia berbeda dengan ayahnya. Ia polos, suci, dan anggun.
Lagipula aku masih terlalu kecil untuk menyadari bagaimana rasanya kasih sayang kedua orang tuaku, meski aku tak mendapatkan perlakuan itu dari mereka, aku tak pernah kekurangan kasih sayang, wanita-wanita di rumah bordil itu telah memberiku segala yang kubutuhkan.
Keinginanku sekarang? Cukup dengan mengubur semua kenangan kelam itu. Terlebih kata-kata Merlin beberapa waktu lalu membuatku tercenggang, ia mengatakan betapa beruntungnya aku telah mengampuni nyawa Catia meskipun kekejian ayahnya telah meremukkan hubungan persaudaraan kami.
Merlin melihat masa depanku..
Hal yang sebenarnya dilarang dilakukan oleh seorang penyihir. Pengecualian bagi Lady of The Lake yang dulu pernah melakukan hal serupa untuk membuka mataku. Merlin lakukan itu sebagai balas jasa karena sekali lagi, Keluarga Pendragon menunjukkan sikap ramahnya pada bangsa penyihir.
Sebelum terpaut langkah cukup jauh, Catia berhenti, ia kembali menoleh kearahku,
“Merlin bilang kau membutuhkanku sekarang. Aku menemuimu karena alasan itu, tapi tampaknya kau baik-baik saja.”
Jadi daripada aku terus menyangkal seluruh ucapannya, Merlin membawa Catia sendiri kehadapanku? Jujur ucapannya itu sulit kupercaya karena ini berkaitan dengan masa depanku yang takkan mungkin bisa kumengerti.
Tapi bagian terdalam di hatiku punya sedikit keinginan untuk mempercayainya. Andai ia mengatakannya lebih awal, jauh sebelum pernikahanku dengan Guinevere terjadi.
“Jangan percaya kata-katanya, pikirannya sedang tidak beres karena beberapa pertempuran dengan kaum Saxon itu.” Ucapku berdusta. Berusaha bersikap senormal mungkin meskipun darahku berdesir hebat.
Catia kembali mengangguk, melempar senyum manisnya dengan tubuh sedikit membungkuk untuk memberiku salam penghormatan sebelum akhirnya berlalu meninggalkanku.
Aku menghembuskan napas resahku. Sebenarnya aku ingin ia lebih lama berada disisiku. Menemaniku. Disini. Tapi aku takut menghadapinya sekarang. Aku tidak bisa menutupi kenyataan bahwa aku gugup berhadapan dengannya. Ucapan Merlin telah membuat pandanganku terhadap dirinya berubah.
Dan..
Hubungan kami akan lebih rumit jika aku tidak bisa mengontrol kehadiran perasaan ini.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Gak tahu harus nulis fanfiksi tipe movie dimana, settingnya setelah Arthur Legend of The Sword di mix sama cerita aslinya
maaf kalau salah kamar

Diubah oleh Veritonix 04-09-2017 15:00


anasabila memberi reputasi
1
1.7K
10


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan