Rasialisme adalah suatu penekanan pada ras atau pertimbangan rasial. Kadang istilah ini merujuk pada suatu kepercayaan adanya dan pentingnya kategori rasial. Dalam ideologi separatis rasial, istilah ini digunakan untuk menekankan perbedaan sosial dan budaya antar ras. Walaupun istilah ini kadang digunakan sebagai kontras dari rasisme, istilah ini dapat juga.digunakan sebagai sinonim rasisme. Penganut paham rasialisme, yang sering disebut rasialis, sering mengutip karya akademik kontroversial seperti Race, Evolution and Behaviorkarya J. Philippe Rushton,IQ and the Wealth of Nations karya Richard Lynn, serta The Bell Curve karya R.J. Herrnstein dan Charles Murray.
Jika istilah rasisme umumnya merujuk pada sifat individu dan diskriminasi institusional, rasialisme biasanya merujuk pada suatu gerakan sosial atau politik yang mendukung teori rasisme.Pendukung rasialisme menyatakan bahwa rasisme melambangkan supremasi rasial dan karenanya memiliki maksud buruk, sedangkan rasialisme menunjukkan suatu ketertarikan kuat pada isu-isu ras tanpa konotasi-konotasi tersebut. Para rasialis menyatakan bahwa fokus mereka adalah pada kebanggaan ras, identitas politik , atau segregasi rasial.
Organisasi seperti NAAWP (National Association for the Advancement of White People) di Amerika Serikat, berkeras mengenai perbedaan tersebut, dan mengklaim bahwa mereka justru menentang segala bentuk rasisme
yang didukung oleh negara.
Spoiler for #catatan sejarah kasus rasialisme:
Rasialisme anti-Tionghoa terbesar dan pertama kali terjadi pada 1740 jelas hasil permainan kekuasaan Kompeni alias VOC.
Sumber-sumber otentik yang dipergunakan Jan Risconi dalam disertasinya Sja'ir Kompeni Welanda Berperang Dengan Tjina (1935) cukup jelas. Kasus 1740 adalah rasialiane anti
Tionghoa dari pihak Kompeni dari pihak kekuasaan Belanda.
Rasialisme anti-Tionghoa sepanjang tercatat oleh sejarah terjadi pertama kali di Solo, pusat kapital, produksi dan perdagangan batik. Padahal koeksistensi damai antara Pribumi dan Tionghoa berjalan mulus sepanjang sejarah. Pada masa ini kekuasaan kolonial sedang mengembangkan politik
ethiknya yang dapat menerima terjadinya kebangkitan pada Pribumi. Dengan syarat memang: asal tidak bersifat politik. Jadi sejajar dengan
politik massa mengambang OrBa. Seperti halnya pada peristiwa 1740 juga di sini tangan kekuasaan bermain di belakang layar. Ada kemenangan pada
gerakan boikot oleh para pedagang Tionghoa terhadap perusahaan-perusahaan raksasa Barat di Surabaya.
Pada pihak Pribumi ada kebangkitan
dalam bentuk lahirnya Sarekat Islam yang dalam waktu sangat pendek telah menjadi gerakan massa yang meraksasa. Unsur-unsur ini telah dipaparkan dalam karya Sang Pemula, Hasta Mitra, Jakarta 1985. Dari sedikit sumber dan juga langka disebutnya tentang adanya kegelisahan pada
penduduk penetap bangsa Barat dan keturunannya terhadap kebangkitan massa Pribumi yang agamanya lain daripada yang mereka anut. Walau
penduduk penetap bangsa Barat ini merupakan minoritas sangat kecil namuk bertulang punggung kekuasaan, kekuasaan colonial, dan terjadilah kerusuhan rasial itu.
Kerusuhan rasial anti-Tionghoa terjadi 4 tahun kemudian di Kudus, 1916. Walau pun kejadiannya jauh lebih besar, meliputi seluruh kota industri rokok ini, disertai pembunuhan di berbagai tempat, namun sebagai peristiwa sebenarnya hanya merupakan edisi kedua dari yang pertama.
Beruntunglah bahwa Tan Boen Kim telah membukukan peristiwa ini dengan judul [B]Peroesoehan di Koedoes, 1918.[/]
Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10-1960. Mengagetkan,
mengherankan, mengingat bangsa Indonesia yang mereka ini telah merumuskan aspirasi perjuangan
nasionalnya dalam Pancasila.
Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama
diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, tak lain dari reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan
terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan Darat.
Dari para mahasiswa- mahasiswi, sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, diterima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap
keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat.
Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.