- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemberian senjata api kepada gubernur dinilai tak perlu
TS
auraku7
Pemberian senjata api kepada gubernur dinilai tak perlu
Quote:
Pemberian senjata api oleh TNI kepada gubernur Bali, NTT dan NTB ditentang oleh sejumlah pihak karena dianggap tidak dilandasi alasan mendesak.
Anggota DPR Komisi I Charles Honoris menilai pemberian senjata bagi tiga gubernur yaitu Bali, NTT dan NTB melanggar undang-undang.
"Kami meningkatkan anggaran TNI dari tahun ke tahun agar bisa fokus mempertahankan keamanan perbatasan, misalnya. Ketika anggaran yang kami tingkatkan untuk bagikan senjata itu bukan merupakan sesuatu yang kita bahas dalam rapat TNI dan DPR. Menurut saya, tidak lazim dan melanggar aturan," kata Charles.
Charles mengatakan warga sipil dapat memiliki senjata api tetapi harus melalui persetujuan dan tes psikologi oleh kepolisian, dan itu pun hanya untuk digunakan latihan menembak ataupun olahraga.
Ditambahkannya pemberian senjata oleh TNI pada gubernur harus dihentikan.
"Menurut saya program seperti ini harus dihapuskan, dan tidak dilanjutkan lagi. Senjata yang dibagikan harus ikut peraturan Mabes Polri, karena yang boleh menggunakan di dalam negeri itu penegak hukum yaitu kepolisian dan kalau toh sipil itu harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepolisian," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Komaruddin Simanjuntak memberikan senjata api genggam atau pistol kepada tiga gubernur setelah para gubernur mengikuti pelatihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat PPRC di Natuna pada Mei lalu.
'Untuk pribadi?'
Komarudin dalam keterangan kepada wartawan menyatakan pemberian ini merupakan bentuk penghargaan bagi para gubernur dan bukan karena ada ancaman.
"Tidak ada kaitan dengan ancaman pemberian senjata kepada gubernur. Tidak ada. Statusnya adalah untuk pribadi pada yang bersangkutan. Kontrolnya kan ada suratnya itu, supaya rakyat mengerti bahwa di gubernur itu ada senjata," kata Komaruddin kepada wartawan usai acara penyerahan di Bali Kamis (10/08) pekan lalu.
Di Indonesia, aturan kepemilikan senjata api merujuk pada Perppu no 20 tahun 1960, dan dua aturan teknis melalui keputusan Kapolri dan Kementerian Pertahanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan No 7/2010, perorangan dapat memiliki senjata api dengan pembatasan, yaitu pejabat pemerintah tertentu, atlet menembak dan kolektor.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemberian senjata api kepada para gubernur juga tidak tepat karena mereka sudah dikawal kepolisian dan juga Satpol PP.
"(dalam aturan) Pejabat tertentu boleh, tetapi yang memang secara nilai strategis itu dirinya terancam, seperti di Papua itu diperbolehkan. Untuk di wilayah yang damai perlu dipertimbangkan, yang menilai situasi dan kondisi terancam kan kepolisian," jelas Al Araf.
"Panglima itu tidak bisa memberikan senjata api sebagai hadiah. Itu bahaya," tambah dia.
Al Araf mengatakan aturan untuk mengontrol peredaran senjata api dan juga bahan peledak di Indonesia masih lemah.
"Ada dua pintu; satu dari izin kepolisian, dan pengaturan oleh Kementerian Pertahanan. Terkait dengan hal itu ini harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menbuat setingkat UU masa Orde Lama sekaligus menyelesaikan persoalan kontroversi senjata dan bahan peledak menjadi satu pintu, tidak dua pintu lagi.
"Ini kan harus ditata, supaya penggunaan senjata api di Indonesia terkontrol dengan baik. Kalau tidak terkontrol itu akan membuka peluang kejahatan" jelas Al Araf.
Al Araf menyatakan aturan kepemilikan senjata api dan bahan peledak harus diperketat agar tidak ada penyalahgunaan senjata api.
Anggota DPR Komisi I Charles Honoris menilai pemberian senjata bagi tiga gubernur yaitu Bali, NTT dan NTB melanggar undang-undang.
"Kami meningkatkan anggaran TNI dari tahun ke tahun agar bisa fokus mempertahankan keamanan perbatasan, misalnya. Ketika anggaran yang kami tingkatkan untuk bagikan senjata itu bukan merupakan sesuatu yang kita bahas dalam rapat TNI dan DPR. Menurut saya, tidak lazim dan melanggar aturan," kata Charles.
Charles mengatakan warga sipil dapat memiliki senjata api tetapi harus melalui persetujuan dan tes psikologi oleh kepolisian, dan itu pun hanya untuk digunakan latihan menembak ataupun olahraga.
Ditambahkannya pemberian senjata oleh TNI pada gubernur harus dihentikan.
"Menurut saya program seperti ini harus dihapuskan, dan tidak dilanjutkan lagi. Senjata yang dibagikan harus ikut peraturan Mabes Polri, karena yang boleh menggunakan di dalam negeri itu penegak hukum yaitu kepolisian dan kalau toh sipil itu harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan kepolisian," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP ini.
Beberapa hari lalu, Panglima Kodam Udayana Mayjen TNI Komaruddin Simanjuntak memberikan senjata api genggam atau pistol kepada tiga gubernur setelah para gubernur mengikuti pelatihan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat PPRC di Natuna pada Mei lalu.
'Untuk pribadi?'
Komarudin dalam keterangan kepada wartawan menyatakan pemberian ini merupakan bentuk penghargaan bagi para gubernur dan bukan karena ada ancaman.
"Tidak ada kaitan dengan ancaman pemberian senjata kepada gubernur. Tidak ada. Statusnya adalah untuk pribadi pada yang bersangkutan. Kontrolnya kan ada suratnya itu, supaya rakyat mengerti bahwa di gubernur itu ada senjata," kata Komaruddin kepada wartawan usai acara penyerahan di Bali Kamis (10/08) pekan lalu.
Di Indonesia, aturan kepemilikan senjata api merujuk pada Perppu no 20 tahun 1960, dan dua aturan teknis melalui keputusan Kapolri dan Kementerian Pertahanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertahanan No 7/2010, perorangan dapat memiliki senjata api dengan pembatasan, yaitu pejabat pemerintah tertentu, atlet menembak dan kolektor.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan pemberian senjata api kepada para gubernur juga tidak tepat karena mereka sudah dikawal kepolisian dan juga Satpol PP.
"(dalam aturan) Pejabat tertentu boleh, tetapi yang memang secara nilai strategis itu dirinya terancam, seperti di Papua itu diperbolehkan. Untuk di wilayah yang damai perlu dipertimbangkan, yang menilai situasi dan kondisi terancam kan kepolisian," jelas Al Araf.
"Panglima itu tidak bisa memberikan senjata api sebagai hadiah. Itu bahaya," tambah dia.
Al Araf mengatakan aturan untuk mengontrol peredaran senjata api dan juga bahan peledak di Indonesia masih lemah.
"Ada dua pintu; satu dari izin kepolisian, dan pengaturan oleh Kementerian Pertahanan. Terkait dengan hal itu ini harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menbuat setingkat UU masa Orde Lama sekaligus menyelesaikan persoalan kontroversi senjata dan bahan peledak menjadi satu pintu, tidak dua pintu lagi.
"Ini kan harus ditata, supaya penggunaan senjata api di Indonesia terkontrol dengan baik. Kalau tidak terkontrol itu akan membuka peluang kejahatan" jelas Al Araf.
Al Araf menyatakan aturan kepemilikan senjata api dan bahan peledak harus diperketat agar tidak ada penyalahgunaan senjata api.
Sumber: BBCINDONESIA
0
1.6K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan