Kaskus

News

seher.kenaAvatar border
TS
seher.kena
Petani Garam 'Mati' di Lumbung Garamnya
Garam di laut, asam di gunung, bertemu dalam belanga juga. Peribahasa itu mengandung makna bahwa jika memang jodoh, maka akan bertemu juga. Namun, selain memberikan makna tentang jodoh, peribahasa tersebut juga menunjukkan bahwa garam bersumber dari laut. Itu berarti, negara/daerah yang memiliki banyak laut, maka seharusnya memiliki banyak garam.
 
Namun, tidak demikian dengan Indonesia. Negeri yang kaya akan lautan itu, justru menjadi negara pengimpor garam. Dari segi kuantitas, garam yang dihasilkan para petaninya disebut-sebut tak mampu memenuhi kebutuhan nasional. Begitu pula dari segi kualitas, garam lokal juga dinilai kalah bersaing dengan garam impor yang berwarna putih bersih.
 
Selama ini, sebagian besar para petani garam di Indonesia, termasuk di Kabupaten Cirebon yang merupakan salah satu sentra garam di Jabar, masih menggunakan cara tradisional dalam produksi garam. Cara itu mengandalkan sepenuhnya sinar matahari dan musim kemarau. Karenanya, saat anomali cuaca terjadi, seperti pada 2016 lalu, produksi garam menjadi hancur.
 
Di Kabupaten Cirebon, hampir seluruh lahan garam tidak ada yang bisa produksi. Berdasarkan data dari Dinas Kelautandan Perikanan Kabupaten Cirebon, produksi garam di Kabupaten Cirebon pada 2016 lalu hanya sekitar 1.000 ton atau 0,24 persen dari luas lahan garam yang mencapai sekitar 3.500 hektare.
 
Para petani garam yang mayoritasnya adalah petani penggarap dan buruh tani pun menjerit. Mereka harus beralih profesi menjadi buruh tani sawah, buruh bangunan ataupun mengadu nasib ke Jakarta menjadi pemulung.
 
"Saya kerja serabutan. Kerja apa saja yang penting halal. Kalau tidak dapat kerjaan, ya ngutang kanan kiri," tutur seorang petani penggarap  di Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Abdullah, Selasa (1/8).
 
Abdullah mengaku, tak memiliki lahan sendiri. Karena itu, selama ini, dia menggarap lahan garam milik orang lain. Sistemnya, bagi hasil saat panen dengan porsi dua bagian untuk dirinya dan satu bagian untuk pemilik lahan. Sistem tersebut dikenal warga setempat dengan istilah mertelu.
 
"Kalau garam kan tidak pakai modal bibit atau pupuk seperti padi. Modalnya ya hanya tenaga," kata Abdullah.
 
Abdullah mengungkapkan, penghasilan dari garam selama ini menjadi sumber utama pemasukannya. Karena itu, saat pengolahan garam berhenti akibat hujan yang terus turun, otomatis tak ada pemasukan yangditerimanya.
 
Saat harga garam tinggi sepanjang 2016 hingga pertengahan 2017, Abdullah pun hanya bisa gigit jari. Dia tidak bisa menikmati tingginya harga itu karena tak memiliki stok garam.


Abdullah baru bisa kembali mengolah lahan garam pada awal Juni 2017, saat masuk musim kemarau. Namun sayang, hujan yang sesekali masih turun di musim kemarau, membuat pengolahan lahan garam menjadi terkendala. Begitu pula pembentukan kristal garam. Pasalnya, hujan membuat tingkat salinitas air di dalam tambak menjadi rendah.
 
Abdullah akhirnya baru bisa menikmati panen perdana garam pada minggu ketiga Juli 2017. Dia pun bisa merasakan harga tinggi hingga Rp 3.000 per kg. Padahal biasanya, harga garam hanya dihargai Rp 200 hingga Rp 400 per kg.
 
"Saya pun tak perlu susah cari pembeli. Mereka datang sendiri ke tambak nyari garam," ujar Abdullah.
 
Untuk mengejar harga tinggi itu, Abdullah mengaku, melakukan panen dini garam. Apalagi, hujan saat ini masih sering tiba-tiba turun dan membuat panen garam menjadi gagal. Garam yang seharusnya dipanen dua minggu hingga lebih, kini lima hari pun sudah dipanen.
 
"Bahkan kalau lihat cuaca mendungdan garam di tambak sudah terlihat (meski belum lima hari), langsung saja dipanen walau belum waktunya," kata Abdullah.
 
Dari hasil panen dini itu, Abdullah mengaku hanya bisa memperoleh enam karung per kotak tambak dengan isi 50 kilogram garam per karung. Sedangkan dalam kondisi normal, hasil panen garam bisa mencapai 30 karung per kotak tambak.
 
Abdullah pun mengaku senang garamnya dihargai tinggi meski kualitasnya kurang bagus. Karena itu, saat mendengar pemerintah melakukan impor garam, dia sangat khawatir impor itu akan membuat harga garam petani menjadi jatuh.
 
Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat M Taufik, membenarkan produksi garam di Kabupaten Cirebon sangat tergantung pada kondisi cuaca. Dia menyebutkan, jika kondisi cuaca normal, maka Juli-Agustus seharusnya sudah mulai panen raya. Namun kenyataannya, saat ini, petani garam yang sudah panen masih sedikit.
 
Taufik pun mengakui, impor garam untuk saat ini memang tidak bisa dihindarkan. Pasalnya, banyak industri kecil menengah (IKM) yang berbahan baku garam, seperti misalnya pengrajin ikan asin, telur asin, dan garam meja, yang sudah gulung tikar karena kesulitan memperoleh garam.
 
"Impor saat ini malah terlambat. Waktu 2010 juga kondisinya pernah seperti ini, tapi pemerintah cepat bertindak sehingga tidak terjadi kelangkaan garam seperti sekarang," ujar Taufik.

Taufik menyebutkan, IKM yang sudah gulung tikar karena kesulitan garam diketahuinya ada 32 IKM. Dari jumlah itu, 25 IKM ada di Kabupaten Cirebon dan tujuh lainnya ada di Kabupaten Indramayu.
 
"(Puluhan IKM yang gulung tikar itu) ya merumahkan karyawannya," terang Taufik.
 
Taufik menyebutkan, jika satu IKM diasumsikan rata-rata memiliki jumlah karyawan 20 orang, maka sudah ada 640 karyawan yang kini kehilangan pekerjaan. Jumlah itu belum termasuk anggota keluarga dari pemilik IKM tersebut.
 
Namun,Taufik meminta, dengan sangat agar impor garam itu dihentikan saat menjelangpanen raya garam. Selain itu, impor hanya boleh dilakukan sesuai kebutuhan dan ada pengawasan yang ketat sehingga tidak merugikan petani garam.
 
"Kalau impor garam terus menerus, harga garam petani akan jatuh," kata Taufik.
 
Tak hanya terkendala cuaca, tambah Taufik, produksi garam di Kabupaten Cirebon juga terancam dengan banyaknya lahan tambak garam yang beralih fungsi. Di antaranya, untuk proyek PLTU Cirebon, yang disebutnya menghilangkan sekitar 600 hektare tambak garam.
 
Jika luas lahan berkurang, lanjut Taufik, maka produksi garam otomatis juga berkurang. Dia menyebutkan, selama ini produksi garam di Kabupaten Cirebon rata-rata 80 100 ton per hektare. Dengan hilangnya lahan sekitar 600 hektare, maka produksi garam yang hilang ada sekitar 48 ribu hingga 60 ribu ton.
 
Disinggung mengenai teknologi dalam pembuatan garam, Taufik mengakui, pemerintah pernah memberikan bantuan geo membran. Namun, bantuan itu datang pada September/Oktober 2015 sehingga petani garam tidak sempat menggunakannya. Ditambah lagi, sepanjang 2016, terjadi anomali cuaca yang membuat petani garam tidak berproduksi.
 
"Bantuan itu akhirnya malah banyak yang dijual atau dialihkan fungsinya untuk kepentingan lain, di antaranya untuk kandang ayam. Ini ironis sekali," ucap Taufik.
 
Ketua Komisi II DPRD Kabupaten Cirebon Raden Cakra Suseno menambahkan, selain terkendala faktor cuaca dan alih fungsi lahan tambak garam, para petani garam di Kabupaten Cirebon juga banyak yang terjerat sistem ijon. Maksudnya, saat garam tidak berproduksi, mereka berhutang kepada tengkulak/pedagang besar. Namun sebagai syaratnya, mereka harus menjual garam kepada tengkulak/pedagang besar itu dengan harga rendah.
 
"Harus ada terobosan yang dilakukan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah," tandas Cakra.

http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/08/01/ou02zm396-petani-garam-mati-di-lumbung-garamnya-part2

Waduh menyedihkan juga ya
0
2.8K
28
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan