- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Yusril Ihza Mahendra: Tak Ada Kegentingan yang Memaksa bagi Lahirnya Perppu Ormas


TS
p0congkaskus
Yusril Ihza Mahendra: Tak Ada Kegentingan yang Memaksa bagi Lahirnya Perppu Ormas
Yusril Ihza Mahendra: Tak Ada Kegentingan yang Memaksa bagi Lahirnya Perppu Ormas
YUSRIL IHZA MAHENDRA, tokoh yang paling getol menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Baginya, tak ada situasi mendesak yang mengharuskan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu. Yusril pun tak segan berhadapan dengan pemerintah. Meja hijau jadi media, Yusril akan membawa gugatan Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi.
Yusril adalah praktisi hukum berpengalaman. Persinggungannya dengan pemerintah bukanlah hal baru. Bahkan beberapa kali ia mengajukan gugatan ke MK untuk berhadapan dengan pemerintah. Gugatan itu selalu berbuah kemenangan.
Di antara banyak gugatan yang pernah dimenangkannya, salah satunya, gugatan atas pengangkatan wakil menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu. Putusan MK akhirnya memaksa Presiden SBY mengubah dan memperbarui Perpres dan Keppres terkait pengangkatan para wakil menteri.
Rilis.id mendapat kesempatan mewawancarai langsung Yusril terkait Perppu Ormas. Ia menegaskan, tidak ada kegentingan yang memaksa sedikit pun yang menjadi latar belakang lahirnya Perppu ini. Berikut wawancara selengkapnya:
Bagaimana Anda memosisikan Perppu Ormas ini? Kemarin kan sudah masuk sidang pertama, sejauh mana kini perkembangannya?
Sebenarnya tak cukup alasan bagi pemerintah terkait hal ihwal Perppu Ormas ini dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa seperti diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang 1945. Dalam penjabarannya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan kriteria tentang pengertian makna kegentingan yang memaksa itu.
Pertama, yang dimaksud dengan kegentingan memaksa itu adalah pemerintah harus menyelesaikan suatu masalah atau dihadapkan pada suatu masalah yang penyelesaiannya memerlukan tingkat peraturan selevel undang-undang. Kedua, undang-undangnya memang tidak ada, kalaupun ada undang-undangnya, itu tidak memadai untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tertentu, maka dikeluarkanlah Perppu. Ketiga, apabila ingin dibuatkan atau dikeluarkan RUU, itu memerlukan waktu yang panjang.
Setidaknya, itulah yang mendasari dikeluarkannya Perppu. Sebagai contoh pada 2002 lalu, tiba-tiba terjadi Bom Bali. Ini memang posisinya sangat genting. Walaupun pemerintah sudah mengantisipasi hal itu melalui UU Terorisme, tapi belum memadai. Saat itu memang kami sudah mempersiapkan RUU Tindak Pidana Terorisme, tapi kan belum disahkan dan butuh waktu lama untuk itu.
Terjadilah Bom Bali, waktu itu polisi dan jaksa tidak mempunyai UU untuk mengatasi kasus ini. Kalau baca KUHP, di dalamnya hanya mengatur tentang kejahatan pembunuhan biasa. UU bahan peledak tahun 1954 hanya mengatur tentang bahan peledak, sementara terorisme itu lain kasusnya. Karena itu, sangat mendesak kita memang perlu suatu UU.
Akhirnya, saya mengambil inisiatif untuk bertemu Ibu Megawati sebagai presiden kala itu. Beliau mengatakan, kalau kita tidak punya UU Terorisme, sementara ini dalam keadaan mendesak, RUU Tindak Pidana Terorisme ini saja yang kita ubah menjadi Perppu. Maka jadilah sekarang UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
Jadi, kalau dikaitkan dengan contoh ini terkait lahirnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017, saya tidak melihat ada hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sehingga memang tidak perlu ada Perppu Ormas. Kalau dianggap bermasalah, jalannya adalah mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Kalaupun dianggap bermasalah dan tidak memadai UU Nomor 17 Tahun 2013 ini, sebenarnya tidak juga. Sebab, UU ini lebih daripada memadai, bahkan ada 17 pasal yang dipangkas dari UU Nomor 17 Tahun 2013 ini. Alasannya, waktu itu kan Reformasi, jadi check and balances bagi pemerintah sangat penting, supaya tidak terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Nah, kalau memang ada yang dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan, pemerintah bisa saja membubarkan partai politik dan membubarkan ormas. Ini pernah terjadi di zaman dahulu. Akan tetapi, setelah Amandemen UUD 1945, pemerintah baru bisa membubarkan partai dengan putusan MK.
Terkait pembubaran Ormas, dalam UU Ormas itu diatur bahwa pemerintah tidak bisa sewenang-wenang. Pemerintah harus menempuh langkah-langkah persuasif terlebih dulu, seperti penghentian kegiatan sementara. Selanjutnya, Ormas tersebut harus mematuhi apa yang diarahkan oleh pemerintah. Jika tidak dilakukan, pemerintah dapat meminta persetujuan pengadilan untuk membubarkan Ormas yang bersangkutan. Tegasnya, Ormas dapat dibubarkan hanya melalui putusan pengadilan.
Lewat Perppu ini, seolah pemerintah ingin memangkas semua itu. Nah, yang paling krusial dalam pembubaran Ormas dalam UU Ormas itu adalah Pasal 59 ayat (4), di mana organisasi kemasyarakatan dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Jangan sampai Perppu ini dikeluarkan hanya untuk dijadikan tameng dalam memberangus lawan-lawan politik pemerintah.
Terkait Perppu Ormas dan konteksnya sekarang ini bagaimana?
Sekarang ini malah semakin tidak jelas, itu tergantung tafsir pemerintah. Pertama, kalau anggapan pemerintah atau tafsir pemerintah dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 itu dikatakan bahwa Ormas A semisal menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, pemerintah harus sampaikan itu ke pengadilan. Pihak tertuduh dalam hal ini boleh membela diri.
Pertanyaannya, yang dimaksud bertentangan dengan Pancasila itu yang bagaimana? Apa iya tafsiran pemerintah itu sesuai UU Nomor 17 Tahun 2013?
Kalau tafsiran kami, jika ada yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, biarkan persidangan yang memutuskan. Nanti para saksi ahli akan didengar pendapatnya, dan yang memutuskan apakah Ormas ini bertentangan dengan Pancasila atau tidak ya Hakim. Sekarang ini sama sekali tidak, kewenangan pengadilan sama sekali ingin dihilangkan.
Kewenangan pemerintah bagi Ormas yang berbadan hukum itu ada di Menteri Hukum dan HAM. Menteri ini boleh bertanya pada pendapat pakar, bisa juga tidak, dalam pembubaran Ormas.
Kedua, pemerintah ini sudah salah paham tentang asas yang disebut contrarius actus. Asas ini sebenarnya dikenal dalam hukum Romawi, intinya siapa yang mengeluarkan izin berhak mencabutnya. Kalau Menkopolhukam Wiranto mengaitkan Perppu ini dengan izin, analoginya begini, misalnya kita mau mengadakan keramaian pesta kimpoi, biasanya kan jalan ditutup, maka itu kita minta izin sama polisi. Namun jika menimbulkan gangguan, izin akan dicabut oleh polisi. Jadi, izin itu artinya boleh melakukan sesuatu yang dilarang, seperti menutup jalan raya kan dilarang, makanya kita butuh izin.
Nah terkait izin ini, Pak Wiranto agak salah menafsirkan. Kalau dikaitkan dengan Perppu, mendirikan Ormas berbadan hukum itu sama sekali bukan izin, sebab dasarnya ada di Pasal 28 UUD 1945. Di situ dikatakan, kebebasan berserikat berkumpul itu diatur dalam undang-undang. Undang-undang itu pengatur kebebasan. Jadi pada prinsipnya, mendirikan organisasi itu tidak dilarang.
Lalu, apa saja gugatan yang akan diajukan ke MK?
Ada dua hal yang akan kami uji di MK, uji formil dan uji materiil. Uji formil itu artinya prosedur dikeluarkannya Perppu Ormas ini kami anggap tidak terpenuhi kegentingan yang memaksa. Itu hanya hak subjektif Presiden, tapi MK bisa menilai itu secara objektif atau DPR bisa menolak pengesahan Perppu ini. MK juga bisa membatalkan Perppu ini karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Terus aspek materialnya, ada beberapa pasal yang akan kami uji, yaitu Pasal 59 ayat (4) yang kemudian kaitannya dengan Pasal 60, kemudian Pasal 80 A ayat (5), Pasal 80 ayat (2) yang mengatur tentang sanksi pidana.
Bisa dijelaskan, mengapa Perppu ini harus digugat ke MK?
Jadi kalau Ormas itu dianggap menganut, menyebarkan, dan mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, bisa dicabut status badan hukumnya. Itulah yang terjadi pada HTI sekarang. Tidak hanya sampai di situ, bisa juga dikenakan sanksi pidana.
Sanksi pidana ini berlaku tidak hanya pada pengurusnya saja, tapi juga pada anggotanya, baik langsung ataupun tidak langsung. Artinya, siapa saja yang terlibat dalam kegiatan organisasi yang dianggap mengembangkan paham anti-Pancasila, bisa dipenjarakan.
Ini yang saya katakan, Perppu ini sangat berbeda dengan ketentuan yang sama pada zaman dulu. Pembubaran pernah terjadi di zaman Belanda, saat itu Partai Komunis Indonesia dibubarkan, saat itu ketuanya Alimin dan Tan Malaka kabur ke luar negeri.
Begitu juga di Orde Lama, Masyumi dibubarkan tahun 1960, bapak saya (yang tokoh Masyumi) tidak diapa-apakan. Begitu juga para pimpinan dari pusat sampai cabang, tidak ada yang tangkap.
Berarti dampaknya tidak hanya tertuju ke HTI, semua Ormas bisa kena? Apakah MK bisa mengabulkan permohonan Anda dengan alasan tadi?
Mudah-mudahan MK bisa memahami ini. Kemarin baru Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI, red) saja yang mengajukan permohonan penggugatan sebagai perorangan atau sebagai warga negara Indonesia. Alasannya, sebagai warga Negara dia punya hak untuk berkumpul dan mendirikan HTI. Bahwa dia sudah didaftarkan (ke Kemenkumham) setelah itu dibubarkan secara sewenang-wenang, jadi dia bisa mengajukan permohonan gugatan ke MK, soal itu hanya teknis saja.
Kalau bicara dampaknya bagi seluruh Ormas, tentu akan sangat besar. Ormas itu jumlahnya kira-kira lebih 300 ribu. Ada yang sudah terdaftar dan berbadan hukum di Kemenkumham, ada juga Ormas yang tidak berbadan hukum namun terdaftar di Kemendagri.
Belum lagi ada Ormas lokal yang terdaftar di pemerintahan daerah, seperti perkumpulan sepak bola, ini kan tidak mungkin didaftarkan di pusat karena memang tidak perlu didaftarkan di pusat. Sebab, organisasi ini bergerak di kabupaten/kota.
Hal-hal seperti inilah yang kita khawatirkan. Maka kita berupaya menghilangkan pasal-pasal yang (saya sebutkan tadi) multitafsir. Keinginan kita, agar pemerintah objektif dan ada check and balances. Intinya, kalau pemerintah ingin membubarkan Ormas, mestinya ada persetujuan dari pengadilan lebih dulu.
Soal HTI, terkait paham Khilafah yang selama ini dituduhkan anti-Pancasila, menurut Anda apakah memang demikian?
Khilafah itu soal tafsiran. Kalau saya menganggap tafsiran tentang Khilafah itu memang HTI menganggap itu tafsiran yang ideal menurut organisasi mereka. Artinya, di dunia Islam itu idealnya hanya satu dunia Islam dan satu pemerintahan.
Seperti zaman dulu juga pernah ada pan-Islamisme yang implementasinya dilakukan Tjokroaminoto. Khilafah seperti itu di masa lalu juga pernah terjadi di hampir semua kerajaan Islam di Nusantara. Contohnya, dengan penyematan Sultan bagi pemimpin kerajaan mulai dari Aceh sampai di Jawa. Semua ini berkiblat ke Turki, seperti Sultan Jogja dan Sultan Pakubuwono di Solo, mereka itu diberi gelar khalifatullah.
Kalau gelar di Jogja itu kan sayidin panotogomo khalifatul ing jawi yang artinya Abdurrahman penata agama khalifatullah diyamma. Itu gelar yang diberikan oleh Sultan Turki. Lalu, apakah lantas Jogja itu mengikuti Turki, kan tidak.
Jadi, ini lebih merupakan satu simbol organisasi. Seperti dulu juga salah satu tafsiran pernah terjadi di BPUPKI, pada 1945, Dr. Sukirman Sastroamidjojo menafsirkan Khilafah itu ya Presiden Republik Indonesia. Ini soal tafsiran, saya tidak menganggap lantaran dengan tafsiran mereka yang berbeda lalu dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya.
Makanya, saya berpikir lebih baik pemerintah duduk satu meja dengan HTI. Saya diskusi panjang dengan HTI. Saya katakan bahwa tidak semua pikiran HTI tentang Khilafah itu saya setuju. Tapi saya tidak terima kalau HTI dibubarkan secara sewenang-wenang.
Bukan berarti saya membela HTI, dan saya tidak setuju dengan HTI. Advokat itu tidak bisa diidentikkan dengan kliennya. Kalau saya membela perampok atau pembunuh, masa iya saya diidentikkan dengan perampok atau pembunuh.
sumber: http://rilis.id/yusril-ihza-mahendra...ppu-ormas.html
YUSRIL IHZA MAHENDRA, tokoh yang paling getol menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (Ormas). Baginya, tak ada situasi mendesak yang mengharuskan pemerintah untuk mengeluarkan Perppu. Yusril pun tak segan berhadapan dengan pemerintah. Meja hijau jadi media, Yusril akan membawa gugatan Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi.
Yusril adalah praktisi hukum berpengalaman. Persinggungannya dengan pemerintah bukanlah hal baru. Bahkan beberapa kali ia mengajukan gugatan ke MK untuk berhadapan dengan pemerintah. Gugatan itu selalu berbuah kemenangan.
Di antara banyak gugatan yang pernah dimenangkannya, salah satunya, gugatan atas pengangkatan wakil menteri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kala itu. Putusan MK akhirnya memaksa Presiden SBY mengubah dan memperbarui Perpres dan Keppres terkait pengangkatan para wakil menteri.
Rilis.id mendapat kesempatan mewawancarai langsung Yusril terkait Perppu Ormas. Ia menegaskan, tidak ada kegentingan yang memaksa sedikit pun yang menjadi latar belakang lahirnya Perppu ini. Berikut wawancara selengkapnya:
Bagaimana Anda memosisikan Perppu Ormas ini? Kemarin kan sudah masuk sidang pertama, sejauh mana kini perkembangannya?
Sebenarnya tak cukup alasan bagi pemerintah terkait hal ihwal Perppu Ormas ini dikatakan sebagai kegentingan yang memaksa seperti diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang 1945. Dalam penjabarannya, Mahkamah Konstitusi sudah memberikan kriteria tentang pengertian makna kegentingan yang memaksa itu.
Pertama, yang dimaksud dengan kegentingan memaksa itu adalah pemerintah harus menyelesaikan suatu masalah atau dihadapkan pada suatu masalah yang penyelesaiannya memerlukan tingkat peraturan selevel undang-undang. Kedua, undang-undangnya memang tidak ada, kalaupun ada undang-undangnya, itu tidak memadai untuk menyelesaikan sebuah permasalahan tertentu, maka dikeluarkanlah Perppu. Ketiga, apabila ingin dibuatkan atau dikeluarkan RUU, itu memerlukan waktu yang panjang.
Setidaknya, itulah yang mendasari dikeluarkannya Perppu. Sebagai contoh pada 2002 lalu, tiba-tiba terjadi Bom Bali. Ini memang posisinya sangat genting. Walaupun pemerintah sudah mengantisipasi hal itu melalui UU Terorisme, tapi belum memadai. Saat itu memang kami sudah mempersiapkan RUU Tindak Pidana Terorisme, tapi kan belum disahkan dan butuh waktu lama untuk itu.
Terjadilah Bom Bali, waktu itu polisi dan jaksa tidak mempunyai UU untuk mengatasi kasus ini. Kalau baca KUHP, di dalamnya hanya mengatur tentang kejahatan pembunuhan biasa. UU bahan peledak tahun 1954 hanya mengatur tentang bahan peledak, sementara terorisme itu lain kasusnya. Karena itu, sangat mendesak kita memang perlu suatu UU.
Akhirnya, saya mengambil inisiatif untuk bertemu Ibu Megawati sebagai presiden kala itu. Beliau mengatakan, kalau kita tidak punya UU Terorisme, sementara ini dalam keadaan mendesak, RUU Tindak Pidana Terorisme ini saja yang kita ubah menjadi Perppu. Maka jadilah sekarang UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
Jadi, kalau dikaitkan dengan contoh ini terkait lahirnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017, saya tidak melihat ada hal ihwal kegentingan yang memaksa. Sehingga memang tidak perlu ada Perppu Ormas. Kalau dianggap bermasalah, jalannya adalah mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Kalaupun dianggap bermasalah dan tidak memadai UU Nomor 17 Tahun 2013 ini, sebenarnya tidak juga. Sebab, UU ini lebih daripada memadai, bahkan ada 17 pasal yang dipangkas dari UU Nomor 17 Tahun 2013 ini. Alasannya, waktu itu kan Reformasi, jadi check and balances bagi pemerintah sangat penting, supaya tidak terjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.
Nah, kalau memang ada yang dianggap melakukan penyalahgunaan kekuasaan, pemerintah bisa saja membubarkan partai politik dan membubarkan ormas. Ini pernah terjadi di zaman dahulu. Akan tetapi, setelah Amandemen UUD 1945, pemerintah baru bisa membubarkan partai dengan putusan MK.
Terkait pembubaran Ormas, dalam UU Ormas itu diatur bahwa pemerintah tidak bisa sewenang-wenang. Pemerintah harus menempuh langkah-langkah persuasif terlebih dulu, seperti penghentian kegiatan sementara. Selanjutnya, Ormas tersebut harus mematuhi apa yang diarahkan oleh pemerintah. Jika tidak dilakukan, pemerintah dapat meminta persetujuan pengadilan untuk membubarkan Ormas yang bersangkutan. Tegasnya, Ormas dapat dibubarkan hanya melalui putusan pengadilan.
Lewat Perppu ini, seolah pemerintah ingin memangkas semua itu. Nah, yang paling krusial dalam pembubaran Ormas dalam UU Ormas itu adalah Pasal 59 ayat (4), di mana organisasi kemasyarakatan dilarang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila. Jangan sampai Perppu ini dikeluarkan hanya untuk dijadikan tameng dalam memberangus lawan-lawan politik pemerintah.
Terkait Perppu Ormas dan konteksnya sekarang ini bagaimana?
Sekarang ini malah semakin tidak jelas, itu tergantung tafsir pemerintah. Pertama, kalau anggapan pemerintah atau tafsir pemerintah dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 itu dikatakan bahwa Ormas A semisal menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, pemerintah harus sampaikan itu ke pengadilan. Pihak tertuduh dalam hal ini boleh membela diri.
Pertanyaannya, yang dimaksud bertentangan dengan Pancasila itu yang bagaimana? Apa iya tafsiran pemerintah itu sesuai UU Nomor 17 Tahun 2013?
Kalau tafsiran kami, jika ada yang dianggap bertentangan dengan Pancasila, biarkan persidangan yang memutuskan. Nanti para saksi ahli akan didengar pendapatnya, dan yang memutuskan apakah Ormas ini bertentangan dengan Pancasila atau tidak ya Hakim. Sekarang ini sama sekali tidak, kewenangan pengadilan sama sekali ingin dihilangkan.
Kewenangan pemerintah bagi Ormas yang berbadan hukum itu ada di Menteri Hukum dan HAM. Menteri ini boleh bertanya pada pendapat pakar, bisa juga tidak, dalam pembubaran Ormas.
Kedua, pemerintah ini sudah salah paham tentang asas yang disebut contrarius actus. Asas ini sebenarnya dikenal dalam hukum Romawi, intinya siapa yang mengeluarkan izin berhak mencabutnya. Kalau Menkopolhukam Wiranto mengaitkan Perppu ini dengan izin, analoginya begini, misalnya kita mau mengadakan keramaian pesta kimpoi, biasanya kan jalan ditutup, maka itu kita minta izin sama polisi. Namun jika menimbulkan gangguan, izin akan dicabut oleh polisi. Jadi, izin itu artinya boleh melakukan sesuatu yang dilarang, seperti menutup jalan raya kan dilarang, makanya kita butuh izin.
Nah terkait izin ini, Pak Wiranto agak salah menafsirkan. Kalau dikaitkan dengan Perppu, mendirikan Ormas berbadan hukum itu sama sekali bukan izin, sebab dasarnya ada di Pasal 28 UUD 1945. Di situ dikatakan, kebebasan berserikat berkumpul itu diatur dalam undang-undang. Undang-undang itu pengatur kebebasan. Jadi pada prinsipnya, mendirikan organisasi itu tidak dilarang.
Lalu, apa saja gugatan yang akan diajukan ke MK?
Ada dua hal yang akan kami uji di MK, uji formil dan uji materiil. Uji formil itu artinya prosedur dikeluarkannya Perppu Ormas ini kami anggap tidak terpenuhi kegentingan yang memaksa. Itu hanya hak subjektif Presiden, tapi MK bisa menilai itu secara objektif atau DPR bisa menolak pengesahan Perppu ini. MK juga bisa membatalkan Perppu ini karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Terus aspek materialnya, ada beberapa pasal yang akan kami uji, yaitu Pasal 59 ayat (4) yang kemudian kaitannya dengan Pasal 60, kemudian Pasal 80 A ayat (5), Pasal 80 ayat (2) yang mengatur tentang sanksi pidana.
Bisa dijelaskan, mengapa Perppu ini harus digugat ke MK?
Jadi kalau Ormas itu dianggap menganut, menyebarkan, dan mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, bisa dicabut status badan hukumnya. Itulah yang terjadi pada HTI sekarang. Tidak hanya sampai di situ, bisa juga dikenakan sanksi pidana.
Sanksi pidana ini berlaku tidak hanya pada pengurusnya saja, tapi juga pada anggotanya, baik langsung ataupun tidak langsung. Artinya, siapa saja yang terlibat dalam kegiatan organisasi yang dianggap mengembangkan paham anti-Pancasila, bisa dipenjarakan.
Ini yang saya katakan, Perppu ini sangat berbeda dengan ketentuan yang sama pada zaman dulu. Pembubaran pernah terjadi di zaman Belanda, saat itu Partai Komunis Indonesia dibubarkan, saat itu ketuanya Alimin dan Tan Malaka kabur ke luar negeri.
Begitu juga di Orde Lama, Masyumi dibubarkan tahun 1960, bapak saya (yang tokoh Masyumi) tidak diapa-apakan. Begitu juga para pimpinan dari pusat sampai cabang, tidak ada yang tangkap.
Berarti dampaknya tidak hanya tertuju ke HTI, semua Ormas bisa kena? Apakah MK bisa mengabulkan permohonan Anda dengan alasan tadi?
Mudah-mudahan MK bisa memahami ini. Kemarin baru Ismail Yusanto (Juru Bicara HTI, red) saja yang mengajukan permohonan penggugatan sebagai perorangan atau sebagai warga negara Indonesia. Alasannya, sebagai warga Negara dia punya hak untuk berkumpul dan mendirikan HTI. Bahwa dia sudah didaftarkan (ke Kemenkumham) setelah itu dibubarkan secara sewenang-wenang, jadi dia bisa mengajukan permohonan gugatan ke MK, soal itu hanya teknis saja.
Kalau bicara dampaknya bagi seluruh Ormas, tentu akan sangat besar. Ormas itu jumlahnya kira-kira lebih 300 ribu. Ada yang sudah terdaftar dan berbadan hukum di Kemenkumham, ada juga Ormas yang tidak berbadan hukum namun terdaftar di Kemendagri.
Belum lagi ada Ormas lokal yang terdaftar di pemerintahan daerah, seperti perkumpulan sepak bola, ini kan tidak mungkin didaftarkan di pusat karena memang tidak perlu didaftarkan di pusat. Sebab, organisasi ini bergerak di kabupaten/kota.
Hal-hal seperti inilah yang kita khawatirkan. Maka kita berupaya menghilangkan pasal-pasal yang (saya sebutkan tadi) multitafsir. Keinginan kita, agar pemerintah objektif dan ada check and balances. Intinya, kalau pemerintah ingin membubarkan Ormas, mestinya ada persetujuan dari pengadilan lebih dulu.
Soal HTI, terkait paham Khilafah yang selama ini dituduhkan anti-Pancasila, menurut Anda apakah memang demikian?
Khilafah itu soal tafsiran. Kalau saya menganggap tafsiran tentang Khilafah itu memang HTI menganggap itu tafsiran yang ideal menurut organisasi mereka. Artinya, di dunia Islam itu idealnya hanya satu dunia Islam dan satu pemerintahan.
Seperti zaman dulu juga pernah ada pan-Islamisme yang implementasinya dilakukan Tjokroaminoto. Khilafah seperti itu di masa lalu juga pernah terjadi di hampir semua kerajaan Islam di Nusantara. Contohnya, dengan penyematan Sultan bagi pemimpin kerajaan mulai dari Aceh sampai di Jawa. Semua ini berkiblat ke Turki, seperti Sultan Jogja dan Sultan Pakubuwono di Solo, mereka itu diberi gelar khalifatullah.
Kalau gelar di Jogja itu kan sayidin panotogomo khalifatul ing jawi yang artinya Abdurrahman penata agama khalifatullah diyamma. Itu gelar yang diberikan oleh Sultan Turki. Lalu, apakah lantas Jogja itu mengikuti Turki, kan tidak.
Jadi, ini lebih merupakan satu simbol organisasi. Seperti dulu juga salah satu tafsiran pernah terjadi di BPUPKI, pada 1945, Dr. Sukirman Sastroamidjojo menafsirkan Khilafah itu ya Presiden Republik Indonesia. Ini soal tafsiran, saya tidak menganggap lantaran dengan tafsiran mereka yang berbeda lalu dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya.
Makanya, saya berpikir lebih baik pemerintah duduk satu meja dengan HTI. Saya diskusi panjang dengan HTI. Saya katakan bahwa tidak semua pikiran HTI tentang Khilafah itu saya setuju. Tapi saya tidak terima kalau HTI dibubarkan secara sewenang-wenang.
Bukan berarti saya membela HTI, dan saya tidak setuju dengan HTI. Advokat itu tidak bisa diidentikkan dengan kliennya. Kalau saya membela perampok atau pembunuh, masa iya saya diidentikkan dengan perampok atau pembunuh.
sumber: http://rilis.id/yusril-ihza-mahendra...ppu-ormas.html
0
1.9K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan