- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Aturan Sanksi Penjara dalam Perppu Ormas Bisa Jerat Para Pengikut HTI


TS
aghilfath
Aturan Sanksi Penjara dalam Perppu Ormas Bisa Jerat Para Pengikut HTI
Spoiler for Aturan Sanksi Penjara dalam Perppu Ormas Bisa Jerat Para Pengikut HTI:

Quote:
DEPOK, KOMPAS.com - Mantan Anggota Pansus Rancangan Undang-Undang Ormas, Indra, mengecam sanksi pidana yang terdapat pada Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Hal tersebut disampaikan Indra pada acara diskusi publik bertema "Pro dan Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Sanksi yang dia kecam yakni yang terdapat pada Pasal 82A ayat 2 perppu tersebut. Pada pasal tersebut disebutkan "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 3 huruf a dan b, dan ayat 4 dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun".
Dengan kalimat "setiap orang" pada pasal tersebut, dia berpendapat pada kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maka setiap anggota kelompok itu terancam pidana.
"Jadi semua anggota HTI berdasarkan perppu ini bisa terancam dengan pidana seumur hidup," kata Indra.
Dengan kalimat "setiap orang" di sini, lanjut dia, anggota HTI baik yang baru ikut, anak-anak, dewasa, sampai dedengkot akan terjerat pidana. Padahal, dia mengatakan belum tentu semua anggota HTI bersalah.
"Istri (anggota HTI) yang selama ini dia taunya menjadi istri yang baik di rumah, (karena sanksi perppu ini) dia terancam pidana seumur hidup," ujar Indra.
Karenanya dia mengecam sanksi pidana pada perppu ini.
"Saya mengistilahkan ini norma serampangan, tidak fair. Orang yang tidak melakukan sebuah tindakan, sesuatu yang melanggar, dia akan kena (pidana)," ujar Indra.
"Saya membayangkan besok-besok ini seperti pedang yang terhunus, apakah digunakan (kepada) HTI nanti atau tidak. Secara kewenangan yuridis, dibenarkan karena perppu-nya (sudah) sah," ujar Indra.
Menurut dia, ancaman sanksi pada pasal ini bisa mengancam ormas lain, meskipun ormas itu sejalan idelogi negara atau Pancasila. Misalkan, suatu kelompok ormas melakukan tindakan kekerasan.
Dengan kalimat 'setiap orang', maka anggota ormas itu yang tidak terlibat dalam kasus kekerasannya, juga bisa turut dipidana.
"Itu menurut saya luar biasa. Dan efeknya orang jadi ngeri masuk ormas," ujar Indra.
Hadir dalam diskusi ini Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FH UI Fitra Arsil dan Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berhalangan hadir dalam acara tersebut.
Hal tersebut disampaikan Indra pada acara diskusi publik bertema "Pro dan Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Sanksi yang dia kecam yakni yang terdapat pada Pasal 82A ayat 2 perppu tersebut. Pada pasal tersebut disebutkan "setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus ormas yang dengan sengaja secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 3 huruf a dan b, dan ayat 4 dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 20 tahun".
Dengan kalimat "setiap orang" pada pasal tersebut, dia berpendapat pada kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) maka setiap anggota kelompok itu terancam pidana.
"Jadi semua anggota HTI berdasarkan perppu ini bisa terancam dengan pidana seumur hidup," kata Indra.
Dengan kalimat "setiap orang" di sini, lanjut dia, anggota HTI baik yang baru ikut, anak-anak, dewasa, sampai dedengkot akan terjerat pidana. Padahal, dia mengatakan belum tentu semua anggota HTI bersalah.
"Istri (anggota HTI) yang selama ini dia taunya menjadi istri yang baik di rumah, (karena sanksi perppu ini) dia terancam pidana seumur hidup," ujar Indra.
Karenanya dia mengecam sanksi pidana pada perppu ini.
"Saya mengistilahkan ini norma serampangan, tidak fair. Orang yang tidak melakukan sebuah tindakan, sesuatu yang melanggar, dia akan kena (pidana)," ujar Indra.
"Saya membayangkan besok-besok ini seperti pedang yang terhunus, apakah digunakan (kepada) HTI nanti atau tidak. Secara kewenangan yuridis, dibenarkan karena perppu-nya (sudah) sah," ujar Indra.
Menurut dia, ancaman sanksi pada pasal ini bisa mengancam ormas lain, meskipun ormas itu sejalan idelogi negara atau Pancasila. Misalkan, suatu kelompok ormas melakukan tindakan kekerasan.
Dengan kalimat 'setiap orang', maka anggota ormas itu yang tidak terlibat dalam kasus kekerasannya, juga bisa turut dipidana.
"Itu menurut saya luar biasa. Dan efeknya orang jadi ngeri masuk ormas," ujar Indra.
Hadir dalam diskusi ini Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FH UI Fitra Arsil dan Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim. Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berhalangan hadir dalam acara tersebut.
Quote:
Istana: Penerapan Sanksi Pidana Perppu Ormas Tak Akan Serampangan
DEPOK, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengatakan, sanksi pidana dalam Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat tidak seseram yang dibayangkan orang.
Ifdhal mengatakan, penerapan sanksi pidana dalam perppu ini tentu tidak secara serampangan dilakukan.
"Tentu ada langkah-langkah yang objektif yang dilakukan, karena itu tidak serta merta harus diambil sanksi pidananya," kata Ifdhal.
Hal tersebut disampaikan Ifdhal usai diskusi publik bertema "Pro dan Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Sanksi pidana pada perppu ini, lanjut dia, prinsipnya ultimum remedium. Artinya, kata Ifdhal, sanksi pidana merupakan jalan terakhir ketika sanksi administratif tidak efektif.
"Jadi kalau sarana administratifnya berjalan, dipatuhi dan dilakukan, tidak perlu menggunakan sanksi pidana," ujar Ifdhal.
Jadi, supaya sanksi administratif ini bisa bekerja, perlu ada ancaman sanksi pidana. Namun, dia menegaskan, sanksi pidana ini tidak akan digunakan sebelum sanksi administratifnya bekerja dulu.
Sebagai contoh, suatu organisasi dicabut badan hukumnya atau dibatalkan karena melakukan penyebarluasan ajaran yang bertentang dengan Pancasila.
Jika orang atau pengikut organisasi tersebut setelah adanya pencabutan organisasinya tidak melakukan perbuatan yang sama alias pasif, maka tidak terkena pidananya.
Namun, jika melakukan lagi dan ada unsur kesengajaan, dia bisa dipidana.
"Sepanjang dia tidak melakukan aktivitas, jadi orang pasif, enggak ada masalah. Misalnya, saya terdaftar anggota, setelah pelarangan ini saya pasif aja, enggak ada masalah. Kecuali dia melakukan penyebarluasan," ujar Ifdhal.
Dia menampik perppu ini sebagai tindakan otoriter. Karena, kata Ifdhal, tidak ada pelibatan langsung dari kekuasaan tertinggi negara.
"Ini kan hanya tindakan pejabat tata usaha, untuk mengawasi dan mengambil tindakan dari pengawasannya itu terhadap izin yang dia berikan, asas contrario actus itu," ujar Ifdhal.
DEPOK, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengatakan, sanksi pidana dalam Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat tidak seseram yang dibayangkan orang.
Ifdhal mengatakan, penerapan sanksi pidana dalam perppu ini tentu tidak secara serampangan dilakukan.
"Tentu ada langkah-langkah yang objektif yang dilakukan, karena itu tidak serta merta harus diambil sanksi pidananya," kata Ifdhal.
Hal tersebut disampaikan Ifdhal usai diskusi publik bertema "Pro dan Kontra Perppu No 2 Tahun 2017 dalam Tinjauan Hukum Tata Negara" di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Jumat (21/7/2017).
Sanksi pidana pada perppu ini, lanjut dia, prinsipnya ultimum remedium. Artinya, kata Ifdhal, sanksi pidana merupakan jalan terakhir ketika sanksi administratif tidak efektif.
"Jadi kalau sarana administratifnya berjalan, dipatuhi dan dilakukan, tidak perlu menggunakan sanksi pidana," ujar Ifdhal.
Jadi, supaya sanksi administratif ini bisa bekerja, perlu ada ancaman sanksi pidana. Namun, dia menegaskan, sanksi pidana ini tidak akan digunakan sebelum sanksi administratifnya bekerja dulu.
Sebagai contoh, suatu organisasi dicabut badan hukumnya atau dibatalkan karena melakukan penyebarluasan ajaran yang bertentang dengan Pancasila.
Jika orang atau pengikut organisasi tersebut setelah adanya pencabutan organisasinya tidak melakukan perbuatan yang sama alias pasif, maka tidak terkena pidananya.
Namun, jika melakukan lagi dan ada unsur kesengajaan, dia bisa dipidana.
"Sepanjang dia tidak melakukan aktivitas, jadi orang pasif, enggak ada masalah. Misalnya, saya terdaftar anggota, setelah pelarangan ini saya pasif aja, enggak ada masalah. Kecuali dia melakukan penyebarluasan," ujar Ifdhal.
Dia menampik perppu ini sebagai tindakan otoriter. Karena, kata Ifdhal, tidak ada pelibatan langsung dari kekuasaan tertinggi negara.
"Ini kan hanya tindakan pejabat tata usaha, untuk mengawasi dan mengambil tindakan dari pengawasannya itu terhadap izin yang dia berikan, asas contrario actus itu," ujar Ifdhal.
kompas
Sudah ada yg paranoid, emang seperti Tap MPRS No. 25 Tahun 1966 yg begitu masive menghabisi PKI sampai ke anak keturunannya, Dilihat aja kedepannya kek apa implementasi Perppu

Diubah oleh aghilfath 22-07-2017 07:38
0
1.9K
Kutip
26
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan