- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
CERMIS REAL STORY; “Hantu Api Kemamang”


TS
jimmyjun
CERMIS REAL STORY; “Hantu Api Kemamang”

Hantu Kemamangsangat asing di telinga masyarakat Milenial jaman sekarang. Salah satu jenis hantu api ini pada jaman dahulu sangat sering menampakkan diri di lingkungan masyarakat, dipercaya hantu ini menghuni kebun, persawahan dan rawa-rawa. Bahkan kedatangan hantu ini dianggap sebagai sebuah pertanda akan adanya suatu musibah atau malapetaka. Hal yang harus diperhatikan jika bersinggungan dengan hantu ini adalah jangan sekali-kali kita memperhatikannya, karena Kemamang justru akan nampak semakin membesar.
Spoiler for Kemamang:
Kemamangadalah salah satu perwujudan makhluk gaib yang identik dengan nyala api yang melayang di udara. Biasanya penampakan hantu ini terlihat melayang dari kejauhan dan mendekati seseorang atau menyelinap dari satu pohon ke pohon lain, hantu ini sejenis Banaspati yang terkenal di daerah Jawa Tengah. Ada persamaan antara Banaspati dan Kemamang; kedua makhluk misterius tersebut sama-sama mengeluarkan kobaran api ketika menampakkan dirinya. Entah apa tujuan makhluk tersebut yang jelas masyarakat sangat takut jika melihat hantu berwujud bola api ini. Jika cerita Banaspati mengisahkan tentang wujud lain dari penampakan bola api, namun Kemamang sedikit lebih santun. Belum pernah ada yang mengaku mengalami kebakaran maupun terluka karena ulah dari makhluk misterius ini.
Reference: Kemamang
Reference: Kemamang
Spoiler for Desa Kemamang:
Kemamangjuga merupakan sebuah legenda asal usul sebuah desa di Bojonegoro Jawa Timur, namanya Desa Kemamang; Diceritakan ada sebuah daerah pedesaan yang subur, ditumbuhi pohon dan semak yang hijau dan lebat. Hiduplah sekelompok masyarakat rukun dan damai meskipun sederhana, orang menyebutnya Desa Siti Rejo. Desa Siti Rejo merupakan pemekaran dari Desa Suwaloh dan sampai saat ini letaknya berada di sebelah utara Desa Siti Rejo.
Desa Siti Rejo lama-kelamaan menjadi ramai dengan adanya pendatang yang ingin menetap dan tinggal di desa itu. Tak kalah lagi, Desa Siti Rejo sudah terkenal dikalangan penduduk atau desa sekitarnya, bahkan terdengar sampai keluar kota/kabupaten. Konon desa ini dihuni oleh sebangsa makhluk halus yang menyerupai anak kecil yang sedang mencari kepiting dan katak di malam hari, anehnya dari kepala anak ini keluar api yang menyala-nyala bagaikan obor. Makhluk ini menampakkan diri pada malam hari di sebelah selatan desa (sekitar lokasi tanah Bengkok Kepala Desa)*.
[Tanah Bengkok; dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan milik desa. Tanah Bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak mengelola].
Banyak orang yang penasaran atas cerita ini, sehingga tidak sedikit orang ingin membuktikannya. Karena kegemparan cerita ini, beritanya terdengar sampai ke telinga pejabat. Tak hayal lagi, para pejabat pada saat itu ingin membuktikannya dengan disertai para para punggawa. Waktu menyaksikan sudah tiba, setelah habis maghrib menjelang tengah malam rombongan sudah tak sabar lagi terjun ke sawah. Mereka melihat sendiri, beberapa anak kecil di ubun-ubun kepalanya keluar apinya bagaikan obor sedang mencari makanan. Para punggawa yang tidak percaya dengan pemandangan ini, merasa terancam dan takut atas kejadian yang dilihatnya, akhirnya dilepaskan tembakan mengarah ke makhluk itu, anehnya bukan malah hilang atau mati tetapi sebaliknya, makhluk (janggitan) itu berubah menjadi banyak sehingga memenuhi satu petak sawah. Tidak percaya dengan kejadian yang dilihatnya setelah tembakan yang pertama, punggawa merasa tidak puas, sehingga dilepaskan tembakan ke dua. Punggawa terperanjat karena janggitan yang memenuhi satu petak sawah bertambah menjadi banyak sekali dan tak terhitung. Akhirnya di hamparan sawah yang gelap berubah menjadi terang oleh cahaya janggitan itu.
Setelah kejadian itu Desa Siti Rejo makin termasyur. Namun bukan Siti Rejo-nya, tetapi kata Janggitan (Kemamang) yang identik dengan makhluk halus (hantu). Kepopuleran Kemamang menenggelamkan nama Desa Siti Rejo, oleh para pejabat pada saat itu, Desa Siti Rejo diganti dengan nama Desa Kemamang. Adapun yang menjadi Kepala Desa pertama adalah Karyo Yudo (sebelum 1927).
Reference: Desa Kemamang
Desa Siti Rejo lama-kelamaan menjadi ramai dengan adanya pendatang yang ingin menetap dan tinggal di desa itu. Tak kalah lagi, Desa Siti Rejo sudah terkenal dikalangan penduduk atau desa sekitarnya, bahkan terdengar sampai keluar kota/kabupaten. Konon desa ini dihuni oleh sebangsa makhluk halus yang menyerupai anak kecil yang sedang mencari kepiting dan katak di malam hari, anehnya dari kepala anak ini keluar api yang menyala-nyala bagaikan obor. Makhluk ini menampakkan diri pada malam hari di sebelah selatan desa (sekitar lokasi tanah Bengkok Kepala Desa)*.
[Tanah Bengkok; dalam sistem agraria di Pulau Jawa adalah lahan garapan milik desa. Tanah Bengkok tidak dapat diperjualbelikan tanpa persetujuan seluruh warga desa, namun boleh disewakan oleh mereka yang diberi hak mengelola].
Banyak orang yang penasaran atas cerita ini, sehingga tidak sedikit orang ingin membuktikannya. Karena kegemparan cerita ini, beritanya terdengar sampai ke telinga pejabat. Tak hayal lagi, para pejabat pada saat itu ingin membuktikannya dengan disertai para para punggawa. Waktu menyaksikan sudah tiba, setelah habis maghrib menjelang tengah malam rombongan sudah tak sabar lagi terjun ke sawah. Mereka melihat sendiri, beberapa anak kecil di ubun-ubun kepalanya keluar apinya bagaikan obor sedang mencari makanan. Para punggawa yang tidak percaya dengan pemandangan ini, merasa terancam dan takut atas kejadian yang dilihatnya, akhirnya dilepaskan tembakan mengarah ke makhluk itu, anehnya bukan malah hilang atau mati tetapi sebaliknya, makhluk (janggitan) itu berubah menjadi banyak sehingga memenuhi satu petak sawah. Tidak percaya dengan kejadian yang dilihatnya setelah tembakan yang pertama, punggawa merasa tidak puas, sehingga dilepaskan tembakan ke dua. Punggawa terperanjat karena janggitan yang memenuhi satu petak sawah bertambah menjadi banyak sekali dan tak terhitung. Akhirnya di hamparan sawah yang gelap berubah menjadi terang oleh cahaya janggitan itu.
Setelah kejadian itu Desa Siti Rejo makin termasyur. Namun bukan Siti Rejo-nya, tetapi kata Janggitan (Kemamang) yang identik dengan makhluk halus (hantu). Kepopuleran Kemamang menenggelamkan nama Desa Siti Rejo, oleh para pejabat pada saat itu, Desa Siti Rejo diganti dengan nama Desa Kemamang. Adapun yang menjadi Kepala Desa pertama adalah Karyo Yudo (sebelum 1927).
Reference: Desa Kemamang
Spoiler for Side Story:
Pengalaman pertama saya bertemu dengan Kemamangterjadi sekitar tahun 2003, ketika itu saya masih duduk dibangku SMP kelas dua (istilah sekarang; kelas XI). Saya tinggal di sebuah desa kecil di pinggiran Kota Jepara, Jawa Tengah. Sebagai orang desa, hal mistis dan bertemu dengan makhluk gaib merupakan hal yang lumrah, tapi sangat ditakuti oleh kebanyakan orang, apalagi saya yang masih anak-anak. Tak akan kebayang bagaimana rasanya bertemu dengan makhluk gaib, bahasa kasarnya orang menyebut dengan istilah Setan, walaupun istilah antara Makhluk Gaib dan Setan (Hantu) serta Jin itu sangat rancu penggunaannya.
Anak-anak pedesaan dalam hal mengenyam pendidikan dibangku sekolah sangat luar biasa menurut saya, dalam keterbatasan fasilitas saja mereka tetap semangat belajar (dulu bagunan sekolah dasar saya hampir roboh dan atapnya dikasih tiang penyangga bantuan dari bambu, bahkan kalau ada angin kencang semua siswa dikomando untuk keluar ruangan semua. Pada akhirnya sekolah ini benar-benar roboh di musim penghujan, untungnya robohnya itu di malam hari saat tidak ada kegiatan belajar mengajar), hari-harinya dipenuhi dengan belajar dan belajar, bukan hanya wajib belajar sembilan tahun di sekolah-sekolah formal. Di pagi hari mereka belajar di sekolah-sekolah formal, di siang hari setelah sekolah, mereka pergi belajar ilmu agama di madrasah sampai sore, dan pada malamnya setelah Maghrib mereka belajar mengaji, bahkan kegiatan mengaji kadang dilakukan setelah shalat Subuh.
Waktu itu saya kelas dua SMP dan kelas enam di Madrasah Dinniyah (setingkat dengan SD). Nah, karena saya kelas enam Madrasah Dinniyah (Madin), sebagai syarat kelulusan akan diadakan ujian kelulusan Madin serentak di Kabupaten Jepara (setara Ujian Nasioanal). Untuk men-sukses-kan ujian tersebut, wali kelas Madin saya mengadakan kegiatan belajar tambahan pada malam hari setelah shalat Isya’ di sekolah.
Bangunan madrasah saya ini terletak di tengah desa, bangunan berbentuk letter U ini tanpa penjaga di malam hari dan hanya ada satu lantai tanpa penerangan di malam hari; di depan merupakan halaman yang sangat luas serta banyak ditumbuhi pohon mangga yang besar, di samping kanan dan kiri merupakan kebun kosong milik warga dan di belakang madrasah adalah kebun kosong yang tak jauh dari kuburan (pemakaman). Jarak antara rumah warga lumayan jauh, karena dalam mendirikan bangunan hunian, biasanya warga mempunyai halaman luas di depan dan kebun di belakang atau samping. Kuburan (pemakaman) di desa sangat unik, karena biasanya pemakaman terletak di sekitar bahkan di dalam hutan bambu, jadi hampir semua kuburan yang ditemui pasti ada hutan bambunya. Hutan bambu itu sangat menyeramkan, pada siang hari yang terik saja saat kamu berada di dalam hutan bambu keadaannya terlihat gelap, karena sinar matahari terhalang oleh dedaunan bambu dan kamu seolah berjalan didalam sebuah gua yang banyak lorong bercabangnya, coba bayangkan seperti apa keadaannya jika malam hari.
Pada malam itu saya lupa hari apa, kami sepakat berkumpul di salah satu rumah teman untuk berangkat ke madrasah bersama-sama. Jumlah siswa tidak cukup banyak karena hanya terdiri dari satu kelas saja, sekitar dua puluhan siswa. Saat kita sudah di madrasah, kita mendapati kelas dalam keadaan gelap, itu artinya wali kelas belum datang, dan hanya beliau yang memegang kunci kelas. Kita sepakat untuk menunggu di depan rumah warga di sebelah kiri madrasah, alasan kita menunggu di rumah warga adalah karena kita takut kalau menunggu di madrasah, bangunan ini banyak sekali kejadian mistisnya, itu yang kita takutkan. Antara rumah ini dan madrasah di pisahkan oleh kebun, terlihat gelap kalau malam karena minim penerangan. Rumah ini sudah sepi dan semua pintu ditutup semua, karena penghuninya hanya kakek nenek yang sudah renta. Kita tidak menunggu tepat di depan rumah nenek ini, tapi di depan tengah kebun (antara rumah dan madrasah). Takut mengganggu kalau nongkrong di depan rumah nenek, maklum anak muda suka becanda kelewatan dan suka berisik.
Kita hanya tujuh orang jumlahnya dan semua adalah cowok, dengan memakai sarung, peci dan sandal jepit serta buku yang ditenteng kita berdiri mengobrol sambil menunggu guru datang. Karena kita dari blok Wetan (Timur) dan yang blok Kulon (Barat) tidak tahu menunggu di sebelah mana. Saat asik ngobrol dan becanda, saya melihat kearah kebun belakang antara madrasah dan rumah nenek ini. Keadaannya sangat gelap, entah kenapa hanya saya saja yang melihat. Dari jarak kurang dari 10 meter saya lihat ada secercah cahaya jingga seperti bara api, hanya sebesar biji buah Kelengkeng saja nampaknya. Saya kira orang yang buang hajat sambil merokok (dalam lingkungan desa dulu, bagi warga yang tidak mempunyai WC/kakus biasanya buang hajat dilaksanakkan di kebun), keadaannya saat itu sangat gelap, bahkan saya tidak bisa memelihat letak pohon di kebun itu.
Awalnya saya acuh, karena buat apa mengusik orang buang hajat. Saat saya memberi tahu salah satu teman saya, bahwa ada orang yang buang hajat di kebun dan hanya nampak bara api rokoknya saja, serentak semua teman saya melihat ke arah yang saya tunjukkan. Dan kita menerka-nerka siapa yang buang hajat di sana, soalnya agak kebelakang lagi dari kebun itu adalah kuburan dan orang yang buang hajat tanpa penerangan itu termasuk orang yang sangat berani, bukan takut karena gelap, setidaknya takut kalau digigit ular.
Saat kita saling menerka dan adu jawaban, tiba-tiba bara api itu bertambah semakin banyak, seperti berlipat ganda dan melayang berputar-putar. Sampai pada peristiwa ini pun kita masih menerka, mungkin itu bara api dari sampah dedaunan yang dibakar di sore hari. Tapi spekulasi kita masih mentok, jika itu bara api dari sampah kenapa tidak nampak asapnya, dan mana mungkin bara api itu bisa berputar seharusnya melayang ke atas. Ketinggian kumpulan bara api itu pun tak realistis kalau dihubungkan dengan sampah daun yang dibakar, karena terlalu tinggi untuk ukuran sampah daun yang di tumpuk.
Jumlah bara api itu pun semakin banyak dan banyak dan terus berputar, kita dibuat bingung dan kaget dengan peristiwa itu, sampai akhirnya kumpulan bara api itu berputar sangat cepat dan bles....... muncullah seukuran bola api yang berkobar-kobar, seketika itu kita semua langsung lari terbirit-birit mencari tempat yang lebih aman, sampai ada sandal teman saya yang tertinggal karena terinjak, bahkan ada yang sampai terjatuh.
Saat kita berada disalah satu rumah warga yang agak jauh dari lokasi peristiwa tadi, kita mulai membahas hantu itu, ada bilang itu Banaspati ada yang bilang itu Antu (seperti Kemamang, Antu ini berwujud cahaya seperti kumpulan Konang [Bahasa: Kunang-kunang], biasanya penampakan Antu ini menandakan akan adanya musibah, seperti lokasi dimana penampakan tersebut menyebabkkan orang yang tersebut tinggal akan sakit bahkan mati).
Sebenarnya antara Banaspati, Kemamang dan Antu ini agak kurang begitu dimengerti perbedaannya, Ibu saya bilang itu namanya Antu, selain menandakan orang sakit dan akan meninggal, di daerah pesisir pantai Antu ini dapat menyebabkan bentol-bentol panas dan merah di badan sebagai akibat dari memakai pakaian yang dijemur di luar dan tidak diangkat pada malam hari.
Karena peristiwa itu, kita batal mengikuti kegiatan belajar tambahan di madrasah dan ternyata gurunya pun tidak datang pada malam itu (maklum HP masih merupakan barang mewah pada saat itu).
Anak-anak pedesaan dalam hal mengenyam pendidikan dibangku sekolah sangat luar biasa menurut saya, dalam keterbatasan fasilitas saja mereka tetap semangat belajar (dulu bagunan sekolah dasar saya hampir roboh dan atapnya dikasih tiang penyangga bantuan dari bambu, bahkan kalau ada angin kencang semua siswa dikomando untuk keluar ruangan semua. Pada akhirnya sekolah ini benar-benar roboh di musim penghujan, untungnya robohnya itu di malam hari saat tidak ada kegiatan belajar mengajar), hari-harinya dipenuhi dengan belajar dan belajar, bukan hanya wajib belajar sembilan tahun di sekolah-sekolah formal. Di pagi hari mereka belajar di sekolah-sekolah formal, di siang hari setelah sekolah, mereka pergi belajar ilmu agama di madrasah sampai sore, dan pada malamnya setelah Maghrib mereka belajar mengaji, bahkan kegiatan mengaji kadang dilakukan setelah shalat Subuh.
Waktu itu saya kelas dua SMP dan kelas enam di Madrasah Dinniyah (setingkat dengan SD). Nah, karena saya kelas enam Madrasah Dinniyah (Madin), sebagai syarat kelulusan akan diadakan ujian kelulusan Madin serentak di Kabupaten Jepara (setara Ujian Nasioanal). Untuk men-sukses-kan ujian tersebut, wali kelas Madin saya mengadakan kegiatan belajar tambahan pada malam hari setelah shalat Isya’ di sekolah.
Bangunan madrasah saya ini terletak di tengah desa, bangunan berbentuk letter U ini tanpa penjaga di malam hari dan hanya ada satu lantai tanpa penerangan di malam hari; di depan merupakan halaman yang sangat luas serta banyak ditumbuhi pohon mangga yang besar, di samping kanan dan kiri merupakan kebun kosong milik warga dan di belakang madrasah adalah kebun kosong yang tak jauh dari kuburan (pemakaman). Jarak antara rumah warga lumayan jauh, karena dalam mendirikan bangunan hunian, biasanya warga mempunyai halaman luas di depan dan kebun di belakang atau samping. Kuburan (pemakaman) di desa sangat unik, karena biasanya pemakaman terletak di sekitar bahkan di dalam hutan bambu, jadi hampir semua kuburan yang ditemui pasti ada hutan bambunya. Hutan bambu itu sangat menyeramkan, pada siang hari yang terik saja saat kamu berada di dalam hutan bambu keadaannya terlihat gelap, karena sinar matahari terhalang oleh dedaunan bambu dan kamu seolah berjalan didalam sebuah gua yang banyak lorong bercabangnya, coba bayangkan seperti apa keadaannya jika malam hari.
Pada malam itu saya lupa hari apa, kami sepakat berkumpul di salah satu rumah teman untuk berangkat ke madrasah bersama-sama. Jumlah siswa tidak cukup banyak karena hanya terdiri dari satu kelas saja, sekitar dua puluhan siswa. Saat kita sudah di madrasah, kita mendapati kelas dalam keadaan gelap, itu artinya wali kelas belum datang, dan hanya beliau yang memegang kunci kelas. Kita sepakat untuk menunggu di depan rumah warga di sebelah kiri madrasah, alasan kita menunggu di rumah warga adalah karena kita takut kalau menunggu di madrasah, bangunan ini banyak sekali kejadian mistisnya, itu yang kita takutkan. Antara rumah ini dan madrasah di pisahkan oleh kebun, terlihat gelap kalau malam karena minim penerangan. Rumah ini sudah sepi dan semua pintu ditutup semua, karena penghuninya hanya kakek nenek yang sudah renta. Kita tidak menunggu tepat di depan rumah nenek ini, tapi di depan tengah kebun (antara rumah dan madrasah). Takut mengganggu kalau nongkrong di depan rumah nenek, maklum anak muda suka becanda kelewatan dan suka berisik.
Kita hanya tujuh orang jumlahnya dan semua adalah cowok, dengan memakai sarung, peci dan sandal jepit serta buku yang ditenteng kita berdiri mengobrol sambil menunggu guru datang. Karena kita dari blok Wetan (Timur) dan yang blok Kulon (Barat) tidak tahu menunggu di sebelah mana. Saat asik ngobrol dan becanda, saya melihat kearah kebun belakang antara madrasah dan rumah nenek ini. Keadaannya sangat gelap, entah kenapa hanya saya saja yang melihat. Dari jarak kurang dari 10 meter saya lihat ada secercah cahaya jingga seperti bara api, hanya sebesar biji buah Kelengkeng saja nampaknya. Saya kira orang yang buang hajat sambil merokok (dalam lingkungan desa dulu, bagi warga yang tidak mempunyai WC/kakus biasanya buang hajat dilaksanakkan di kebun), keadaannya saat itu sangat gelap, bahkan saya tidak bisa memelihat letak pohon di kebun itu.
Awalnya saya acuh, karena buat apa mengusik orang buang hajat. Saat saya memberi tahu salah satu teman saya, bahwa ada orang yang buang hajat di kebun dan hanya nampak bara api rokoknya saja, serentak semua teman saya melihat ke arah yang saya tunjukkan. Dan kita menerka-nerka siapa yang buang hajat di sana, soalnya agak kebelakang lagi dari kebun itu adalah kuburan dan orang yang buang hajat tanpa penerangan itu termasuk orang yang sangat berani, bukan takut karena gelap, setidaknya takut kalau digigit ular.
Saat kita saling menerka dan adu jawaban, tiba-tiba bara api itu bertambah semakin banyak, seperti berlipat ganda dan melayang berputar-putar. Sampai pada peristiwa ini pun kita masih menerka, mungkin itu bara api dari sampah dedaunan yang dibakar di sore hari. Tapi spekulasi kita masih mentok, jika itu bara api dari sampah kenapa tidak nampak asapnya, dan mana mungkin bara api itu bisa berputar seharusnya melayang ke atas. Ketinggian kumpulan bara api itu pun tak realistis kalau dihubungkan dengan sampah daun yang dibakar, karena terlalu tinggi untuk ukuran sampah daun yang di tumpuk.
Jumlah bara api itu pun semakin banyak dan banyak dan terus berputar, kita dibuat bingung dan kaget dengan peristiwa itu, sampai akhirnya kumpulan bara api itu berputar sangat cepat dan bles....... muncullah seukuran bola api yang berkobar-kobar, seketika itu kita semua langsung lari terbirit-birit mencari tempat yang lebih aman, sampai ada sandal teman saya yang tertinggal karena terinjak, bahkan ada yang sampai terjatuh.
Saat kita berada disalah satu rumah warga yang agak jauh dari lokasi peristiwa tadi, kita mulai membahas hantu itu, ada bilang itu Banaspati ada yang bilang itu Antu (seperti Kemamang, Antu ini berwujud cahaya seperti kumpulan Konang [Bahasa: Kunang-kunang], biasanya penampakan Antu ini menandakan akan adanya musibah, seperti lokasi dimana penampakan tersebut menyebabkkan orang yang tersebut tinggal akan sakit bahkan mati).
Sebenarnya antara Banaspati, Kemamang dan Antu ini agak kurang begitu dimengerti perbedaannya, Ibu saya bilang itu namanya Antu, selain menandakan orang sakit dan akan meninggal, di daerah pesisir pantai Antu ini dapat menyebabkan bentol-bentol panas dan merah di badan sebagai akibat dari memakai pakaian yang dijemur di luar dan tidak diangkat pada malam hari.
Karena peristiwa itu, kita batal mengikuti kegiatan belajar tambahan di madrasah dan ternyata gurunya pun tidak datang pada malam itu (maklum HP masih merupakan barang mewah pada saat itu).
TERIMA KASIH



Diubah oleh jimmyjun 29-10-2020 11:57






sposolo dan 3 lainnya memberi reputasi
4
21.4K
Kutip
28
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan