- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Gedung DPR Diserang! Fahri Hamza kena Gigit Pendemo!


TS
AgungSatriawan
Gedung DPR Diserang! Fahri Hamza kena Gigit Pendemo!
Malang bagi Mendi. Hari ini dia harus terkena jadwal lembur karena lima petugas lain sudah izin komandan untuk tidak masuk. Mendi hanya tahu dari grup Whatsapp Petugas Keamanan Dalam DPR-RI bahwa teman-temannya terkena wabah yang menyebabkan negara dalam keadaan darurat. Dia juga mendengar bahwa orang tua dan tetangganya di desa terkena wabah. Keinginannya untuk menjenguk tidak terwujud karena sudah keduluan petugas lain dengan alasan serupa.

Sedikitnya jumlah petugas membuat tiap-tiap pos dijaga oleh satu orang. Bahkan semua akses masuk gedung nusantara 1-4 hanya dijaga oleh satu orang. Mendi juga mendengar kalau komandannya sudah meminta bantuan Polri untuk membantu penjagaan sekitar gedung, namun tidak bisa dipenuhi karena katanya polisi sedang sibuk mengamankan demo di depan istana.
Dan kesibukan itu memang terlihat jelas oleh Mendi. Buktinya demo di depan gedung DPR hanya dijaga oleh puluhan polisi tak bersenjata. Maklum, isi istana lebih berharga dari isi gedung DPR, pikirnya. Pendemo yang tak sampai 30 mahasiswa itu berteriak-teriak menuntut DPR serius menanggapai isu wabah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Spanduk-spanduk mereka cukup vulgar dibentangkan dan dipegang oleh masing-masing orang.
RAKYAT SAKIT, DIMANA KALIAN?
USUT RETRON!
USIR RETRON!
JANGAN TUNDUK PADA PENGUSAHA ASING!
Begitu tulisan pada spanduk-spanduk itu. Kumpulan aspirasi yang sebenarnya isu nasional, tapi hanya disuarakan oleh sedikit orang, karena kebanyakan masih sibuk dengan keadaan masing-masing dan orang-orang terdekat.
Tapi Mendi menilai tuntutan demo itu konyol. Mahasiswa tidak tahu saja bahwa para anggota DPR juga banyak yang jadi korban. Bahkan sampai siang ini dia hanya berpapasan dengan tiga orang anggota dewan saja di ruang Nusantara IV: Masanton, Fahri Hamza, dan Arteta Dahlan.
Itu pun mereka tampak buru-buru masuk keruang fraksi masing-masing, lalu keluar dengan membawa koper, seperti hendak pergi lagi. Dua dari mereka sempat mengobrol di koridor dan Mendi dengar pembicaraannya.
“Presiden ini bagaimana, sayan bilang, bukannya satronin pihak Retron langsung, malah dipanggil ke Istana! Harusnya sidak langsung gudang mereka!” kata Arteta dengan mimiki kesal.
“Kalau dipanggil ya mereka pasti sudah menyiapkan bantahan.” ujar Fahri.
“Itu dia maksudku, Bang! Harusnya langsung saja BPOM bareng menkee, hajar!”
“Rumah sakit sudah overload katanya?”
“Laporannya begitu, Bang. Makanya aku dengar kapolri dan panglima sudah mempersilakan semua kantor polisi dan barak jadi rumah sakit darurat. Semua mahasiswa kedokteran, perwawat, bahkan sampai PMR sekolah, semua diminta bantu rumah sakit!”
“Gila ini keadaan!”
Proses menguping Mendi terhenti gara-gara suara radio panggil yang digenggamnya.
“Semua petugas merapat ke depan Gedung Kura-Kura! Demonstran sudah menjebol ring tiga!”
“Siap, Dan!” Mendi bergegas berjalan cepat menuju tangga dan menuruninya. Di anak tangga terakhir ia berpapasan dengan ajudan Fahri dan sopir Artea yang sama buru-burunya. Mendi mulai mendengar suara teriakan-teriakan dari luar ruangan. Dan ketika ia sampai di teras gedung Pak Agus, komandannya, sudah berdiri bersama PKD lain, menghadap ke arah parkiran yang sudah di masuki demonstran. Tapi Mendi sudah tidak melihat spanduk dan bendera lagi seperti dua jam lalu. Para mahasiswa sepertinya sudah tidak tahan ingin bertemu anggota Dewan. Mereka berjalan dengan lambat dan malah sempoyongan. Beberapa mahasiswi berjalan lebih cepat ke arah gedung utama. Cara jalan mereka aneh. Dan Mendi merasa asing dengan gaya pakaian mereka. Berbeda dengan tadi pagi yang menggunakan jaket almamater, mereka sudah melepas atribut kemahasiswaan mereka. Dan malah sekarang Mendi berpikir kalau mereka bukan demonstran yang sejak pagi di depan gerbang.
“SEMUA BERSIAP KALAU-KALAU PENDEMO MEMAKSA MASUK!” teriak Pak Agus. Mendi mengikuti petugas lainnya, mengeluarkan pentungan dari pengaitnya diikat pinggang, tapi matanya mentap jauh melewati parkiran ke arah gerbang depan. Di belakang gerbang besi ayng sudah jatuh ada gelimpangan orang-orang. Entah kenapa mereka tidur di sana. Beberapa lagi terlihat duduk di samping yang lain, seperti sedang menangisi. Beberapa orang berlari sambil teriak-teriak, memegang bagian tubuhnya, terlihat kesakitan. Dan orang-orang dari jalan raya terus masuk melewati runtuhan gerbang.
Mendi kembali melihat pendemo yang sudah melewati parkiran. Mereka sudah sangat dekat.
“KALIAN TIDAK IZINKAN MASUK!” teriak Pak Agus. “MUNDUR! MUNDUR!” ancamnya pada orang-orang yang tak mau berhenti.
Salah seorang yang wanita malah mempercepat jalannya, terus mendekat tanpa takut.
“JANGAN MENDE..!”
Kalimat Pak Agus tak sampai selesai karena wanita itu tiba-tiba melompat sambil mencakar wajahnya. Mendi dan petugas lain langsung menarik dan memukul wanita itu. Tapi wanita satunya malah ikut menerkam salah stu petugas. Cakarnya hampir mengenai wajah Mendi yang sempat menunduk. Lalu tiba-tiba sudah ada darah membasahi tangannya, lantai, dan masih ada muncratan darah dari leher petugas. Mendi berteriak memaki. Tujuh petugas lainnya juga memaki dengan keras.
“WOY, ANJING!”
“baik LU, SETAN, NGAPAIN LU, ANJING!”
Tak ada yang menyangka serangan itu. Orang-orang yang Mendi kira pendemo itu sudah sangat dekat, mereka mengerang dengan tangan menjulur. Dari belakang punggung Mendi, Fahri Hamza dan Arteta Dahlan berusaha menembus kerumunan, dengan kawalan ajudan dan sopir mereka. Tapi mereka tak tahu keganasan para pendemo ini. Dan pergumulan terjadi. Pukulan demi pukulan tak merobohkan para pendemo, yang pria malah menyergap lengan ajudan dan menggigitnya hingga terkoyak. Arteta Dahlan jatuh tersandung kaki pendemo yang jatuh. Mendi berusaha melepas cengkraman pendemo pada leher Fahri Hamza, tapi tubuhnya malah dibanting, terpelating ke samping. Pentungannya terpental, dengkulnya sakit terbentur pavingblock. Ketika ia sedang berusaha berdiri Pak Agus melompat, lalu menendang pria yang sedang menunduk hendak menggigit Arteta, tapi bahu Pak Agus malah dicakar, lalu sebuah mulut sisi bahunya yang lain. Darah muncrat ke depan hingga ke wajah Arteta di bawahnya. Pria pendemo yang jatuh bahkan tak menyerah. Ia mengambil pergelangan kaki Arteta dan menggigitnya seolah itu daging sapi panggang. Teriak kesakitan bergema di teras gedung utama DPR/MPR. Teriakan dari Fahri Hamza yang sudah ditindih orang-orang, dan petugas PKD yang berjatuhan bersimbah darah, juga pendemo yang Mendi tahu bukan pendemo, semakin banyak berdatangan dari arah parkiran. Ia sadar ini waktunya ia melarikan diri. Ia memaksa diri berdiri, lalu berlari pincang ke arah gedung Nusantara III.
Dari web: https://zombieaedes.blogspot.co.id/2...edung-dpr.html

Sedikitnya jumlah petugas membuat tiap-tiap pos dijaga oleh satu orang. Bahkan semua akses masuk gedung nusantara 1-4 hanya dijaga oleh satu orang. Mendi juga mendengar kalau komandannya sudah meminta bantuan Polri untuk membantu penjagaan sekitar gedung, namun tidak bisa dipenuhi karena katanya polisi sedang sibuk mengamankan demo di depan istana.
Dan kesibukan itu memang terlihat jelas oleh Mendi. Buktinya demo di depan gedung DPR hanya dijaga oleh puluhan polisi tak bersenjata. Maklum, isi istana lebih berharga dari isi gedung DPR, pikirnya. Pendemo yang tak sampai 30 mahasiswa itu berteriak-teriak menuntut DPR serius menanggapai isu wabah penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Spanduk-spanduk mereka cukup vulgar dibentangkan dan dipegang oleh masing-masing orang.
RAKYAT SAKIT, DIMANA KALIAN?
USUT RETRON!
USIR RETRON!
JANGAN TUNDUK PADA PENGUSAHA ASING!
Begitu tulisan pada spanduk-spanduk itu. Kumpulan aspirasi yang sebenarnya isu nasional, tapi hanya disuarakan oleh sedikit orang, karena kebanyakan masih sibuk dengan keadaan masing-masing dan orang-orang terdekat.
Tapi Mendi menilai tuntutan demo itu konyol. Mahasiswa tidak tahu saja bahwa para anggota DPR juga banyak yang jadi korban. Bahkan sampai siang ini dia hanya berpapasan dengan tiga orang anggota dewan saja di ruang Nusantara IV: Masanton, Fahri Hamza, dan Arteta Dahlan.
Itu pun mereka tampak buru-buru masuk keruang fraksi masing-masing, lalu keluar dengan membawa koper, seperti hendak pergi lagi. Dua dari mereka sempat mengobrol di koridor dan Mendi dengar pembicaraannya.
“Presiden ini bagaimana, sayan bilang, bukannya satronin pihak Retron langsung, malah dipanggil ke Istana! Harusnya sidak langsung gudang mereka!” kata Arteta dengan mimiki kesal.
“Kalau dipanggil ya mereka pasti sudah menyiapkan bantahan.” ujar Fahri.
“Itu dia maksudku, Bang! Harusnya langsung saja BPOM bareng menkee, hajar!”
“Rumah sakit sudah overload katanya?”
“Laporannya begitu, Bang. Makanya aku dengar kapolri dan panglima sudah mempersilakan semua kantor polisi dan barak jadi rumah sakit darurat. Semua mahasiswa kedokteran, perwawat, bahkan sampai PMR sekolah, semua diminta bantu rumah sakit!”
“Gila ini keadaan!”
Proses menguping Mendi terhenti gara-gara suara radio panggil yang digenggamnya.
“Semua petugas merapat ke depan Gedung Kura-Kura! Demonstran sudah menjebol ring tiga!”
“Siap, Dan!” Mendi bergegas berjalan cepat menuju tangga dan menuruninya. Di anak tangga terakhir ia berpapasan dengan ajudan Fahri dan sopir Artea yang sama buru-burunya. Mendi mulai mendengar suara teriakan-teriakan dari luar ruangan. Dan ketika ia sampai di teras gedung Pak Agus, komandannya, sudah berdiri bersama PKD lain, menghadap ke arah parkiran yang sudah di masuki demonstran. Tapi Mendi sudah tidak melihat spanduk dan bendera lagi seperti dua jam lalu. Para mahasiswa sepertinya sudah tidak tahan ingin bertemu anggota Dewan. Mereka berjalan dengan lambat dan malah sempoyongan. Beberapa mahasiswi berjalan lebih cepat ke arah gedung utama. Cara jalan mereka aneh. Dan Mendi merasa asing dengan gaya pakaian mereka. Berbeda dengan tadi pagi yang menggunakan jaket almamater, mereka sudah melepas atribut kemahasiswaan mereka. Dan malah sekarang Mendi berpikir kalau mereka bukan demonstran yang sejak pagi di depan gerbang.
“SEMUA BERSIAP KALAU-KALAU PENDEMO MEMAKSA MASUK!” teriak Pak Agus. Mendi mengikuti petugas lainnya, mengeluarkan pentungan dari pengaitnya diikat pinggang, tapi matanya mentap jauh melewati parkiran ke arah gerbang depan. Di belakang gerbang besi ayng sudah jatuh ada gelimpangan orang-orang. Entah kenapa mereka tidur di sana. Beberapa lagi terlihat duduk di samping yang lain, seperti sedang menangisi. Beberapa orang berlari sambil teriak-teriak, memegang bagian tubuhnya, terlihat kesakitan. Dan orang-orang dari jalan raya terus masuk melewati runtuhan gerbang.
Mendi kembali melihat pendemo yang sudah melewati parkiran. Mereka sudah sangat dekat.
“KALIAN TIDAK IZINKAN MASUK!” teriak Pak Agus. “MUNDUR! MUNDUR!” ancamnya pada orang-orang yang tak mau berhenti.
Salah seorang yang wanita malah mempercepat jalannya, terus mendekat tanpa takut.
“JANGAN MENDE..!”
Kalimat Pak Agus tak sampai selesai karena wanita itu tiba-tiba melompat sambil mencakar wajahnya. Mendi dan petugas lain langsung menarik dan memukul wanita itu. Tapi wanita satunya malah ikut menerkam salah stu petugas. Cakarnya hampir mengenai wajah Mendi yang sempat menunduk. Lalu tiba-tiba sudah ada darah membasahi tangannya, lantai, dan masih ada muncratan darah dari leher petugas. Mendi berteriak memaki. Tujuh petugas lainnya juga memaki dengan keras.
“WOY, ANJING!”
“baik LU, SETAN, NGAPAIN LU, ANJING!”
Tak ada yang menyangka serangan itu. Orang-orang yang Mendi kira pendemo itu sudah sangat dekat, mereka mengerang dengan tangan menjulur. Dari belakang punggung Mendi, Fahri Hamza dan Arteta Dahlan berusaha menembus kerumunan, dengan kawalan ajudan dan sopir mereka. Tapi mereka tak tahu keganasan para pendemo ini. Dan pergumulan terjadi. Pukulan demi pukulan tak merobohkan para pendemo, yang pria malah menyergap lengan ajudan dan menggigitnya hingga terkoyak. Arteta Dahlan jatuh tersandung kaki pendemo yang jatuh. Mendi berusaha melepas cengkraman pendemo pada leher Fahri Hamza, tapi tubuhnya malah dibanting, terpelating ke samping. Pentungannya terpental, dengkulnya sakit terbentur pavingblock. Ketika ia sedang berusaha berdiri Pak Agus melompat, lalu menendang pria yang sedang menunduk hendak menggigit Arteta, tapi bahu Pak Agus malah dicakar, lalu sebuah mulut sisi bahunya yang lain. Darah muncrat ke depan hingga ke wajah Arteta di bawahnya. Pria pendemo yang jatuh bahkan tak menyerah. Ia mengambil pergelangan kaki Arteta dan menggigitnya seolah itu daging sapi panggang. Teriak kesakitan bergema di teras gedung utama DPR/MPR. Teriakan dari Fahri Hamza yang sudah ditindih orang-orang, dan petugas PKD yang berjatuhan bersimbah darah, juga pendemo yang Mendi tahu bukan pendemo, semakin banyak berdatangan dari arah parkiran. Ia sadar ini waktunya ia melarikan diri. Ia memaksa diri berdiri, lalu berlari pincang ke arah gedung Nusantara III.
Dari web: https://zombieaedes.blogspot.co.id/2...edung-dpr.html
Diubah oleh AgungSatriawan 19-07-2017 16:58
0
2K
18


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan