- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Apakah benar Anak dari 2 Prabu ini malah bertarung dengan Ayahnya sendiri ??


TS
c4punk1950...
Apakah benar Anak dari 2 Prabu ini malah bertarung dengan Ayahnya sendiri ??
Quote:
Menguak sejarah seperti keturunan 2 prabu di jawa ini sangat menarik gan.
Prabu Brawijaya dan Siliwangi.

1. Prabu Brawijaya.
Raden Patah dianggap anak durhaka dan tak tahu balas budi. Sudah diberi kekuasaan, malah menikam ayahandanya sendiri dari belakang. Ia menyerang dan hancurkan kerajaan Majapahit.
Menurut kisah, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Islam yang berkembang cukup pesat yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Patah, masih merupakan putra Raden Brawijaya.
Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada saat itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya memeluk agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya untuk memeluk ajaran yang dianut Raden Patah.
Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan kemudian Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk agama Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.
Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Raden Brawijaya melarikan diri ke daerah Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat mendirikan sebuah candi yang diberi nama Candi Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan candinya, Raden Brawijaya keburu ketahuan oleh pasukan Demak, lalu melarikan diri ke arah timur dan bersembunyi.
Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula mcndirikan sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya akhirnya diketahui oleh Pasukan Demak.
Raden Brawijaya melarikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Candi Ceto.
Fakta sejarah ini sebenarnya yang tidak didukung oleh bukti-bukti yang akurat.
Fakta sejarah ini, terutama dicatat dalam naskah Darmogandul dengan tema Sabdopalon. Dikisahkan, Raden Patah dengan kerajaan barunya, yaitu Kerajaan Demak, menyerang Kerajaan Majapahit yang notabene dipimpin oleh ayah kandungnya sendiri, Bhre Kertabhumi (yang kadang disebut juga dengan Brawijaya V).
Pada dasarnya, belumlah ada bukti-bukti konkret tentang kebenaran penyerangan Raden Patah atas Kerajaan Majapahit.
Dalam catatan yang ditulis oleh Darmogandul, Raden Patah menyerang Majapahit dan mengakibatkan runtuhnya Majapahit adalah pada tahun 1478.
Padahal ada argumen lain, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Pararaton, bahwa pada tahun tahun tersebut —yaitu pada tahun 1478— Kerajaan Majapahit justru diserang oleh Samarawijaya dan tiga saudara-saudaranya, karena menganggap raja yang berkuasa di Majapahit, yaitu Raja raja Dyah Suraprahawa, tidak berhak atas tahta. Dyah Suraprahawa merupakan adik bungsu raja sebelumnya, yaitu Rajasawardhana.
Saat Rajasawardhana wafat, ia digantikan oleh Girisawardhana. Nah, setelah wafatnya Girisawardhana inilah, Dyah Suraprabhawa tampil menjadi raja pengganti. Hal ini menimbulkan ketidakpuasaan putra-putra Rajasawardhana yang merasa lebih berhak atas tahta Kerajaan Majapahit.
Pemberontakan Samarawijaya atas Majapahit pada 1478 tersebut, mengakibatkan tewasnya raja Majapahit dan Samarawijaya itu sendiri. Dalam Kitab Pararaton kemudian disebutkan dengan, kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i saka 1400 (“paman mereka, sang raja, mangkat di istana tahun 1478”).
Namun demikian, kemenangan telak dipegang oleh pasukan Samarawijaya. Hal ini bisa dibaca dalam prasasti Petak yang menuliskan ungkapan kadigwijayanira sang munggwing jinggan duk ayun-ayunan yudha lawaning majapahit (“kemenangan Sang Munggwing Jinggan yang naik-jatuh berperang melawan Majapahit”).
Inilah awal keruntuhan Kerajaan Majapahit yang sebenarnya. Para putra Rajasawardhana kemudian membentuk kerajaan baru di Dhaha, yaitu kerajaan Keling.
Pada saat yang sama, juga telah berdiri kerajaan Demak yang bercorak Islam sebagai kerajaan pertama di Jawa.
Hubungan Kerajaan Demak dan Kerajaan Keling memanas, ketika Kerajaan yang dipimpin putra Rajasawardhana ini bersekutu dengan orang asing, yaitu Portugis. Karena persekutuan tersebut, Kerajaan Demak yang sudah dipimpin oleh Sultan Trenggono, menyerbu kerajaan Keling.
Dan, berakhirlah kerajaan Keling.
Yang lebih mengenaskan, karena peralihan antara kerajaan Majapahit menuju kerajaan Demak, dihubung-hubungkan sebagai perang antar-agama.
Fakta yang jelas berlebihan. Sebab, sebagaimana kerajaan-kerajaan di tanah Jawa di era-era sebelum-sebelumnya, persoalan agama sangat jarang menjadi pemantik konflik, apalagi sampai menyebabkan perang berdarah.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit, tidak berkaitan dengan penyerangan Kerajaan Demak dengan alasan keagamaan. Tetapi, keruntuhan Majapahit lebih banyak disebabkan konflik berkepanjangan di kalangan pemimpin internalnya sendiri. Urusan-urusan kerakyatan jadi terabaikan, Negara pun tidak lagi hadir dan mampu melindungi kepentingan rakyat.
Berdirinya Kerajaan Demak, kemudian menjadi harapan baru rakyat akan hadirnya perubahan yang lebih baik, damai, aman dan sejahtera. Dengan kata lain, tanpa diserang pun, Kerajaan Majapahit pasti akan runtuh sendiri karena sudah kronis dalam konflik internal tak berkesudahan.

2. Prabu Siliwangi.
Bagi masyarakat Sunda, nama Siliwangi memiliki arti tersendiri. Namanya melekat kuat dalam ingatan masyarakat Sunda, menjadikannya ikon dan sosok paling membanggakan. Dia adalah Raja Pajajaran yang paling tersohor, gelar yang disandangnya adalah Sri Baduga Maharaja. Konon, pada masanya, ia adalah raja paling bijaksana, adil, berwibawa, dan dicintai rakyatnya.
Ada banyak tuturan lisan (verteller) tentang Prabu Siliwangi. Terkadang, satu versi dengan versi lainnya saling berbeda. Satu hal paling banyak dituturkan tentang Prabu Siliwangi adalah masa-masa pada saat-saat akhir hidupnya, yaitu saat bagaimana ia masuk dan keluar hutan untuk melarikan diri menghindari anaknya yang mengajaknya masuk Islam.
Anaknya itu adalah Kian (Rakeyan) Santang. Dia adalah anak bungsu dari Nyi Subang Larang, istri kedua Prabu Siliwangi. Nyai Subang Larang sendiri berasal dari keluarga Muslim. Ayahnya seorang syah bandar di Karawang, bernama Kiai Tapa. Sejak kecil Nyai Subang Larang belajar ilmu agama, atau nyantri di Pesantren Quro milik Syeh Hasanuddin. Anak-anaknya menjadi muslim yang taat, termasuk Kian Santang.
Konon dalam proses pengejaran itu masing-masing—Prabu Siliwangi dan Kian Santang--menggunakan ilmu ”nurus bumi” yaitu berlari dibawah tanah (?). Sampai di sebuah hutan di daerah Garut yang bernama hutan Sancang mereka bertemu dan bertarung mengadu kesaktian. Ayah dan anak beradu kuat saling mengalahkan, berdiri di atas keyakinannya masing-masing.
Walau agak diragukan, di kisah lain bahkan sampai disebutkan bahwa--"beungeut Rakeyan Santang diciduhan ku Ramana" (muka Rakeyan Santang diludahin sama ayahnya).
Prabu Siliwangi kalah dalam pertarungan tersebut, tapi tidak lantas membuatnya jadi Islam (yang artinya tunduk/menyerah). Dia pun berkata pada Kian Santang, "COBA kau pegang ujung kayu kaboa di sebelahmu anakku, dan aku akan pegang ujung yang satunya," Maknanya, saling memegang ujung ranting kayu kaboa sudah merupakan simbol bahwa dua ujung itu tak akan pernah bertemu.
"Aku memberi kebebasan bagi siapa pun untuk memilih agama. Yang aku cemaskan adalah keserakahan orang. Setelah memilih yang satu, lantas ganti lagi memilih yang baru, begitu seterusnya. Sementara bagi seorang raja, keyakinan itu sebuah kehormatan dan tak bisa sesepele itu digonta-ganti seperti orang membalikkan telapak tangan," demikian jawaban Prabu Siliwangi sebagai penolakan akan ajakan putranya untuk berganti agama.
Dalam Uga Wangsit Siliwangi tertulis:
“Kalian harus memilih untuk hidup kedepan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini, tapi Pajajaran yang baru, yang berdirinya mengikuti perubahan zaman!
Pilih : aku tidak akan melarang. Sebab untukku, tidak pantas jadi raja kalau rakyatnya lapar dan sengsara.
Dengarkan!
Yang ingin tetap ikut denganku, cepat memisahkan diri ke selatan!
Yang ingin kembali lagi ke kota yang ditinggalkan, cepat memisahkan diri ke utara!
Yang ingin berbakti kepada yang sedang berkuasa, cepat memisahkan diri ke timur!
Yang tidak ingin ikut siapa-siapa, cepat memisahkan diri ke barat!”
Sesudah Sang Prabu selesai berbicara, wujudnya menghilang seketika dan orang Sunda mengatakannya sebagai ngahiang.
Seorang Antropolog Amerika. Dalam bukunya yang berjudul Tafsir Kebudayaan (1992), Geertz menguraikan makna dibalik sistem simbol yang ada pada suatu kebudayaan. Antropolog yang terkenal di tanah air melalui karyanya “Religion of Java” itu menyatakan bahwa sistem simbol merefleksikan kebudayaan tertentu. Jadi, bila ingin menginterpretasi sebuah kebudayaan maka dapat dilakukan dengan menafsirkan sistem simbolnya.
Sistem simbol sendiri merupakan salah satu dari tiga unsur pembentuk kebudayaan. Kedua unsur lainnya adalah sistem nilai dan sistem pengetahuan. Menurut Geertz, relasi dari ketiga sistem tersebut adalah sistem makna (System of Meaning) yang berfungsi menginterpretasikan simbol dan, pada akhirnya, dapat menangkap sistem nilai dan pengetahuan dalam suatu kebudayaan.
Simbol maung dalam masyarakat Sunda terkait erat dengan legenda menghilangnya (nga-hyang)Prabu Siliwangi dan Kerajaan Pajajaran yang dipimpinnya pasca penyerbuan pasukan Islam Banten dan Cirebon yang juga dipimpin oleh keturunan Prabu Siliwangi. Konon, untuk menghindari pertumpahan darah dengan anak cucunya yang telah memeluk Islam, Prabu Siliwangi beserta para pengikutnya yang masih setia memilih untuk tapadrawa di hutan sebelum akhirnya nga-hyang. Berdasarkan kepercayaan yang hidup di sebagian masyarakat Sunda, sebelum Prabu Siliwangi nga-hyang bersama para pengikutnya, beliau meninggalkan pesan atau wangsit yang dikemudian hari dikenal sebagai “wangsit siliwangi”.
Salah satu bunyi wangsit yang populer di kalangan masyarakat Sunda adalah: “Lamun aing geus euweuh marengan sira, tuh deuleu tingkah polah maung”
Ada hal menarik berkaitan dengan kata-kata dalam wangsit tersebut: kata-kata itu termasuk kategori bahasa sunda yang kasar bila merujuk pada strata bahasa yang digunakan oleh masyarakat Sunda Priangan (Undak Usuk Basa). Mengapa seorang raja berucap dalam bahasa yang tergolong “kasar”? Bukti sejarah menunjukkan bahwa kemunculan undak usuk basa dalam masyarakat Sunda terjadi karena adanya hegemoni budaya dan politik Mataram yang memang kental nuansa feodal, dan itu baru terjadi pada abad 17—beberapa sekian abad pasca Prabu Siliwangi tiada atau nga-hyang. Namun tinjauan historis tersebut bukanlah bertujuan melegitimasi wangsit itu sebagai kenyataan sejarah.
Bagaimanapun, masih banyak kalangan yang mempertanyakan validitas dari wangsit itu sebagai fakta sejarah, termasuk penulis sendiri.
Wangsit, yang bagi sebagian masyarakat Sunda itu sarat dengan filosofi kehidupan, menjadi semacam keyakinan bahwa Prabu Siliwangi telah bermetamorfosa menjadi maung (harimau) setelahtapadrawa (bertapa hingga akhir hidup) di hutan belantara. Yang menjadi pertanyaan besar: apakah memang pernyataan atau wangsit Siliwangi itu bermakna sebenarnya ataukah hanya kiasan? Realitasnya, hingga kini masih banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, wangsit tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata.
Dari sini kita melihat terungkapnya sistem nilai dari simbol maung dalam masyarakat Sunda. Ternyata maung yang memiliki sifat-sifat seperti yang telah disebutkan sebelumnya menyimpan suatu tata nilai yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Sunda, khususnya yang berkaitan dengan aspek perilaku (behaviour).
Menurut beberapa kisah seperti diatas, Prabu Siliwangi menolak bujukan putranya yang telah menjadi Muslim, Kian Santang, untuk turut memeluk agama Islam. Keteguhan sikap itu yang mendorong penjelmaan Prabu Siliwangi dan para pengikutnya menjadi maung.
Akhirnya, Prabu Siliwangi pun berubah menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjelma menjadi harimau loreng.
Hingga kini kisah harimau putih sebagai penjelmaan Siliwangi itu masih dipercayai kebenarannya oleh masyarakat di sekitar hutan Sancang.
Bahkan, kisah ini menjadi semacam kearifan lokal (local wisdom). Menurut masyarakat di sekitar hutan, bila ada pengunjung hutan yang berperilaku buruk dan merusak kondisi ekologis hutan, maka ia akan “berhadapan” dengan harimau putih yang tak lain adalah Prabu Siliwangi. Tidak masuk akal memang, namun di sisi lain, hal demikian dapat dipandang sebagai sistem pengetahuan masyarakat yang berhubungan dengan ekologi.
Masyarakat leuweung Sancang telah menyadari arti pentingnya keseimbangan ekosistem kehutanan, sehingga diperlukan instrumen pengendali perilaku manusia yang seringkali berhasrat merusak alam. Dan mitos harimau putih jelmaan Siliwangi lah yang menjadi instrumen kontrol sosial tersebut.
Bila kita telusuri secara mendalam, niscaya tidak akan ditemukan bukti sejarah yang menghubungkan Prabu Siliwangi atau Kerajaan Pajajaran dengan simbol harimau. Adapun yang mengatakan bahwa harimau pernah menjadi simbol Pajajaran adalah salah satu tokoh Sunda sekaligus orang dekat Otto Iskandardinata (Pahlawan Nasional), Dadang Ibnu. Tetapi, lagi-lagi, tidak ada bukti sejarah Sunda yang dapat memperkuat hipotesa ini, baik itu Carita Parahyangan, Siksakanda Karesian, ataupun Wangsakerta. Bahkan mengenai lambang Kerajaan Pajajaran pun masih debatable, dikarenakan ada beragam versi lain yang mengemuka menyangkut lambang Pajajaran.
Problem lain yang muncul berkaitan dengan kebenaran sejarah “maung Siliwangi” tersebut ialah rentang waktu yang cukup jauh antara masa ketika Prabu Siliwangi hidup dan memerintah dengan runtuhnya Kerajaan Pajajaran yang dalam mitos maung berakhir dengan penjelmaan Siliwangi dan para pengikut Pajajaran menjadi harimau di hutan Sancang. Penting untuk diketahui bahwa secara etimologis, Siliwangi, yang terdiri dari dua suku kata yaitu Silih (pengganti) dan Wangi, bermakna sebagai pengganti Prabu Wangi.
Menurut para pujangga Sunda di masa lampau, Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Niskala Wastukancana yang berkuasa di Kerajaan Sunda-Galuh (ketika itu belum bernama Pajajaran) pada tahun 1371-1475. Lalu, nama Siliwangi yang berarti pengganti Prabu Wangi merupakan julukan bagi Prabu Jayadewata, cucu Prabu Wastukancana. Prabu Jayadewata yang berkuasa pada periode 1482-1521 dianggap mewarisi kebesaran Wastukancana oleh karena berhasil mempersatukan kembali Sunda-Galuh dalam satu naungan kerajaan Pajajaran.
Sebelum Prabu Jayadewata berkuasa, Kerajaan Sunda-Galuh sempat terpecah. Putra Wastukancana (sekaligus ayah Prabu Jayadewata), Prabu Dewa Niskala, hanya menjadi penguasa kerajaan Galuh.
Dipersatukannya kembali Sunda dan Galuh oleh Jayadewata, membuat beliau dipandang mewarisi kebesaran kakeknya, Prabu Wastukancana alias Prabu Wangi. Maka, para sastrawan atau pujangga Sunda ketika itu memberikan gelar Siliwangi bagi Prabu Jayadewata. Siliwangi memiliki arti pengganti atau pewaris Prabu Wangi.
Jadi, raja Sunda Pajajaran yang dimaksud dalam sejarah sebagai Prabu Siliwangi adalah Prabu Jayadewata yang berkuasa dari tahun 1482-1521.
Lalu kapan sebenarnya Kerajaan Pajajaran runtuh? Apakah pada masa Prabu Jayadewata atau Siliwangi? Ternyata, sejarah mencatat ada lima raja lagi yang memerintah sepeninggal Prabu Jayadewata.
Berikut ini periodisasi penerintahan raja-raja Pajajaran pasca wafatnya Jayadewata alias Siliwangi :
1.) Prabu Surawisesa (1521-1535)
2.) Prabu Ratu Dewata (1535-1543)
3.) Ratu Sakti (1543-1551)
4.) Prabu Nilakendra (1551-1567)
5.) Prabu Raga Mulya (1567-1579)
Pada masa pemerintahan Raga Mulya lah, tepatnya tahun 1579, Kerajaan Pajajaran mengalami kehancuran akibat serangan pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf.
Peristiwa tersebut tercatat dalam Pustaka Rajyarajya Bhumi Nusantara parwa III sarga I halaman 219, sebagai berikut :
Pajajaran sirna ing bhumi ing ekadaci cuklapaksa Wesakhamasa saharsa punjul siki ikang cakakala.
Artinya :
Pajajaran lenyap dari muka bumi tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka atau tanggal 8 Mei 1579 M.
Kemudian bagaimana nasib Prabu Mulya? Sumber yang sama menyatakan bahwa Prabu Raga Mulya beserta para pengikutnya yang setia tewas dalam pertempuran mempertahankan ibukota Pajajaran yang ketika itu telah berpindah ke Pulasari, kawasan Pandeglang sekarang.
Fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa keruntuhan kerajaan Pajajaran terjadi pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah Prabu Siliwangi wafat. Berarti Prabu Siliwangi tidak pernah mengalami keruntuhan Kerajaan yang telah dipersatukannya.
Raja yang mengalami kehancuran Kerajaan Pajajaran adalah Prabu Raga Mulya yang merupakan keturunan kelima Prabu Siliwangi atau janggawarengnya
Sementara Prabu Raga Mulya sendiri gugur dalam perang mempertahankan kedaulatan negerinya dari agresi Banten.
Jadi, raja Pajajaran terakhir ini memang nga-hyang, namun bukan menjadi maung sebagaimana diyakini masyarakat Sunda selama ini melainkan gugur di medan tempur. Dari serangkaian bukti sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa mitos penjelmaan Prabu Siliwangi dan sisa-sisa prajurit Pajajaran menjadi harimau hanya sekedar mitos dan bukan fakta sejarah.
Bila bukan fakta sejarah, darimana sebenarnya mitos maung yang selalu melekat pada kisah Siliwangi dan Pajajaran itu berasal? Pertanyaan ini dapat menemukan titik terang bila meninjau laporan ekspedisi seorang peneliti Belanda, Scipio, kepada Gubernur Jenderal VOC, Joanes Camphuijs, mengenai jejak sejarah istana Kerajaan Pajajaran di kawasan Pakuan (daerah Batutulis Bogor sekarang).
Laporan penelitian yang ditulis pada tanggal 23 Desember 1687 tersebut berbunyi“dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort”, yang artinya: bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja “Jawa” Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau.
Bahkan kabarnya salah satu anggota tim ekspedisi Scipio pun menjadi korban terkaman harimau ketika sedang melakukan tugasnya.
Temuan lapangan ekspedisi Scipio itu mengindikasikan bahwa kawasan Pakuan yang ratusan tahun sebelumnya merupakan pusat kerajaan Pajajaran telah berubah menjadi sarang harimau.
Hal inilah yang menimbulkan mitos-mitos bernuansa mistis di kalangan penduduk sekitar Pakuan mengenai hubungan antara keberadaan harimau dan hilangnya Kerajaan Pajajaran.
Berbasiskan pada laporan Scipio ini, dapat disimpulkan bila mitos maung lahir karena adanya kekeliruan sebagian masyarakat dalam menafsirkan realitas.
Sesungguhnya, keberadaan harimau di pusat Kerajaan Pajajaran bukanlah hal yang aneh, mengingat kawasan tersebut sudah tidak berpenghuni pasca ditinggalkan sebagian besar penduduknya di penghujung masa kekuasaan Prabu Nilakendra—ratusan tahun sebelum tim Scipio melakukan ekspedisi penelitian.
Sepeninggal para penduduk dan petinggi kerajaan, wilayah Pakuan berangsur-angsur menjadi hutan. Bukanlah suatu hal yang aneh bila akhirnya banyak harimau bercokol di kawasan yang telah berubah rupa menjadi leuweung tersebut.
Note :
Sejarah babad jawa dan sunda memang penuh misteri, tulisan TS ini belum dikaji lebih mendalam oleh arkeologi dan peneliti sejarah.
Apalagi voc getol politik adu domba antar kerajaan saat itu.
Silahkan tanggapannya agan2 sekalian.
Referensi
HISKI DARMAYANA, Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Sumedang dan Alumni Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran.
Wikipedia.
Kompasiana.
Dan sumber lainnya.
Diubah oleh c4punk1950... 16-07-2017 15:21


bukan.bomat memberi reputasi
1
16.1K
Kutip
32
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan