- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menjadi Pemimpin ala Habibie


TS
p0congkaskus
Menjadi Pemimpin ala Habibie
Menjadi Pemimpin ala Habibie

Tahun 1998, perubahan besar terjadi di Indonesia. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun digantikan B.J. Habibie pada 14 Mei 1998. Rakyat Indonesia, yang selama puluhan tahun hidup di bawah tekanan rezim “militeristik”, berkeinginan untuk mengembangkan kehidupan politik yang lebih bebas. Perubahan itu berlangsung di tengah karut-marutnya perekonomian Indonesia dan kekacauan kondisi sosial-politik.
Habibie, yang biasa disapa Rudy ini, menyadari tugas berat yang dia sandang. Salah satu tugas berat itu, seperti ditulis Habibie sendiri, “Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai ‘penguasa’ yang lemah dan takut.”
Lebih dari itu, Habibie sendiri pasti akan dipandang sebagai bagian dari Orde Baru. “Saya menyadari dan dapat mengerti jikalau yang pernah dirugikan dalam masa Orde Baru menilai negatif, bahkan bersikap anti kepada saya karena kedudukan dan kedekatan saya dengan kekuasaan selama hampir 25 tahun lamanya, serta menganggap saya ikut bertanggung jawab atas terjadinya multikrisis yang dihadapi. Oleh karena itu, sikap saya dalam menghadapi semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan dan kesatuan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia,” tulis Habibie.
Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 ini sebenarnya figur idola publik. Kecerdasan dan kepakarannya dalam teknik penerbangan membuat Habibie dikagumi anak-anak dan banyak orang. Habibie menjadi simbol kecerdasan bangsa Indonesia yang mendapat pengakuan internasional. Semasa pemerintahan Soeharto, Habibie menduduki berbagai jabatan, mulai dari menteri sampai pengelola industri strategis. Habibie pun identik dengan teknologi dan industri.
Namun, kehebatan Habibie rupanya bukan hanya dalam perkara teknologi dan industri. Putra keempat dari delapan bersaudara pasangan Alwi Abdul Djalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo ini juga diakui kehebatannya dalam pengembangan sumber daya manusia. Nafthalia (2008) mengutip pernyataan Letjen (Purn.) Djatikusumo yang melihat sisi lain dari Habibie. “Kalau dia bisa buat pesawat terbang, saya tidak kagum. Tapi kalau ia bisa membuat orang-orang yang bisa membuat pesawat terbang dalam waktu singkat, tidak sampai satu generasi, itu saya kagumi. Itu yang paling hebat,” kata Djatikusumo.
Tak hanya itu, dalam masa jabatan kepresidenannya, Habibie menjadi orang yang berupaya untuk menempatkan rakyat pada posisi terhormat. Kedaulatan rakyat dia junjung tinggi. Karena itu, Habibie menegaskan, “Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan.”
Langkah yang dia tempuh antara lain menghapus keharusan memperoleh izin untuk penerbitan media. Selain itu, Habibie juga membuka kesempatan bagi pendirian partai politik baru secara multipartai, suatu kebijakan yang berbeda dari Orde Baru yang hanya mengizinkan keberadaan tiga partai politik. Hal ini ia maksudkan untuk mengembangkan parlemen yang memiliki legitimasi kuat sebagai hasil dari pemilihan umum yang bebas. Pemilu yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Habibie pun diikuti oleh 48 partai politik.
Habibie juga mencabut larangan berdirinya berbagai organisasi tunggal. Organisasi profesi seperti wartawan tidak lagi tunggal, seperti pada masa Orde Baru, yang hanya mengakui keberadaan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Begitu juga dengan organisasi kaum buruh, Habibie membolehkan pendirian serikat-serikat buruh independen. Habibie pun membebaskan tahanan politik yang mendekam di penjara karena pendiriannya berseberangan dengan rezim Soeharto. Tokoh buruh, Mochtar Pakpahan, yang dituduh memicu kerusuhan buruh di Medan pada 1994, dibebaskan. Selain itu, tokoh oposisi yang keras mengkritik Presiden Soeharto, Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas, juga dibebaskan.
Pemerintahan Habibie menghadapi kenyataan karut-marutnya perekonomian nasional akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara Asia. Nilai rupiah terhadap dolar AS jatuh terpuruk hingga titik terendah, yaitu lebih dari Rp15.000 per 1 dolar AS. Tingkat kemiskinan dengan sendirinya melonjak. Kebebasan politik yang dinikmati rakyat Indonesia yang memulihkan kedaulatan rakyat tidak diikuti dengan tingkat kesejahteraan yang membaik. Pemerintahan Habibie memang kemudian berhasil mengendalikan nilai tukar rupiah hingga menjadi Rp 8.000-an per 1 dolar AS, namun masalah kesejahteraan rakyat masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini.
Pemerintahan Habibie juga berusaha memperbaiki iklim perekonomian nasional. Praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat diupayakan untuk dihentikan dengan mengundangkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat. Konsumen pun berusaha dilindungi hak-haknya sehingga tidak menjadi sasaran perilaku bisnis yang buruk. Perihal ini, pemerintahan Habibie memberikan jaminan hukum melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Habibie berusaha melakukan perubahan dengan menjunjung kedaulatan rakyat. Bagi Habibie, tugas penting pemimpin adalah melakukan perubahan. Untuk bisa melakukan perubahan, Habibie mensyaratkan bahwa pemimpin mesti memiliki wawasan. “Dalam hal ini yang penting adalah wawasan. Ini adalah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan. Tiap pemimpin harus melakukan perubahan,” kata Habibie. Wawasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas yang akan diperlukan untuk menyelenggarakan perubahan.
Prinsip kepemimpinan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, ditegaskan Habibie, memang bukan hanya soal wawasan, melainkan juga soal pandangan bahwa tugas yang diemban merupakan amanah untuk beramal. Pemimpin bukan hanya untuk mencapai kesuksesan duniawi saja, melainkan juga beramal. Dengan cara seperti itu, Habibie menegaskan bahwa menjadi pemimpin bukan untuk meraih kekuasaan, melainkan untuk mengembangkan relasi kemanusiaan yang penuh kasih sayang dan saling menghargai. Karena itu, menjadi pemimpin, bagi Habibie, berarti melayani sesama manusia. Dengan begitu, pemimpin akan selalu berusaha memberikan rahmat bagi sekalian rakyatnya.
sumber: http://rilis.id/menjadi-pemimpin-ala-habibie.html

Tahun 1998, perubahan besar terjadi di Indonesia. Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun digantikan B.J. Habibie pada 14 Mei 1998. Rakyat Indonesia, yang selama puluhan tahun hidup di bawah tekanan rezim “militeristik”, berkeinginan untuk mengembangkan kehidupan politik yang lebih bebas. Perubahan itu berlangsung di tengah karut-marutnya perekonomian Indonesia dan kekacauan kondisi sosial-politik.
Habibie, yang biasa disapa Rudy ini, menyadari tugas berat yang dia sandang. Salah satu tugas berat itu, seperti ditulis Habibie sendiri, “Saya mewarisi bentuk institusi kepresidenan yang sangat berkuasa dalam lingkungan dan budaya feodal. Hal ini harus segera saya akhiri, tanpa memberi kesan yang dapat disimpulkan sebagai ‘penguasa’ yang lemah dan takut.”
Lebih dari itu, Habibie sendiri pasti akan dipandang sebagai bagian dari Orde Baru. “Saya menyadari dan dapat mengerti jikalau yang pernah dirugikan dalam masa Orde Baru menilai negatif, bahkan bersikap anti kepada saya karena kedudukan dan kedekatan saya dengan kekuasaan selama hampir 25 tahun lamanya, serta menganggap saya ikut bertanggung jawab atas terjadinya multikrisis yang dihadapi. Oleh karena itu, sikap saya dalam menghadapi semua persoalan harus arif dan toleran demi persatuan dan kesatuan dua ratus juta lebih penduduk Indonesia,” tulis Habibie.
Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936 ini sebenarnya figur idola publik. Kecerdasan dan kepakarannya dalam teknik penerbangan membuat Habibie dikagumi anak-anak dan banyak orang. Habibie menjadi simbol kecerdasan bangsa Indonesia yang mendapat pengakuan internasional. Semasa pemerintahan Soeharto, Habibie menduduki berbagai jabatan, mulai dari menteri sampai pengelola industri strategis. Habibie pun identik dengan teknologi dan industri.
Namun, kehebatan Habibie rupanya bukan hanya dalam perkara teknologi dan industri. Putra keempat dari delapan bersaudara pasangan Alwi Abdul Djalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardoyo ini juga diakui kehebatannya dalam pengembangan sumber daya manusia. Nafthalia (2008) mengutip pernyataan Letjen (Purn.) Djatikusumo yang melihat sisi lain dari Habibie. “Kalau dia bisa buat pesawat terbang, saya tidak kagum. Tapi kalau ia bisa membuat orang-orang yang bisa membuat pesawat terbang dalam waktu singkat, tidak sampai satu generasi, itu saya kagumi. Itu yang paling hebat,” kata Djatikusumo.
Tak hanya itu, dalam masa jabatan kepresidenannya, Habibie menjadi orang yang berupaya untuk menempatkan rakyat pada posisi terhormat. Kedaulatan rakyat dia junjung tinggi. Karena itu, Habibie menegaskan, “Kebebasan berbicara, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan kebebasan unjuk rasa harus segera dilaksanakan.”
Langkah yang dia tempuh antara lain menghapus keharusan memperoleh izin untuk penerbitan media. Selain itu, Habibie juga membuka kesempatan bagi pendirian partai politik baru secara multipartai, suatu kebijakan yang berbeda dari Orde Baru yang hanya mengizinkan keberadaan tiga partai politik. Hal ini ia maksudkan untuk mengembangkan parlemen yang memiliki legitimasi kuat sebagai hasil dari pemilihan umum yang bebas. Pemilu yang diselenggarakan pada masa pemerintahan Habibie pun diikuti oleh 48 partai politik.
Habibie juga mencabut larangan berdirinya berbagai organisasi tunggal. Organisasi profesi seperti wartawan tidak lagi tunggal, seperti pada masa Orde Baru, yang hanya mengakui keberadaan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Begitu juga dengan organisasi kaum buruh, Habibie membolehkan pendirian serikat-serikat buruh independen. Habibie pun membebaskan tahanan politik yang mendekam di penjara karena pendiriannya berseberangan dengan rezim Soeharto. Tokoh buruh, Mochtar Pakpahan, yang dituduh memicu kerusuhan buruh di Medan pada 1994, dibebaskan. Selain itu, tokoh oposisi yang keras mengkritik Presiden Soeharto, Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas, juga dibebaskan.
Pemerintahan Habibie menghadapi kenyataan karut-marutnya perekonomian nasional akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara Asia. Nilai rupiah terhadap dolar AS jatuh terpuruk hingga titik terendah, yaitu lebih dari Rp15.000 per 1 dolar AS. Tingkat kemiskinan dengan sendirinya melonjak. Kebebasan politik yang dinikmati rakyat Indonesia yang memulihkan kedaulatan rakyat tidak diikuti dengan tingkat kesejahteraan yang membaik. Pemerintahan Habibie memang kemudian berhasil mengendalikan nilai tukar rupiah hingga menjadi Rp 8.000-an per 1 dolar AS, namun masalah kesejahteraan rakyat masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini.
Pemerintahan Habibie juga berusaha memperbaiki iklim perekonomian nasional. Praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat diupayakan untuk dihentikan dengan mengundangkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat. Konsumen pun berusaha dilindungi hak-haknya sehingga tidak menjadi sasaran perilaku bisnis yang buruk. Perihal ini, pemerintahan Habibie memberikan jaminan hukum melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Habibie berusaha melakukan perubahan dengan menjunjung kedaulatan rakyat. Bagi Habibie, tugas penting pemimpin adalah melakukan perubahan. Untuk bisa melakukan perubahan, Habibie mensyaratkan bahwa pemimpin mesti memiliki wawasan. “Dalam hal ini yang penting adalah wawasan. Ini adalah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan. Tiap pemimpin harus melakukan perubahan,” kata Habibie. Wawasan diperlukan untuk mengembangkan kreativitas yang akan diperlukan untuk menyelenggarakan perubahan.
Prinsip kepemimpinan untuk mengembalikan kedaulatan rakyat, ditegaskan Habibie, memang bukan hanya soal wawasan, melainkan juga soal pandangan bahwa tugas yang diemban merupakan amanah untuk beramal. Pemimpin bukan hanya untuk mencapai kesuksesan duniawi saja, melainkan juga beramal. Dengan cara seperti itu, Habibie menegaskan bahwa menjadi pemimpin bukan untuk meraih kekuasaan, melainkan untuk mengembangkan relasi kemanusiaan yang penuh kasih sayang dan saling menghargai. Karena itu, menjadi pemimpin, bagi Habibie, berarti melayani sesama manusia. Dengan begitu, pemimpin akan selalu berusaha memberikan rahmat bagi sekalian rakyatnya.
sumber: http://rilis.id/menjadi-pemimpin-ala-habibie.html
0
1.8K
14


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan