josua5itumorangAvatar border
TS
josua5itumorang
MENGINTIP “UANG NEGARA” DI KELURAHAN DKI JAKARTA


SUMBER: klik di sini

JAKARTA (NuSa).- nusantarasatoe.com

Saat ini, seluruh kelurahan di DKI Jakarta, sebagai ujung tombak pemerintah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dipercaya mengelola “uang negara” dalam jumlah yang lumayan menggiurkan.

NuSa mencoba mengintip besaran dan aktivitas penyerapan anggaran tersebut pada beberapa kelurahan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur.

Tahun 2015, Kelurahan Cipinang Besar Selatan memiliki anggaran sebesar Rp 3,43 miliar untuk 88 kegiatan yang diserap melalui jasa penyedia (pihak ketiga), dan 18 kegiatan swakelola senilai Rp 5,39 miliar. Sementara di tahun 2016, terdapat anggaran sebesar Rp 5,78 miliar untuk 107 kegiatan swakelola.

Kelurahan Cipinang Muara, tahun 2015, dibekali Rp 1,22 miliar untuk 21 kegiatan melalui jasa penyedia. Lalu, di tahun 2016, ia memiliki anggaran sebesar Rp 2,2 miliar untuk 25 kegiatan lewat jasa penyedia, dan Rp 6,65 miliar melalui 8 kegiatan swakelola.

Begitu juga Kelurahan Pondok Kopi. Tahun 2015, kelurahan ini mendapat alokasi dana senilai Rp 1 miliar bagi 8 kegiatan melalui jasa penyedia dan Rp 1,12 miliar untuk 65 kegiatan swakelola. Pada tahun 2016, anggarannya bagi 7 kegiatan melalui jasa penyedia tercatat sebesar Rp 581,93 juta, dan untuk 43 kegiatan swakelola senilai Rp 6,3 miliar.

Besarnya “uang negara” yang dicantolkan di kelurahan itu tak lepas dari kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam meningkatkan akses pelayanan publik, yang —antara lain— ditandai dengan peluncuran 9 kanal pengaduan: SMS Center, Call Center, Facebook, Twitter, Balai Warga, Email, situs LAPOR, dan aplikasi Qlue.

Pada kebijakan tersebut, kelurahan menjadi barisan terdepan untuk merespon setiap keluhan warga yang mengalir lewat kanal-kanal pengaduan tadi. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian setiap kelurahan di DKI Jakarta dibekali anggaran dari “uang negara” yang cukup besar.

Lantas, seperti apa metoda penyerapan anggaran tersebut di sana, terutama yang dilakukan melalui jasa pihak ketiga?

Beredar dugaan, terutama di kalangan masyarakat setempat dan para aktivis gerakan anti-korupsi, penyerapan anggaran bagi kegiatan melalui jasa penyedia itu cenderung hanya didasari oleh faktor “kedekatan” dengan pejabat lurahnya.

“Anggaran-anggaran itu cuma jadi bancakan kroni-kroni Pak Lurah. Hanya berputar-putar dari orang-orang yang itu-itu juga, baik untuk kegiatan fisik maupun pengadaan,” kata Tb. Barkah Maulana, Ketua LSM Formasi (Forum Masyarakat Anti-Korupsi), kepada NuSa.

Menurut Barkah, anggaran-anggaran di kelurahan itu semuanya dipecah pada kegiatan-kegiatan kecil bernilai di bawah Rp 200 juta. Jadi, sesuai Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015, yang merupakan perubahan paling mutakhir dari Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pemilihan penyedianya dilakukan melalui Penunjukan Langsung (PL) alias tanpa proses tender.

“Di situlah letak kerawanannya. Karena memiliki kedekatan dengan Pak Lurah, sebuah perusahaan bisa secara begitu saja menjadi pelaksana dari kegiatan-kegiatan tersebut. Padahal, bukan mustahil, perusahaan tersebut memiliki cacat administrasi, karena —misalnya— sedang kena sanksi blacklist (daftar hitam) sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan di setiap proses tender,” kata Barkah lagi.

Menanggapi sinyalemen semacam demikian, Lurah Cipinang Besar Selatan, Agung Budi Santoso, berjanji akan segera memberikan klarifikasinya dalam waktu dekat ini. Sementara Lurah Cipinang Muara dan Pondok Kopi sama sekali tak bisa dihubungi. (smm).***
SUMBER: klik di sini
0
2.1K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan