

TS
romperstomper
[HSI] Fear and Loathing in Las Vegas
Quote:
Quote:
![[HSI] Fear and Loathing in Las Vegas](https://dl.kaskus.id/www.emptymirrorbooks.com/wp-content/uploads/2014/02/hunter-s-thompson-fear-and-loathing.jpg)
Judul:Fear and Loathing in Las Vegas
Penulis: Hunter S. Thompson
Penerbit: Random House
Tebal Buku: 204 halaman
Rilis: November 1971 (majalah) & July 1972 (buku)
Quote:
Hunter S. Thompson adalah jurnalisme gonzo (Gonzo Journalism), dan jurnalisme gonzo adalah Hunter S. Thompson. Keduanya merupakan hal yang tidak bisa terpisahkan, dan tentu saja kita tidak bisa membahas yang satu tanpa mengikutsertakan yang lain. Gonzo Journalismsendiri merupakan gaya jurnalistik yang ditulis secara subjektif, sering termasuk reportase sebagai bagian dari cerita lewat sudut pandang orang pertama. Tentu saja saya tidak akan membahas secara lebih detail tentang salah satu gaya jurnalisme ini, dan untuk selanjutnya akan mulai membahas tentang salah satu buku favorit saya ini.
Quote:
Jurnalisme, kontra budaya dan perjalanan psikedelik.
Pertama kali saya membaca buku ini mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Bukan langsung dari bentuk fisik sebuah buku, perkenalan pertama saya justru datang dari sebuah film yang diadaptasi dari buku berjudul sama. Film berdurasi 118 menit yang berhasil membawa saya ke dalam sebuah petualangan berkandungan halusinogen yang sangat sukses menyajikan suasana surrealdan meledak-ledak hingga meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi saya yang langsung terdorong untuk mencari versi bukunya.
“We were somewhere around Barstow on the edge of the desert when the drugs began to take hold.”
Sepenggal kalimat pembuka yang sedikit membocorkan elemen kunci dari sebuah perjalanan sinting sepanjang 204 halaman. Yap, narkotika. Beragam jenisnya, bahkan sampai yang terdengar cukup asing, diperkenalkan secara intim oleh Thompson. Efek samping setiap zat adiksi dipaparkan cukup mendalam, cukup nyata hingga saya dengan mudah bisa membayangkan sensasi trip hanya dengan membaca setiap deskripsinya. Dalam setiap tulisannya, tidak sekali pun Thompson berusaha menutupi kecintaannya terhadap narkotika. Justru ia mengemasnya dengan sedemikian rupa sebagai bumbu penyedap yang menjadikan buku ini terasa begitu lezat untuk disantap hingga berulang-ulang kali.
Narkotika begitu lekat dengan alur cerita, sampai saat pertama kali membaca saya sempat berpikir bahwa buku ini tidak lebih dari sekedar ajang pameran narkotika dalam bentuk literasi. Tapi saat perjalanan psikedelik itu selesai pada halaman terakhir, saya menyadari betapa kelirunya penilaian awal saya.
Secara pribadi, menurut saya Fear and Loathing in Las Vegas adalah salah satu karya literatur terbaik Amerika, dan berhasil menginspirasi begitu banyak orang yang kemudian berbondong-bondong meniru perjalanan darat yang dipenuhi dengan kekacauan ini. Tujuannya? Las Vegas tentu saja, kota yang menjadi utopia kenikmatan duniawi dan sumber dari segala keserakahan.
Buku yang bergenre semi-true story (kisah nyata dengan sedikit perubahan) ini mengangkat kisah tentang perjalanan darat dari L.A menuju Las Vegas dengan perbekalan lengkap segala jenis narkotika yang dilakukan oleh sang penulis sendiri, Hunter S. Thompson, dan rekannya yang bernama Oscar Acosta. Keduanya terwujud dalam cerita sebagai tokoh bernama Raoul Duke (Thompson) dan Dr. Gonzo (Acosta).
Adalah Raoul Duke, seorang jurnalis dari majalah tanpa nama, yang memulai perjalanan sarat zat halusinogen ini dengan tujuan meliput sebuah kompetisi balap motor Mint 400 yang digelar di Las Vegas. Perjalanan mereka semakin menggila seiring dosis narkotika yang keduanya konsumsi semakin meninggi. Beragam jenis mulai dari marijuana, mescaline, berbagai jenis pil, kokain, opium, LSD, ether, dan adrenochrome dilahap tanpa pandang bulu.
Membaca setiap halaman buku ini seperti menaiki wahana roller coaster di sebuah taman bermain. Alur cerita yang bergerak liar turun-naik, dan bahkan berlari lepas meninggalkan garis cerita yang seharusnya menjadi pedoman hingga bab penutup. Tapi hal tersebutlah yang membuat Fear and Loathing menjadi sebuah karya tulis yang mengagumkan. Keberanian untuk keluar dari jalan cerita dan membiarkan alurnya mengapung seolah tanpa tujuan membuat buku ini tersaji berbeda. Begitu unik dan berani. Seperti Raoul dan Dr. Gonzo, serta serangkaian pengalaman halusinogen aneh dimana mereka merusak seisi kamar hotel, menghancurkan mobil, dan berhalusinasi tentang hewan-hewan antropomorfis dari padang pasir. Sementara di balik semua itu merenungkan tentang konsep Impian Amerika (American Dream) yang mengalami kemunduran dan kontra budaya di tengah gemerlapnya kota yang penuh keserakahan pada tahun 1960an.
Tapi bukan berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. Beberapa lelucon yang dilempar terkesan garing dan tak jarang meleset dari maksud dan tujuan yang tersirat. Terlebih alur yang bebas menyebabkan jalan cerita cenderung melebar dan tidak memiliki titik jelas yang dituju sebagai akhir penutup cerita.
Hunter S. Thompson sebagai penulis juga tidak lupa menyisipkan sentilan-sentilan atas kondisi sosial yang terjadi di era tersebut. Dimana berbagai gejolak tengah terjadi di dalam sebuah negara adidaya, sementara perang di Vietnam masih berlangsung dan gelombang perlawanan muda-mudi yang melabeli diri mereka dengan istilah Generasi Bunga (Flower Generation) memberontak lewat potongan persegi LSD, ataupun Presiden Nixon yang mendeklarasikan perang terhadap narkotika pada salah satu pidatonya dari Gedung Putih.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya begitu menikmati buku Fear and Loathing in Las Vegas ini. Sebuah kritik sosial, potret kondisi negara, dan budaya candu yang dikemas secara cerdas, memberikan kesempatan bagi kita untuk sedikit mengintip tentang situasi dan budaya yang mewarnai Amerika Serikat di tahun 1960an.
Pertama kali saya membaca buku ini mungkin sekitar 10 tahun yang lalu. Bukan langsung dari bentuk fisik sebuah buku, perkenalan pertama saya justru datang dari sebuah film yang diadaptasi dari buku berjudul sama. Film berdurasi 118 menit yang berhasil membawa saya ke dalam sebuah petualangan berkandungan halusinogen yang sangat sukses menyajikan suasana surrealdan meledak-ledak hingga meninggalkan kesan yang cukup dalam bagi saya yang langsung terdorong untuk mencari versi bukunya.
“We were somewhere around Barstow on the edge of the desert when the drugs began to take hold.”
Sepenggal kalimat pembuka yang sedikit membocorkan elemen kunci dari sebuah perjalanan sinting sepanjang 204 halaman. Yap, narkotika. Beragam jenisnya, bahkan sampai yang terdengar cukup asing, diperkenalkan secara intim oleh Thompson. Efek samping setiap zat adiksi dipaparkan cukup mendalam, cukup nyata hingga saya dengan mudah bisa membayangkan sensasi trip hanya dengan membaca setiap deskripsinya. Dalam setiap tulisannya, tidak sekali pun Thompson berusaha menutupi kecintaannya terhadap narkotika. Justru ia mengemasnya dengan sedemikian rupa sebagai bumbu penyedap yang menjadikan buku ini terasa begitu lezat untuk disantap hingga berulang-ulang kali.
Narkotika begitu lekat dengan alur cerita, sampai saat pertama kali membaca saya sempat berpikir bahwa buku ini tidak lebih dari sekedar ajang pameran narkotika dalam bentuk literasi. Tapi saat perjalanan psikedelik itu selesai pada halaman terakhir, saya menyadari betapa kelirunya penilaian awal saya.
Secara pribadi, menurut saya Fear and Loathing in Las Vegas adalah salah satu karya literatur terbaik Amerika, dan berhasil menginspirasi begitu banyak orang yang kemudian berbondong-bondong meniru perjalanan darat yang dipenuhi dengan kekacauan ini. Tujuannya? Las Vegas tentu saja, kota yang menjadi utopia kenikmatan duniawi dan sumber dari segala keserakahan.
Buku yang bergenre semi-true story (kisah nyata dengan sedikit perubahan) ini mengangkat kisah tentang perjalanan darat dari L.A menuju Las Vegas dengan perbekalan lengkap segala jenis narkotika yang dilakukan oleh sang penulis sendiri, Hunter S. Thompson, dan rekannya yang bernama Oscar Acosta. Keduanya terwujud dalam cerita sebagai tokoh bernama Raoul Duke (Thompson) dan Dr. Gonzo (Acosta).
Adalah Raoul Duke, seorang jurnalis dari majalah tanpa nama, yang memulai perjalanan sarat zat halusinogen ini dengan tujuan meliput sebuah kompetisi balap motor Mint 400 yang digelar di Las Vegas. Perjalanan mereka semakin menggila seiring dosis narkotika yang keduanya konsumsi semakin meninggi. Beragam jenis mulai dari marijuana, mescaline, berbagai jenis pil, kokain, opium, LSD, ether, dan adrenochrome dilahap tanpa pandang bulu.
Membaca setiap halaman buku ini seperti menaiki wahana roller coaster di sebuah taman bermain. Alur cerita yang bergerak liar turun-naik, dan bahkan berlari lepas meninggalkan garis cerita yang seharusnya menjadi pedoman hingga bab penutup. Tapi hal tersebutlah yang membuat Fear and Loathing menjadi sebuah karya tulis yang mengagumkan. Keberanian untuk keluar dari jalan cerita dan membiarkan alurnya mengapung seolah tanpa tujuan membuat buku ini tersaji berbeda. Begitu unik dan berani. Seperti Raoul dan Dr. Gonzo, serta serangkaian pengalaman halusinogen aneh dimana mereka merusak seisi kamar hotel, menghancurkan mobil, dan berhalusinasi tentang hewan-hewan antropomorfis dari padang pasir. Sementara di balik semua itu merenungkan tentang konsep Impian Amerika (American Dream) yang mengalami kemunduran dan kontra budaya di tengah gemerlapnya kota yang penuh keserakahan pada tahun 1960an.
Tapi bukan berarti buku ini tidak memiliki kekurangan. Beberapa lelucon yang dilempar terkesan garing dan tak jarang meleset dari maksud dan tujuan yang tersirat. Terlebih alur yang bebas menyebabkan jalan cerita cenderung melebar dan tidak memiliki titik jelas yang dituju sebagai akhir penutup cerita.
Hunter S. Thompson sebagai penulis juga tidak lupa menyisipkan sentilan-sentilan atas kondisi sosial yang terjadi di era tersebut. Dimana berbagai gejolak tengah terjadi di dalam sebuah negara adidaya, sementara perang di Vietnam masih berlangsung dan gelombang perlawanan muda-mudi yang melabeli diri mereka dengan istilah Generasi Bunga (Flower Generation) memberontak lewat potongan persegi LSD, ataupun Presiden Nixon yang mendeklarasikan perang terhadap narkotika pada salah satu pidatonya dari Gedung Putih.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya begitu menikmati buku Fear and Loathing in Las Vegas ini. Sebuah kritik sosial, potret kondisi negara, dan budaya candu yang dikemas secara cerdas, memberikan kesempatan bagi kita untuk sedikit mengintip tentang situasi dan budaya yang mewarnai Amerika Serikat di tahun 1960an.
Rate: 5/5 (highly recommended)
Diubah oleh romperstomper 25-06-2017 00:38
0
2.8K
Kutip
5
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan