

TS
pesurathati
[HSI] Meretas Ruang dan Waktu Melalui Novel Ronggeng Dukuh Paruk
![[HSI] Meretas Ruang dan Waktu Melalui Novel Ronggeng Dukuh Paruk](https://s.kaskus.id/images/2017/06/23/6301577_20170623011155.jpg)
Identitas Buku
Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Tahun terbit : 2016 (cetakan keduabelas)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 406 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 15 x 21 cm
Judul Buku : Ronggeng Dukuh Paruk
Penulis : Ahmad Tohari
Tahun terbit : 2016 (cetakan keduabelas)
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku : 406 Halaman
Dimensi Buku (Px L): 15 x 21 cm
Quote:
Buku adalah jendela dunia, begitulah kira-kira pribahasa yang sering kita dengar selama ini. Dengan membaca buku kita tidak sekadar bisa melihat dunia secara lebih luas, tapi juga dapat memasuki era masa lalu dan masa depan. Dengan membaca buku, kita juga dapat mempelajari kebudayaan yang ada di berbagai tempat. Salah satu novel yang merepresentasikan itu semua adalah novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk. Novel karya Ahmad Tohari ini lahir di tahun 80-an dengan konsep trilogi dengan judul Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Beberapa bagian dari trilogi novel ini telah diterjemahkan ke berbagai negara seperti Jerman, Belanda, Inggris, dan Jepang. Karena trilogi ini sebenarnya merupakan satu kesatuan cerita yang harus dinikmati secara utuh dan berurutan, maka kemudian PT Gramedia Pustaka Utama mengusung dan menerbitkan sebuah novel utuh gabungan ketiganya pada tahun 2003 dan telah memasuki cetakan keduabelas pada tahun 2016. Novel Ronggeng Dukuh Parukpun sudah diekranisasi dalam bentuk layar lebar yang cukup terkenal dengan judul "Sang Penari" (2011) yang kemudian memengangkan Piala Citra dalam Festival Film Indonesia pada tahun yang sama.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita seputar dunia peronggengan di Dukuh Paruk. Tokoh utamanya, yakni Rasus dan Srintil, keduanya merupakan anak dari Dukuh Paruk yang ditinggal mati oleh orang tuanya akibat malapetaka tempe bongkrek. Srintil yang mempunyai wajah ayu, serta dipercaya memiliki ‘indang ronggeng’ di dalam tubuhnya, kemudian menjadi penerus ronggeng di Dukuh Paruk setelah sekitar 11 tahun tidak ada wanita peronggeng di dukuh tersebut. Rasus yang melihat sosok emaknya dalam diri Srintil, perlahan kehilangan gambaran itu semenjak Srintil menekuni dunia ronggeng. Untuk bisa menjadi ronggeng secara profesional tidaklah serta merta, melainkan harus menjalani beberapa ritual yang mesti dijalani terlabih dahulu oleh Srintil. Ketidaaksetujuan Rasus akan ritual-ritual dan pekerjaan yang harus dijalani Srintil sebagai ronggeng, akhirnya membawa Rasus pergi dari Dukuh Paruk ke sebuah desa bernama Dawuan, dan dari sana lah cerita hidup baru Rasus dimulai.
Selama menjadi ronggeng, kehidupan Srintil yang tadinya melarat menjadi bergelimang harta dan dikagumi banyak orang. Sebagai seorang ronggeng Srintil harus rela menjalani banyak hal berat yang berkaitan dengan kelelakian, salah satunya adalah ketika ia diminta untuk menjadi seorang Gowok. Sedangkan pada masa remajanya, Rasus menjalani hidup dalam lingkungan militer.
Kisah dalam novel ini dimulai dengan penggambaran suasana Dukuh Paruk beserta kegiatan para penghuninya. Ahmad Tohari sebagai seorang penulis memang terkenal begitu kuat dalam menggambarkan suasana alam. Hal semacam ini membuat pembaca seperti secara langsung menyaksikan atau bahkan berada di tempat yang diceritakan tersebut. Dukuh Paruk yang kental akan adat istiadat serta kepercayaannya—terhadap Ki Secamenggala—merupakan sebuah potret sosial budaya yang coba digambarkan oleh penulis tentang sebuah dukuh di daerah selatan Jawa pada kisaran tahun 60—70-an. Sebuah kebudayaan yang kadang sering luput dari mata masyarakat perkotaan.
Novel ini tak hanya berhasil membawa pembacanya jalan-jalan menelusuri sebuah wilayah bernama Dukuh Paruk, namun juga membawa pembaca bertualang ke zaman lampau. Cerita yang mengambil latar pada tahun 60—70-an ini, bertepatan dengan sebuah tragedi besar yang ada di Indonesia. Sebuah gerakan yang begitu gamang untuk dibicarakan pada masanya. Di era milenial ini novel Ronggeng Dukuh Paruk mengajak pembacanya untuk mengintip bagaimana fenomena tersebut berlangsung. Sebuah gambaran sejarah yang jarang atau bahkan tidak mungkin secara eksplisit diajarkan dan dipelajari di bangku-bangku sekolah.
Meskipun tergolong novel lama, namun novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki bahasa yang mudah dipahami. Alur yang ringan dengan dominasi alur maju ditambah dengan perumitan peristiwa pada tiap segmennya menjadikan novel ini menarik dan tidak membosankan untuk diikuti.
Novel dengan cover berwarna oranye ini merupakan salah satu karya sastra kanon di Indonesia dan kental akan nuansa kebudayaan, ideologi, spiritual, hingga kisah asmara. Maka tak heran jika novel yang satu ini merupakan salah satu referensi yang pas bagi teman-teman yang hobi dalam membaca buku, khususnya karya sastra bergenre antropologi-sejarah.
Ronggeng Dukuh Paruk bercerita seputar dunia peronggengan di Dukuh Paruk. Tokoh utamanya, yakni Rasus dan Srintil, keduanya merupakan anak dari Dukuh Paruk yang ditinggal mati oleh orang tuanya akibat malapetaka tempe bongkrek. Srintil yang mempunyai wajah ayu, serta dipercaya memiliki ‘indang ronggeng’ di dalam tubuhnya, kemudian menjadi penerus ronggeng di Dukuh Paruk setelah sekitar 11 tahun tidak ada wanita peronggeng di dukuh tersebut. Rasus yang melihat sosok emaknya dalam diri Srintil, perlahan kehilangan gambaran itu semenjak Srintil menekuni dunia ronggeng. Untuk bisa menjadi ronggeng secara profesional tidaklah serta merta, melainkan harus menjalani beberapa ritual yang mesti dijalani terlabih dahulu oleh Srintil. Ketidaaksetujuan Rasus akan ritual-ritual dan pekerjaan yang harus dijalani Srintil sebagai ronggeng, akhirnya membawa Rasus pergi dari Dukuh Paruk ke sebuah desa bernama Dawuan, dan dari sana lah cerita hidup baru Rasus dimulai.
Selama menjadi ronggeng, kehidupan Srintil yang tadinya melarat menjadi bergelimang harta dan dikagumi banyak orang. Sebagai seorang ronggeng Srintil harus rela menjalani banyak hal berat yang berkaitan dengan kelelakian, salah satunya adalah ketika ia diminta untuk menjadi seorang Gowok. Sedangkan pada masa remajanya, Rasus menjalani hidup dalam lingkungan militer.
Kisah dalam novel ini dimulai dengan penggambaran suasana Dukuh Paruk beserta kegiatan para penghuninya. Ahmad Tohari sebagai seorang penulis memang terkenal begitu kuat dalam menggambarkan suasana alam. Hal semacam ini membuat pembaca seperti secara langsung menyaksikan atau bahkan berada di tempat yang diceritakan tersebut. Dukuh Paruk yang kental akan adat istiadat serta kepercayaannya—terhadap Ki Secamenggala—merupakan sebuah potret sosial budaya yang coba digambarkan oleh penulis tentang sebuah dukuh di daerah selatan Jawa pada kisaran tahun 60—70-an. Sebuah kebudayaan yang kadang sering luput dari mata masyarakat perkotaan.
Novel ini tak hanya berhasil membawa pembacanya jalan-jalan menelusuri sebuah wilayah bernama Dukuh Paruk, namun juga membawa pembaca bertualang ke zaman lampau. Cerita yang mengambil latar pada tahun 60—70-an ini, bertepatan dengan sebuah tragedi besar yang ada di Indonesia. Sebuah gerakan yang begitu gamang untuk dibicarakan pada masanya. Di era milenial ini novel Ronggeng Dukuh Paruk mengajak pembacanya untuk mengintip bagaimana fenomena tersebut berlangsung. Sebuah gambaran sejarah yang jarang atau bahkan tidak mungkin secara eksplisit diajarkan dan dipelajari di bangku-bangku sekolah.
Meskipun tergolong novel lama, namun novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki bahasa yang mudah dipahami. Alur yang ringan dengan dominasi alur maju ditambah dengan perumitan peristiwa pada tiap segmennya menjadikan novel ini menarik dan tidak membosankan untuk diikuti.
Novel dengan cover berwarna oranye ini merupakan salah satu karya sastra kanon di Indonesia dan kental akan nuansa kebudayaan, ideologi, spiritual, hingga kisah asmara. Maka tak heran jika novel yang satu ini merupakan salah satu referensi yang pas bagi teman-teman yang hobi dalam membaca buku, khususnya karya sastra bergenre antropologi-sejarah.
Quote:
Hatiku bertembang pada kesadaran jiwa yang amat dalam. Hidup pribadiku tentulah sangat kecil bila dibandingkan dengan besar dan luasnya totalitas kehidupan. Namun dalam kekecilan hidupku aku merasa telah menemukan sebuah makna. Memang tidak gemerlap. Tetapi dia akan sangat berharga bila suatu ketika dirku sendiri bertanya, apakah yang sudah kuperbuat dalam hidupku yang bersahaja ini[…]
(Ahmad Tohari dlm. RDP, 2016:392)
Penilaian Buku 4.8/5
0
4.4K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan