- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Waria Yogyakarta, Suara Lirih Surat Hud, dan Karya Seni Tamara


TS
aghilfath
Waria Yogyakarta, Suara Lirih Surat Hud, dan Karya Seni Tamara
Spoiler for Waria Yogyakarta, Suara Lirih Surat Hud, dan Karya Seni Tamara:

Quote:
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pemimpin Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Kotagede Yogyakarta, Shinta Ratri duduk bersila, menunduk dan khusyuk membaca Al-Quran. Sore hari, menjelang waktu buka pada puasa pekan kedua, waria itu mengenakan jilbab berwarna cokelat dan baju muslim warna hitam. Ia pelan dan lirih membaca Surat Hud. Dia terdengar lancar melafalkan Surat Hud ayat 71-80. Surat Hud bicara tentang keistimewaan Al-Quran dan larangan mempersekutukan Allah.
Aprilia Ike Nur Wijayanti, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mendampingi Shinta ketika membaca surat itu. Aprilia duduk di samping Shinta menghadap Al-Quran. Dia menyimak dan sedikit membenarkan pelafalan ayat-ayat suci oleh Shinta. Terkadang, Shinta kurang bisa membedakan cara baca huruf kaf dan fa, ba dan ya. Menurut Ike, Shinta sudah bagus membaca Al-Quran.
Pondok Pesantren Waria menambah jadwal mengaji selama puasa. Setiap pekan, waria mengaji selama dua kali, Ahad dan Rabu sore. Pada hari biasa, mereka mengaji satu kali setiap pekan, yakni Ahad. Ada sepuluh waria yang ikut mengaji pada puasa tahun ini. Mereka juga menjalankan salat tarawih bersama. Shinta mengenakan mukena ketika salat. “Kami juga rutin salat tahajud, sahur bersama, dan tadarus Al-Quran,” kata Shinta Ratri, Kamis, 22 Juni 2017.
Selain Shinta, waria Yuni Shara Al Buchory atau akrab dipanggil YS juga mengaji. Sekretaris Ponpes Waria itu membaca Iqro 5 ditemani mahasiswi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Inestya Kartika. Mereka mengaji hingga jam buka puasa tiba. Waria Nur Ayu menjadi koki andalan ponpes. Ia yang memasak dan menyajikan makanan untuk buka puasa. Ayam goreng, nasi, kolak hangat, dan teh tersaji di meja.
Sore itu, pondok pesantren berpintu hijau ramai orang. Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada datang ke sana untuk melakukan riset. Ada juga sejumlah siswa Sekolah Menengah Atas De Britto yang sedang mendokumentasikan kegiatan Ponpes Waria untuk tugas kelas. Suasana terasa hangat. Mereka berbuka puasa bersama. Siswa Katolik De Britto pun ikut mencicipi kolak dan makanan racikan waria Ayu Nur.
Kegiatan belajar agama Islam waria yang menjadi santri pondok pesantren sempat terputus. Belasan orang atas nama Front Jihad Islam (FJI) menggeruduk ponpes yang berdiri di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok itu mendatangi pondok pesantren itu pada 19 Februari 2016.
Komandan FJI, Abdurrahman, mengatakan lesbian, gay, biseks, dan transgender berdasarkan hukum agama wajib dibunuh. Ia menyamakan waria dengan orang yang berzina dan penuh dosa. “Sesuai Syariat Islam, memperlakukan waria tidak boleh pakai perasaan. Sesuai hukum agama, waria layak dilempar dari tempat yang tinggi seperti yang dilakukan pada zaman Nabi Luth,” kata Abdurrahman.
Kedatangan rombongan FJI ke Ponpes Waria, kata Aburrahman adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, frasa dalam Bahasa Arab yang punya arti perintah kepada hal-hal baik dan mencegah hal-hal buruk sesuai syariat Islam. Menurut dia, kebradaan LGBT wajib ditolak karena menyimpang secara seksual. “Itu dosa. Kami tidak bisa toleran untuk keburukan,” kata dia.
Pondok pesantren waria itu berdiri di tengah perkampungan. Di sekitarnya terdapat rumah-rumah tradisional berarsitektur Jawa. Untuk menuju ke sana, orang harus melalui gang sempit. Pesantren berdiri di kawasan Kotagede sejak tahun 2014. Sebelumnya Ponpes Waria berdiri di Notoyudan, menempati rumah kontrakan Maryani pada 2008. Maryani menjadi ketuanya.
Berdirinya pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian Kiai Haji Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. K.H. Hamrolie juga yang memberi nama Pondok Pesantren Al-Fattah. Nama itu berasal dari pengajian mujahadah yang diselenggarakan K.H. Hamrolie.
Ia menjadi pembina pondok itu. Tahun 2013, K.H. Hamrolie meninggal. Setahun kemudian, Maryani meninggal. Ponpes pindah ke kawasan Kotagede di rumah Shinta Ratri, ketua pondok pesantren yang sekarang, pada 2014. Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Kiai Abdul Muhaimin kini menjadi pembinanya. Abdul Muhaimin pernah mengatakan waria punya hak untuk menghayati dan belajar agama. “Waria makhluk Tuhan. Dengan basis kemanusiaan, saya mendampingi waria belajar agama,” kata dia.
Ustad yang mendampingi waria di pondok Al-Fattah, Arif Nuh Safri, juga mengecam larangan belajar agama dan ibadah untuk waria. Menurut dia, menjalankan ibadah merupakan hak setiap orang, tidak memandang dia waria atau bukan waria. Arif yang mendampingi waria sejak tahun 2010 menegaskan tidak ada kegiatan yang menyimpang di pondok itu. “Orang mau ibadah kok harus taubat,” kata Arif.
Aksi intoleransi FJI mendapat sokongan dari Forum Ukhuwah Islamiyah. Sebanyak 150 aktivis pro-demokrasi Yogyakarta mendapat ancaman dari kelompok intoleransi ketika mereka berunjuk rasa secara damai pada Selasa, 23 Februari 2016.
Sebelum aksi unjuk rasa damai digelar, telah beredar broadcast yang berisi ancaman pembubaran aksi oleh FUI. Dalam broadcast itu tertulis seruan untuk mendokumentasikan para tokoh dan peserta aksi, mencatat jenis kendaraan dan nomor polisinya, serta membuntuti mereka hingga tempat tinggalnya. “Kita buru siapa pun yang bertanggung jawab pada aksi LGBT,” tulis pesan tersebut.
Meski mendapat teror ancaman, para aktivis pro-demokrasi Yogyakarta tetap menggelar aksi mendukung hak kelompok LGBT. Aktivis pro-demokrasi mencatat sejak tahun 2014, terjadi setidaknya 20-an kasus intoleransi dan kekerasan terhadap masyarakat sipil pro-hak asasi manusia.
Semula aktivis akan berdemonstrasi di Tugu. Namun polisi melarang mereka dengan alasan keamanan. Sebab, di Tugu telah berjaga ratusan orang dari angkatan muda FUI. Sebagian dari mereka membawa bendera-bendera berwarna hijau bersama motor mereka di jalan. Dalam aksi itu, mereka menolak keras LGBT melalui spanduk-spanduk.
Penggerudukan LGBT oleh FJI berimbas bagi waria di luar ponpes. Tamara Pertamina satu di antaranya. Tamara merupakan waria yang bersahabat dengan para santri Ponpes Waria. Ia sering berkunjung ke ponpes menemui Shinta Ratri dan para waria yang berkegiatan di sana. Mereka juga kerap bertemu di sejumlah forum diskusi.
Sejak penolakan terhadap LGBT oleh kelompok intoleran mengemuka, Tamara harus pindah dari kontrakannya di sekitar Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Pemilik kontrakan rumah yang disewa Tamara mengusirnya secara halus. Kepada Tamara, pemilik rumah kontrakan itu mengatakan rumahnya akan digunakan keluarganya.
Oktober 2016, Tamara memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kini, ia pindah ke indekos yang baru. Ia kapok menyewa rumah kontrakan dan memilih tinggal di indekos supaya mudah pindah bila terjadi penolakan serupa. “Yogyakarta susah menerima waria. Sebelumnya saya menutup mata seolah diterima oleh tetangga sana sini. Ternyata area itu harus bersih dari LGBT,” kata Tamara.
Ia dikenal sebagai waria yang punya segudang prestasi di bidang kesenian. Tamara punya kemampuan otodidak membuat karya seni. Karyanya di antaranya seni instalasi yang idenya berangkat dari identitas tubuh Tamara sebagai waria. Karya-karya seni Tamara bicara tentang gender dan seksualitas.
Tahun 2015, ia berkolaborasi dengan seniman dari sejumlah negara. Di antaranya, ia tampil dalam Goma Gallery di Brisbane "Asian Pacific Trienale #8", berkolaborasi dengan seniman Ming Wong, Shahmen Suku, dan Bradd Edward. Karya bersama itu berjudul Aku Akan Bertahan.
Tamara juga terlibat dalam acara seni di Gertrude Contemporary Art berjudul Ancient MSG. Ia berkolaborasi dengan empat seniman Australia dan tiga seniman Indonesia. Acara itu dikuratori oleh Kristi Monfries. Ia berkesempatan tampil mengisi workshop di Melbourne Art Culture Victoria.
Dia mengatakan belum banyak orang yang mau menerima waria. Ia berkali-kali harus pindah tempat untuk bertahan hidup. Tahun 2011, Tamara tinggal di indekos di Maguwoharjo, Sleman. Tiga tahun, Tamara tinggal di sana. Ia kerap mengajari bocah-bocah di kawasan itu untuk belajar menggambar dan menghitung. Suatu ketika seorang takmir masjid di kawasan itu mendatangi Tamara di indekosnya.
Tamara kemudian diminta pindah dari indekos itu dengan alasan keberadaannya memberi pengaruh buruk pada anak-anak yang tinggal di sekitar kos Tamara. “Takmir bilang Islam melarang keras banci,” kata Tamara.
Ia tak menyerah. Tamara kemudian mencari tempat baru untuk meneruskan hidupnya di Yogyakarta. Ia melakoni pekerjaan apapun demi menghidupi dirinya. Tamara bekerja membersihkan rumah, kamar mandi seniman. Ia juga bekerja sebagai freelancer, menjadi pemandu wisata di ViaVia Yogyakarta.
Dia pernah mengamen di jalanan pada 2008-2012. Ketika mengamen, Tamara kerap mengalami kekerasan atau pelecehan secara verbal, misalnya diteriaki bencong saat ia mengamen di bus. Suatu hari, Tamara sedang berpuasa. Adzan magrib berkumandang dan ia minta air mineral kepada petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Bukan air mineral yang didapat, melainkan bentakan dari petugas.
Pelecehan secara verbal juga dialami waria Nike Faradila dan Imelda Bahar. Di indekos Imelda Bahar yang sempit di Sorogenen, Kalasan, Sleman, mereka mengisahkan pengalaman mengamen di jalanan. Nike datang ke indekos Imelda untuk berangkat mengamen bersama. Mereka mengatakan kebal menghadapi caci maki pejalan. “Mereka mengolok dan meneriaki kami banci. Kami cueki saja dan terus mengamen,” kata Imelda.
Siang itu, mereka berias, menghiasi wajah dengan bedak, lipstik, dan pensil alis. Baju-baju mereka menumpuk di kasur dan lantai. Mereka lama memilih baju-baju yang cocok sebelum berangkat bekerja. Nike dan Imelda biasa berangkat untuk mengamen pukul 13.00 hingga sore hari. Mereka mengamen di toko-toko, warung, dan jalan. Tape musik mini berisi lagu-lagu mereka siapkan untuk bekal mengamen.
Nike dan Imelda mengamen untuk bertahan hidup dan mengekspresikan identitas mereka sebagai waria. Imelda pernah bekerja menjual makanan, usaha bubur kacang ijo atau burjo, dan bekerja di sejumlah restoran. Nike pernah bekerja di hotel dan restoran. Tapi, mereka memutuskan keluar dari pekerjaan mereka dan kembali mengamen. “Kami lebih nyaman mengamen, memenuhi panggilan jiwa,” kata Nike.
Dosen Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhadjir Darwin, mengatakan terjadi marginalisasi hak-hak LGBT. Masyarakat dan pemerintah belum mengakui keberadaan waria sehingga mereka kerap menjadi obyek diskriminasi.
Waria mendapat stigma negatif dan mengalami pelecehan atau bahan ledekan.“Stigmatisasi agama paling kuat karena mereka dianggap sebagai pihak yang berdosa,” kata Muhadjir.
Organisasi masyarakat intoleran penentang LGBT kerap menggunakan cara-cara kekerasan mengatasnamakan agama. Contoh orang makan pada bulan puasa mereka sweeping. Bahkan untuk urusan makan pun keras, apalagi terhadap waria.
Ia mengkritik negara yang tidak punya aturan spesifik untuk melindungi hak-hak waria sebagai warga negara Indonesia. Akibatnya terdapat pelanggaran hak waria untuk menjalankan ibadah. Contohnya penggerudukan di Ponpes Waria. Padahal, pesantren waria itu merupakan wujud relijiusitas waria.
Mereka seharusnya juga memperoleh hak hidup secara layak, hak bekerja, hak untuk beetempat tinggal, hak untuk mendapatkan layanan publik, dan hak terbebas dari kekerasan. Waria, kata Muhadjir juga punya hak untuk mengekspresikan identitasnya.
Alumni University of Southern California , Amerika Serikat dengan fokus kajian gender dan kesehatan reproduksi itu mengatakan menjadi waria itu sesuatu yang given atau pemberian. Ia memperkirakan perlakukan diskriminatif terhadap waria akan terus terjadi ke depan. Sebab, arus konservatisme semakin terasa akhir-akhir ini.
Menurut Muhadjir, untuk mengatasinya perlu penguatan sistem hukum. Seharusnya ada aturan yang menjamin identitas seksual warga negara. “Keberagaman identitas seksual mestinya dijamin Undang-Undang,” kata dia.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Gama Triono, mengatakan waria tergolong sebagai kalangan yang stateless. Mereka disingkirkan oleh keluarga, masyarakat, sekolah, dan negara. Di tingkat keluarga misalnya, waria seringkali mendapatkan penolakan. Mereka kemudian melarikan diri dari rumah karena penolakan itu.
Di jalanan, waria sangat rentan dengan serangkaian kekerasan di jalan ketika bekerja. Ditambah lagi stigma waria sebagai penyakit dan penyebar HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sedangkan, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi bagi waria masih terbatas. “Mereka mendapatkan stigma dobel dan berlapis,” kata Gama.
Aprilia Ike Nur Wijayanti, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta mendampingi Shinta ketika membaca surat itu. Aprilia duduk di samping Shinta menghadap Al-Quran. Dia menyimak dan sedikit membenarkan pelafalan ayat-ayat suci oleh Shinta. Terkadang, Shinta kurang bisa membedakan cara baca huruf kaf dan fa, ba dan ya. Menurut Ike, Shinta sudah bagus membaca Al-Quran.
Pondok Pesantren Waria menambah jadwal mengaji selama puasa. Setiap pekan, waria mengaji selama dua kali, Ahad dan Rabu sore. Pada hari biasa, mereka mengaji satu kali setiap pekan, yakni Ahad. Ada sepuluh waria yang ikut mengaji pada puasa tahun ini. Mereka juga menjalankan salat tarawih bersama. Shinta mengenakan mukena ketika salat. “Kami juga rutin salat tahajud, sahur bersama, dan tadarus Al-Quran,” kata Shinta Ratri, Kamis, 22 Juni 2017.
Selain Shinta, waria Yuni Shara Al Buchory atau akrab dipanggil YS juga mengaji. Sekretaris Ponpes Waria itu membaca Iqro 5 ditemani mahasiswi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Inestya Kartika. Mereka mengaji hingga jam buka puasa tiba. Waria Nur Ayu menjadi koki andalan ponpes. Ia yang memasak dan menyajikan makanan untuk buka puasa. Ayam goreng, nasi, kolak hangat, dan teh tersaji di meja.
Sore itu, pondok pesantren berpintu hijau ramai orang. Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Gadjah Mada datang ke sana untuk melakukan riset. Ada juga sejumlah siswa Sekolah Menengah Atas De Britto yang sedang mendokumentasikan kegiatan Ponpes Waria untuk tugas kelas. Suasana terasa hangat. Mereka berbuka puasa bersama. Siswa Katolik De Britto pun ikut mencicipi kolak dan makanan racikan waria Ayu Nur.
Spoiler for shalat berjamaah:

Kegiatan belajar agama Islam waria yang menjadi santri pondok pesantren sempat terputus. Belasan orang atas nama Front Jihad Islam (FJI) menggeruduk ponpes yang berdiri di Dusun Celenan, Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kelompok itu mendatangi pondok pesantren itu pada 19 Februari 2016.
Komandan FJI, Abdurrahman, mengatakan lesbian, gay, biseks, dan transgender berdasarkan hukum agama wajib dibunuh. Ia menyamakan waria dengan orang yang berzina dan penuh dosa. “Sesuai Syariat Islam, memperlakukan waria tidak boleh pakai perasaan. Sesuai hukum agama, waria layak dilempar dari tempat yang tinggi seperti yang dilakukan pada zaman Nabi Luth,” kata Abdurrahman.
Kedatangan rombongan FJI ke Ponpes Waria, kata Aburrahman adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, frasa dalam Bahasa Arab yang punya arti perintah kepada hal-hal baik dan mencegah hal-hal buruk sesuai syariat Islam. Menurut dia, kebradaan LGBT wajib ditolak karena menyimpang secara seksual. “Itu dosa. Kami tidak bisa toleran untuk keburukan,” kata dia.
Pondok pesantren waria itu berdiri di tengah perkampungan. Di sekitarnya terdapat rumah-rumah tradisional berarsitektur Jawa. Untuk menuju ke sana, orang harus melalui gang sempit. Pesantren berdiri di kawasan Kotagede sejak tahun 2014. Sebelumnya Ponpes Waria berdiri di Notoyudan, menempati rumah kontrakan Maryani pada 2008. Maryani menjadi ketuanya.
Berdirinya pesantren waria ini bermula dari rutinitas Maryani mengikuti pengajian Kiai Haji Hamrolie Harun, seorang ustad pengasuh pengajian Al Fatah di kawasan Pathuk, Yogyakarta. K.H. Hamrolie juga yang memberi nama Pondok Pesantren Al-Fattah. Nama itu berasal dari pengajian mujahadah yang diselenggarakan K.H. Hamrolie.
Ia menjadi pembina pondok itu. Tahun 2013, K.H. Hamrolie meninggal. Setahun kemudian, Maryani meninggal. Ponpes pindah ke kawasan Kotagede di rumah Shinta Ratri, ketua pondok pesantren yang sekarang, pada 2014. Pengasuh Pesantren Nurul Ummahat Kotagede Kiai Abdul Muhaimin kini menjadi pembinanya. Abdul Muhaimin pernah mengatakan waria punya hak untuk menghayati dan belajar agama. “Waria makhluk Tuhan. Dengan basis kemanusiaan, saya mendampingi waria belajar agama,” kata dia.
Ustad yang mendampingi waria di pondok Al-Fattah, Arif Nuh Safri, juga mengecam larangan belajar agama dan ibadah untuk waria. Menurut dia, menjalankan ibadah merupakan hak setiap orang, tidak memandang dia waria atau bukan waria. Arif yang mendampingi waria sejak tahun 2010 menegaskan tidak ada kegiatan yang menyimpang di pondok itu. “Orang mau ibadah kok harus taubat,” kata Arif.
Aksi intoleransi FJI mendapat sokongan dari Forum Ukhuwah Islamiyah. Sebanyak 150 aktivis pro-demokrasi Yogyakarta mendapat ancaman dari kelompok intoleransi ketika mereka berunjuk rasa secara damai pada Selasa, 23 Februari 2016.
Sebelum aksi unjuk rasa damai digelar, telah beredar broadcast yang berisi ancaman pembubaran aksi oleh FUI. Dalam broadcast itu tertulis seruan untuk mendokumentasikan para tokoh dan peserta aksi, mencatat jenis kendaraan dan nomor polisinya, serta membuntuti mereka hingga tempat tinggalnya. “Kita buru siapa pun yang bertanggung jawab pada aksi LGBT,” tulis pesan tersebut.
Meski mendapat teror ancaman, para aktivis pro-demokrasi Yogyakarta tetap menggelar aksi mendukung hak kelompok LGBT. Aktivis pro-demokrasi mencatat sejak tahun 2014, terjadi setidaknya 20-an kasus intoleransi dan kekerasan terhadap masyarakat sipil pro-hak asasi manusia.
Semula aktivis akan berdemonstrasi di Tugu. Namun polisi melarang mereka dengan alasan keamanan. Sebab, di Tugu telah berjaga ratusan orang dari angkatan muda FUI. Sebagian dari mereka membawa bendera-bendera berwarna hijau bersama motor mereka di jalan. Dalam aksi itu, mereka menolak keras LGBT melalui spanduk-spanduk.
Spoiler for waria:

Penggerudukan LGBT oleh FJI berimbas bagi waria di luar ponpes. Tamara Pertamina satu di antaranya. Tamara merupakan waria yang bersahabat dengan para santri Ponpes Waria. Ia sering berkunjung ke ponpes menemui Shinta Ratri dan para waria yang berkegiatan di sana. Mereka juga kerap bertemu di sejumlah forum diskusi.
Sejak penolakan terhadap LGBT oleh kelompok intoleran mengemuka, Tamara harus pindah dari kontrakannya di sekitar Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Pemilik kontrakan rumah yang disewa Tamara mengusirnya secara halus. Kepada Tamara, pemilik rumah kontrakan itu mengatakan rumahnya akan digunakan keluarganya.
Oktober 2016, Tamara memutuskan untuk kembali ke daerah asalnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kini, ia pindah ke indekos yang baru. Ia kapok menyewa rumah kontrakan dan memilih tinggal di indekos supaya mudah pindah bila terjadi penolakan serupa. “Yogyakarta susah menerima waria. Sebelumnya saya menutup mata seolah diterima oleh tetangga sana sini. Ternyata area itu harus bersih dari LGBT,” kata Tamara.
Ia dikenal sebagai waria yang punya segudang prestasi di bidang kesenian. Tamara punya kemampuan otodidak membuat karya seni. Karyanya di antaranya seni instalasi yang idenya berangkat dari identitas tubuh Tamara sebagai waria. Karya-karya seni Tamara bicara tentang gender dan seksualitas.
Tahun 2015, ia berkolaborasi dengan seniman dari sejumlah negara. Di antaranya, ia tampil dalam Goma Gallery di Brisbane "Asian Pacific Trienale #8", berkolaborasi dengan seniman Ming Wong, Shahmen Suku, dan Bradd Edward. Karya bersama itu berjudul Aku Akan Bertahan.
Tamara juga terlibat dalam acara seni di Gertrude Contemporary Art berjudul Ancient MSG. Ia berkolaborasi dengan empat seniman Australia dan tiga seniman Indonesia. Acara itu dikuratori oleh Kristi Monfries. Ia berkesempatan tampil mengisi workshop di Melbourne Art Culture Victoria.
Dia mengatakan belum banyak orang yang mau menerima waria. Ia berkali-kali harus pindah tempat untuk bertahan hidup. Tahun 2011, Tamara tinggal di indekos di Maguwoharjo, Sleman. Tiga tahun, Tamara tinggal di sana. Ia kerap mengajari bocah-bocah di kawasan itu untuk belajar menggambar dan menghitung. Suatu ketika seorang takmir masjid di kawasan itu mendatangi Tamara di indekosnya.
Tamara kemudian diminta pindah dari indekos itu dengan alasan keberadaannya memberi pengaruh buruk pada anak-anak yang tinggal di sekitar kos Tamara. “Takmir bilang Islam melarang keras banci,” kata Tamara.
Ia tak menyerah. Tamara kemudian mencari tempat baru untuk meneruskan hidupnya di Yogyakarta. Ia melakoni pekerjaan apapun demi menghidupi dirinya. Tamara bekerja membersihkan rumah, kamar mandi seniman. Ia juga bekerja sebagai freelancer, menjadi pemandu wisata di ViaVia Yogyakarta.
Dia pernah mengamen di jalanan pada 2008-2012. Ketika mengamen, Tamara kerap mengalami kekerasan atau pelecehan secara verbal, misalnya diteriaki bencong saat ia mengamen di bus. Suatu hari, Tamara sedang berpuasa. Adzan magrib berkumandang dan ia minta air mineral kepada petugas Satuan Polisi Pamong Praja. Bukan air mineral yang didapat, melainkan bentakan dari petugas.
Spoiler for karya seni:

Pelecehan secara verbal juga dialami waria Nike Faradila dan Imelda Bahar. Di indekos Imelda Bahar yang sempit di Sorogenen, Kalasan, Sleman, mereka mengisahkan pengalaman mengamen di jalanan. Nike datang ke indekos Imelda untuk berangkat mengamen bersama. Mereka mengatakan kebal menghadapi caci maki pejalan. “Mereka mengolok dan meneriaki kami banci. Kami cueki saja dan terus mengamen,” kata Imelda.
Siang itu, mereka berias, menghiasi wajah dengan bedak, lipstik, dan pensil alis. Baju-baju mereka menumpuk di kasur dan lantai. Mereka lama memilih baju-baju yang cocok sebelum berangkat bekerja. Nike dan Imelda biasa berangkat untuk mengamen pukul 13.00 hingga sore hari. Mereka mengamen di toko-toko, warung, dan jalan. Tape musik mini berisi lagu-lagu mereka siapkan untuk bekal mengamen.
Nike dan Imelda mengamen untuk bertahan hidup dan mengekspresikan identitas mereka sebagai waria. Imelda pernah bekerja menjual makanan, usaha bubur kacang ijo atau burjo, dan bekerja di sejumlah restoran. Nike pernah bekerja di hotel dan restoran. Tapi, mereka memutuskan keluar dari pekerjaan mereka dan kembali mengamen. “Kami lebih nyaman mengamen, memenuhi panggilan jiwa,” kata Nike.
Dosen Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Muhadjir Darwin, mengatakan terjadi marginalisasi hak-hak LGBT. Masyarakat dan pemerintah belum mengakui keberadaan waria sehingga mereka kerap menjadi obyek diskriminasi.
Waria mendapat stigma negatif dan mengalami pelecehan atau bahan ledekan.“Stigmatisasi agama paling kuat karena mereka dianggap sebagai pihak yang berdosa,” kata Muhadjir.
Organisasi masyarakat intoleran penentang LGBT kerap menggunakan cara-cara kekerasan mengatasnamakan agama. Contoh orang makan pada bulan puasa mereka sweeping. Bahkan untuk urusan makan pun keras, apalagi terhadap waria.
Ia mengkritik negara yang tidak punya aturan spesifik untuk melindungi hak-hak waria sebagai warga negara Indonesia. Akibatnya terdapat pelanggaran hak waria untuk menjalankan ibadah. Contohnya penggerudukan di Ponpes Waria. Padahal, pesantren waria itu merupakan wujud relijiusitas waria.
Mereka seharusnya juga memperoleh hak hidup secara layak, hak bekerja, hak untuk beetempat tinggal, hak untuk mendapatkan layanan publik, dan hak terbebas dari kekerasan. Waria, kata Muhadjir juga punya hak untuk mengekspresikan identitasnya.
Alumni University of Southern California , Amerika Serikat dengan fokus kajian gender dan kesehatan reproduksi itu mengatakan menjadi waria itu sesuatu yang given atau pemberian. Ia memperkirakan perlakukan diskriminatif terhadap waria akan terus terjadi ke depan. Sebab, arus konservatisme semakin terasa akhir-akhir ini.
Menurut Muhadjir, untuk mengatasinya perlu penguatan sistem hukum. Seharusnya ada aturan yang menjamin identitas seksual warga negara. “Keberagaman identitas seksual mestinya dijamin Undang-Undang,” kata dia.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, Gama Triono, mengatakan waria tergolong sebagai kalangan yang stateless. Mereka disingkirkan oleh keluarga, masyarakat, sekolah, dan negara. Di tingkat keluarga misalnya, waria seringkali mendapatkan penolakan. Mereka kemudian melarikan diri dari rumah karena penolakan itu.
Di jalanan, waria sangat rentan dengan serangkaian kekerasan di jalan ketika bekerja. Ditambah lagi stigma waria sebagai penyakit dan penyebar HIV (Human Immunodeficiency Virus) AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Sedangkan, akses terhadap layanan kesehatan reproduksi bagi waria masih terbatas. “Mereka mendapatkan stigma dobel dan berlapis,” kata Gama.
tempo
Janganlah mencaci atau mencibir bila belum bisa membantu mereka keluar dari persoalan hidup yg mereka hadapi, karena kita belum tentu lebih baik dari siapapun dihadapan-Nya

0
4.3K
Kutip
27
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan