Kaskus

News

mbiaAvatar border
TS
mbia
Potret Pancasila dan Ketauhidan di Kedai Kopi dengan Presiden Berambut Gimbal
Potret Pancasila dan Ketauhidan di Kedai Kopi dengan Presiden Berambut Gimbal

Mataram – Reformasi melahirkan kebungkaman. Republik ini genap dua puluh tahun sunyi-senyap dari “kenyinyiran” para mahasiswa yang berteriak tentang ketidakadilan.Telah dua dasawarsa kita seperti kehilangan sinisme kaum seniman, budayawan, NGO, dan kiyai-kiyai eksentrik yang membakar idealisme berbangsa.

Negeri ini seolah pudar makna setelah kehilangan suara-suara kritis dan jujur. Ataukah kita semua telanjur telah menutup telinga, menulikan diri dari kritik yang selalu dianggap biang kerok keruntuhan? Di saat yang sama, kita semakin tak sadar, sesungguhnya pencapaian cita-cita lahir dari protes dan perlawanan sengit anak bangsa yang masih menyimpan rasa berkebangsaan untuk mengubah keadaan menjadi lebih progresif.

Boleh jadi, tak ada lagi ruang untuk menampung kritik, lantaran demokrasi telah terampas para delegasi partai politik yang semakin kentara tak mencerminkan harapan khalayak. Demokrasi berubah menjadi kompromi politis. Lalu di mana tempat paling streril dari polusi dan intervensi politik? Jawabannya, (mungkin) hanya di kedai kopi.

Kedai kopi itu milik seorang berambul gimbal. Tetapi, nasionalisme tak hanya tertanam di hati dan benak kaum berjidat dan berambut klimis. Bagaimanapun, Paox Iben Mudhaffar adalah Presiden yang memimpin sebuah “republik” kecil di sebuah kedai kopi bernama Repvblik Syruput di pinggiran Kota Mataram.

Kedai itu baru seumur jagung. Tetapi Repvblik Syruput tak butuh waktu lama meraih popularitas. Paox boleh jadi punya formula tersendiri dengan menggunakan simpul-simpul jaringan di media sosial untuk urusan ini. Tetapi, lelaki ini sesungguhnya bukan seorang pengusaha. Ia dekat dengan mahasiswa. Seorang penulis dan sering tampil di even-even sosial. Kedainya mempekerjakan karyawan yang nyambi kuliah. Di Repvblik Syruput, pengunjung terkesan dengan wawasan Paox tentang berbagai jenis biji kopi , termasuk cara pengolahannya secara baik dan benar. Untuk urusan ini, Paox tak segan-segan memberi kuliah langsung kepada pengunjung lengkap dengan alat peraga untuk menghasilkan seduhan kopi yang berkelas. Sepertinya, inilah yang membuat kedainya cepat terkenal. “Kopi yang bermutu itu tak harus mahal,” katanya.

Kamis malam, (15/6), usai waktu shalat Tarawih, Repvblik Syruput mendadak tumpah-ruah oleh ratusan pengunjung. Tamu tak hanya memadati halaman kedai, tapi banyak juga yang akhirnya terpaksa duduk di luar pekarangan. Beberapa hari sebelumnya, Paox memang membuat sebuah pengumuman di media sosial tentang kedatangan Gus Candra Malik, tokoh tasawuf yang akan mengisi acara Malam Seribu Budaya yang dihelat di kedainya.

Di luar dugaan, walau tanpa undangan resmi, tamu datang berjubel, begitu antusias, sampai-sampai banyak di antara pengunjung rela duduk di lantai lantaran tak kebagian kursi.

Gus Can, kyai sekaligus budayawan dari Nahdlatul Ulama (NU) ini tampil dengan gaya khasnya. Sosok seorang sufi yang tanpa peci, berkemeja dengan lengan digulung, dan sepatu yang biasa digunakan mahasiswa. Tak ada tanda-tanda spesifik religius yang biasanya menjadi “atribut” keulamaan yang ditampakkan Guscan.

Para pengunjung di kedai kopi Repvblik Syruput pun begitu tertib mendengar ceramah singkat sang sufi, murid Syekh Ahmad Sirullah Zainuddin, wakil talqin dari Tarekat Qadiriyyah Naqsabandiyah yang bicara mulai dari kebhinnekaan, kebudayaan, Pancasila, hingga ketauhidan.

Menurut Candra Malik, Indonesia terbukti sebagai bangsa besar yang memiliki asas Bhinneka Tunggal Ika. Memiliki persamaan dalam setiap perbedaan. “Satu prinsip dasar kita, berbeda karena kita sama. Sama-sama berbeda. Kita sama karena kita berbeda. Karena kesamaan itulah kita harus menjaga kebhinnekaan kita, jangan sampai ternoda,” ucap Gus Can.

Usia Indonesia masih sangat belia. Baru 72 tahun, belum dikatakan satu masa. Negeri ini beruntung dilahirkan oleh bangsa besar bernama Nusantara. Namun sampai sejauh ini kita masih bersandar pada budaya Nusantara. Pada saatnya nanti kita mesti punya budaya sendiri, yaitu budaya Indonesia.

Gus Can mengatakan, lantaran umurnya blm 1 abad atau satu masa, maka kita adalah generasi pertama Bangsa Indonesia. Kitalah yang memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa Indonesia tidak mati muda, atau tidak mati suri. “Bahwa segala sesuatu upaya untuk membunuh indonesia, harus kita lawan. Bahwa indonesia harus berumur panjang, bahkan lebih panjang dari usia nusantara,” ujar pengasuh Pondok Pesantren Asy-Syahadah-Karanganyar Jateng ini yang disambut tepuk tangan hadirin.

Ia melanjutkan, bahwa kita mesti menghormati upaya para pendiri bangsa yang meletakkan dasar-dasar negara yaitu Pancasila yang salah satunya sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Jadi, apa pun agamanya, Tuhan-nya sama. Ini yang mempersatukan kita. Lailahaillallah. Jika pun ada agama baru, itu tidak akan menciptakan Tuhan baru. Itulah tauhid, itulah memurnikan keesaan Tuhan,” ungkap Gus Can.

https://kicknews.today/2017/06/16/potret-pancasila-dan-ketauhidan-di-kedai-kopi-dengan-presiden-berambut-gimbal/

Pancasila dan ketauhidan tak bisa dipisahkan.. barang siapa ingin menjauhkan bangsa ini dari nilai2 ketuhanan maka dialah anti pancasila sebenarnya
0
1.5K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan