- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Blangkon Ternyata Memiliki Makna Filosofis Mendalam


TS
yukepodotcom
Blangkon Ternyata Memiliki Makna Filosofis Mendalam
WELCOME TO YUKEPO OFFICIAL THREAD





Di Indonesia memang hampir setiap daerah memiliki pakaian khasnya tersendiri yang masing-masing memiliki makna filosofisnya masing-masing. Begitu pula dengan masyarakat Jawa yang terbiasa menggunakan pakaian adatnya dan tak lupa dilengkapi dengan blangkon sebagai penutup kepala.
Kehadiran blangkon beserta penggunaannya ternyata memiliki makna filosofis yang mendalam bagi masyarakat Jawa, bukan hanya sebagai tutup kepala. Mungkin kita tidak semua memahami mengenai filosofi dari blangkon itu sendiri. Namun kali ini YuKepo sudah menyiapkan rangkumannya buat kalian mengenai filosofi dari blangkon tersebut. Penasaran? Yuk langsung kepoin aja!

Sebenarnya tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti asal muasal orang Jawa menggunakan ikat sebagai alat penutup kepala. Ikat sudah pernah disebut dalam legenda Aji Saka sekitar 20 abad yang lalu. Dalam legenda itu Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar dengan menggelar kain ikat kepala yang kemudian mampu menutup seluruh tanah Jawa. Namun ada juga yang beranggapan bahwa budaya ikat merupakan pengaruh dari Hindu dan juga Islam. Misalnya para pedagang Gujaran yang selalu menggunakan sorban yang kemudian menginspirasi orang Jawa untuk menggunakan penutup kepala juga.

Blangkon merupakan salah satu elemen dari pakaian adat Jawa yang berfungsi sebagai penutup kepala dari sengatan panas matahari maupun udara dingin. Mulanya para pria Jawa menggunakan kain ikat sebagai penutup kepala mereka. Namun karena menggunakan ikat dirasa cukup rumit dan membutuhkan waktu yang banyak, maka muncullah ide pembuatan blangkon atau penutup kepala yang bersifat siap pakai. Sedangkan pembuatan blangkon pada zaman dulu hanya dilakukan oleh para seniman yang ahli dalam pakem atau aturan ikat. Semakin blangkon tersebut memenuhi pakemnya, semakin tinggi juga nilai blangkon tersebut.

Orang Jawa menganggap kepala, wajah, dan rambut adalah mahkota atau bagian terhormat dari manusia yang harus dijaga dan diperhatikan. Mayoritas orang Jawa dulu memanjangkan rambut mereka namun tidak membiarkannya acak-acakan. Rambut yang panjang tersebut biasanya diikat atau digelung dengan ikatan kain. Ujung ikatan kain tersebut kemudian dikat di belakang kepala sehingga muncul filosofi sebagai peringatan untuk senantiasa mampu mengendalikan diri. Para pria Jawa pada zaman itu hanya membiarkan rambutnya tergerai pada saat di rumah, berperang, dan berkelahi. Terbukanya ujung ikatan kain yang ada di belakang kepala tersebut merupakan bentuk luapan emosi yang sudah tidak tertahankan.

Seiring masuknya agama Islam ke tanah Jawa, blangkon kerap dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat rohani. Bagian belakang blangkon ada 2 buah kain yang terikat. Salah satu kain menyimbolkan syahadat tauhid. Satu kainnya lagi menyimbolkan syahadat Rasul. Saat keduanya terikat maka akan memiliki makna serupa dua kalimat syahadat. Blangkon tersebut kemudian dipakai di kepala, bagian paling terhormat bagi orang Jawa. Hal tersebut menyimbolkan bahwa syahadat harus ada di posisi paling atas. Apapun pemikiran yang berasal dari kepala harus senantiasa berdasarkan sendi-sendi Islam.

Seiring berkembangnya zaman, blangkon juga berkembang bukan hanya sebagai pelindung kepala yang memiliki nilai filosofis agung. Blangkon berkembang menjadi identitas kelompok dan status sosial penggunanya. Oleh karena itu kemudian muncul wiron, cepet, jabehan, kuncungan, waton, dan corak serta ragam hiasnya. Namun apapun jenisnya, bagi orang Jawa bila tidak mampu mengendalikan emosi dan nafsu, maka ia tidak berhak menggunakan blangkon.

Secara garis besar, ada dua jenis blangkon saat ini. Yaitu blangkon yang memiliki mondolan (tonjolan) dan blangkon yang trepes (rata). Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa pada zaman dahulu para pria Jawa lebih suka memelihara rambutnya. Rambut tersebut perlu digelung sebelum dipakaikan ikat. Gelungan rambut inilah yang membuat blangkon menjadi menonjol. Bagi orang Jawa, rambut merupakan simbol perasaan. Rambut yang disembunyikan di bawah ikat adalah suatu perasaan yang disembunyikan dan dijaga serapat mungkin. Prinsipnya adalah menjaga perasaan diri sendiri demi menjaga perasaan orang lain pula.

Setelah perjanjian Gianti ditandatangani di tahun 1755, kesultanan Mataram terbagi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat di dua pecahan Mataram ini kemudian tumbuh dengan caranya masing-masing. Masyarakat di Yogyakarta masih setia dengan menumbuhkan dan menggelung rambutnya. Sedangkan masyarakat Surakarta terlebih dahulu mengenal cara bercukur karena lebih dekat dengan Belanda. Hal tersebut menjadi alasan mengapa blangkon mondolan bisa ditemukan di Yogya dan blangkon trepes bisa ditemukan di Surakarta.
Terbukti bahwa penggunaan blangkon bagi masyarakat Jawa tidak hanya sebagai alat penutup kepala. Ada nilai sopan santun dan pengendalian diri yang kuat. Selain itu blangkon juga sebagai simbol mengendalikan perasaan demi menghormati orang lain. Ternyata filosofi blangkon tidak sesederhana itu ya?
Sumber dari Yukepo
Rate, comment, cendol appreciated



0
13.1K
16


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan