- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Berebut Memaknai Pancasila


TS
p0congkaskus
Berebut Memaknai Pancasila
Berebut Memaknai Pancasila

RILIS.ID, Jakarta— Bulan Juni dirayakan sebagai bulan Pancasila. Pemerintah juga telah menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional dan merupakan lahir Pancasila. Namun banyak pihak mengeluhkan, sebagai ideologi negara, Pancasila masih dimaknai sebagai jargon dan minim pengamalan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Presiden Joko Widodo akhirnya juga melantik pejabat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). lembaga ini direncanakan akan bekerja untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Unit kerja ini juga akan membantu presiden untuk membantu merumuskan nilai pancasila kedalam kebijakan umum melalui pembinaan pancasila. Pembentukan UKP-PIP didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Unit kerja ini dipimpin oleh akademisi sohor Yudi Latif. Dia juga didampingi oleh tokoh-tokoh senior sebagai dewan pengarah UKP-PIP. Di antaranya adalah Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, KH Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Syafii Maarif, KH Said Aqil Siroj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
Upaya ini diambil di tengah kritik atas tindakan yang diambil pemerintah yang dianggap belum membawa harapan bagi penyelesaian problem sosial saat ini. Bahkan ditengarai, Pancasila hanya digunakan sebagai instrumen untuk memukul kelompok yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah.
Kasus tudingan makar, persekusi dianggap berlebihan sebagai anti-Pancasila, pembubaran HTI dan upaya membatasi gerakan kelompok tertentu, diduga dengan sengaja dilakukan pemerintah untuk membungkam kelompok yang kritis terhadap rezim.
Pengamat politik Univeritas Islam Negeri (UIN) Jakarta Adi Prayitno mengatakan, hal semacam ini terjadi tidak ada parameter jelas tentang mereka yang dianggap anarkis dan anti-Pancasila. Dia berpendapat, stigma anti-Pancasila rentan sekali disematkan kepada lawan-lawan politik.
“Sekarang HTI kan dibubarkan, FPI dianggap anti-Pancasila. Jangan sampai menyasar kelompok lawan politik,” ujar Adi Prayitno kepada rilis.id, Rabu (7/6/2017). Walaupun, kata Adi, soal anarkisme memang menjadi kewajiban aparat untuk ditindak sesuai dengan mekanisme hukum. “Ini dikhawatirkan ancaman. Kita sepakat tindakan anarkis memang harus dilawan,” ujar Adi Prayitno.
Oleh karena itu, Adi menyarankan agar pendefinisian soal anarkis dan yang anti-Pancasila mesti dibuat dengan ukuran yang jelas. Sehingga ada alasan yang jelas untuk mengkategori kelompok tertentu dengan kaulifikasi kelompok yang berbeda paham dan anti-Pancasila.
Selama ini, ukuran yang dipakai sangat semu. Bahkan tudingan,misalnya, terhadap pelaku makar terhadap beberapa aktivis belakangan juga tidak menggunakan ukuran yang tepat. Akibatnya, muncul potensi untuk mengklaim kelompok lain sebagai anti-Pancasila dan mesti ditindak.
“Pendefinisiannya dan siapa yang dikategori anarkis itu harus jelas, Istilah radikal menjadi liar lalu mudah dipergunakan sesuai kepentingan kekuasaan,” tegasnya.
Lebih jauh Adi melihat, fenomena kekhawatiran pemerintah hanya menyangkut Habib Rizieq. Pasalnya, selama ini pentolan Front Pembela Islam (FPI) memang dikenal tegas memberi kritik kepada pemerintah.
Habib Rizieq memang dinilai paling getol mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Baik pemerintah maupun pemerintah daerah, DKI Jakarta. Bahkan, sewaktu mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dengan panggilan Ahok tersandung kasus penistaan agama, FPI berada digaris depan mendesak apart hukum bertindak dan memproses Ahok secara hukum.
“Kalau kita mau jujur, ini menyasar pada Habib Rizieq saja karena dia yang gencar mengkritisi pemerintah,” kata Adi.
Dia juga menyinggung soal nasib beberapa aktivis yang ditangkap dengan tuduhan makar. Bahkan beberapa orang tak jelas nasibnya. Padahal, tuduhan yang dialamatkan merupakan tuduhan yang cukup serius karena berkaitan dengan kondisi politik tanah air.
Dari peristiwa-peristiwa itu, Adi melihat ada indikasi penggunakan Pancasila untuk menyerang musuh-musuh politik pemerintah. Monopoli terminologi Pancasila itu, kasat mata telah menjadi alat perjuangan politik.
Apalagi Adi melihat kecenderungan penamaan anti-Pancasila hanya dikualifikasi dengan organisasi keagamaan. Sementara masih ada kelompok radikal yang anti-Pancasila seperti gerakan-gerakan separatisme namun tidak pernah diusut secara tuntas.
“Ini kan vulgar sekali terjadi. Jadi harus ada ukuran yang jelas soal terminologi radikal. Bukan saja mengenai ormas keagamaan saja tapi gerakan separatisme juga bisa,” keluh Adi.
sumber : http://rilis.id/berebut-memaknai-pancasila.html
--------
LAINNYA :
Membandingkan UKP-PIP Jokowi dengan BP7 Era Soeharto https://www.kaskus.co.id/post/5938ba...d7704f588b4574

RILIS.ID, Jakarta— Bulan Juni dirayakan sebagai bulan Pancasila. Pemerintah juga telah menetapkan 1 Juni sebagai hari libur nasional dan merupakan lahir Pancasila. Namun banyak pihak mengeluhkan, sebagai ideologi negara, Pancasila masih dimaknai sebagai jargon dan minim pengamalan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Presiden Joko Widodo akhirnya juga melantik pejabat Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). lembaga ini direncanakan akan bekerja untuk membumikan Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Unit kerja ini juga akan membantu presiden untuk membantu merumuskan nilai pancasila kedalam kebijakan umum melalui pembinaan pancasila. Pembentukan UKP-PIP didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Unit kerja ini dipimpin oleh akademisi sohor Yudi Latif. Dia juga didampingi oleh tokoh-tokoh senior sebagai dewan pengarah UKP-PIP. Di antaranya adalah Megawati Soekarnoputri, Try Sutrisno, KH Ma'ruf Amin, Mahfud MD, Syafii Maarif, KH Said Aqil Siroj, Andreas Anangguru Yewangoe, Wisnu Bawa Tenaya, dan Sudhamek AWS.
Upaya ini diambil di tengah kritik atas tindakan yang diambil pemerintah yang dianggap belum membawa harapan bagi penyelesaian problem sosial saat ini. Bahkan ditengarai, Pancasila hanya digunakan sebagai instrumen untuk memukul kelompok yang berbeda pandangan politik dengan pemerintah.
Kasus tudingan makar, persekusi dianggap berlebihan sebagai anti-Pancasila, pembubaran HTI dan upaya membatasi gerakan kelompok tertentu, diduga dengan sengaja dilakukan pemerintah untuk membungkam kelompok yang kritis terhadap rezim.
Pengamat politik Univeritas Islam Negeri (UIN) Jakarta Adi Prayitno mengatakan, hal semacam ini terjadi tidak ada parameter jelas tentang mereka yang dianggap anarkis dan anti-Pancasila. Dia berpendapat, stigma anti-Pancasila rentan sekali disematkan kepada lawan-lawan politik.
“Sekarang HTI kan dibubarkan, FPI dianggap anti-Pancasila. Jangan sampai menyasar kelompok lawan politik,” ujar Adi Prayitno kepada rilis.id, Rabu (7/6/2017). Walaupun, kata Adi, soal anarkisme memang menjadi kewajiban aparat untuk ditindak sesuai dengan mekanisme hukum. “Ini dikhawatirkan ancaman. Kita sepakat tindakan anarkis memang harus dilawan,” ujar Adi Prayitno.
Oleh karena itu, Adi menyarankan agar pendefinisian soal anarkis dan yang anti-Pancasila mesti dibuat dengan ukuran yang jelas. Sehingga ada alasan yang jelas untuk mengkategori kelompok tertentu dengan kaulifikasi kelompok yang berbeda paham dan anti-Pancasila.
Selama ini, ukuran yang dipakai sangat semu. Bahkan tudingan,misalnya, terhadap pelaku makar terhadap beberapa aktivis belakangan juga tidak menggunakan ukuran yang tepat. Akibatnya, muncul potensi untuk mengklaim kelompok lain sebagai anti-Pancasila dan mesti ditindak.
“Pendefinisiannya dan siapa yang dikategori anarkis itu harus jelas, Istilah radikal menjadi liar lalu mudah dipergunakan sesuai kepentingan kekuasaan,” tegasnya.
Lebih jauh Adi melihat, fenomena kekhawatiran pemerintah hanya menyangkut Habib Rizieq. Pasalnya, selama ini pentolan Front Pembela Islam (FPI) memang dikenal tegas memberi kritik kepada pemerintah.
Habib Rizieq memang dinilai paling getol mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah. Baik pemerintah maupun pemerintah daerah, DKI Jakarta. Bahkan, sewaktu mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab dengan panggilan Ahok tersandung kasus penistaan agama, FPI berada digaris depan mendesak apart hukum bertindak dan memproses Ahok secara hukum.
“Kalau kita mau jujur, ini menyasar pada Habib Rizieq saja karena dia yang gencar mengkritisi pemerintah,” kata Adi.
Dia juga menyinggung soal nasib beberapa aktivis yang ditangkap dengan tuduhan makar. Bahkan beberapa orang tak jelas nasibnya. Padahal, tuduhan yang dialamatkan merupakan tuduhan yang cukup serius karena berkaitan dengan kondisi politik tanah air.
Dari peristiwa-peristiwa itu, Adi melihat ada indikasi penggunakan Pancasila untuk menyerang musuh-musuh politik pemerintah. Monopoli terminologi Pancasila itu, kasat mata telah menjadi alat perjuangan politik.
Apalagi Adi melihat kecenderungan penamaan anti-Pancasila hanya dikualifikasi dengan organisasi keagamaan. Sementara masih ada kelompok radikal yang anti-Pancasila seperti gerakan-gerakan separatisme namun tidak pernah diusut secara tuntas.
“Ini kan vulgar sekali terjadi. Jadi harus ada ukuran yang jelas soal terminologi radikal. Bukan saja mengenai ormas keagamaan saja tapi gerakan separatisme juga bisa,” keluh Adi.
sumber : http://rilis.id/berebut-memaknai-pancasila.html
--------
LAINNYA :
Membandingkan UKP-PIP Jokowi dengan BP7 Era Soeharto https://www.kaskus.co.id/post/5938ba...d7704f588b4574
Diubah oleh p0congkaskus 08-06-2017 02:46
0
507
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan