- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Robertus Robet: Paradoks, Pancasila Justru Jadi Alat Pembelah


TS
p0congkaskus
Robertus Robet: Paradoks, Pancasila Justru Jadi Alat Pembelah
Robertus Robet: Paradoks, Pancasila Justru Jadi Alat Pembelah

Tanggal 1 Juni 2017 lalu menjadi kali pertama dijalankannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, yang menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.
Seperti lazimnya hari-hari besar kenegaraan lainnya, Pemerintah memperingati Hari Lahir Pancasila ini dengan menyelenggarakan upacara bendera. Namun, istimewanya, secara resmi Pemerintah mengimbau lembaga negara di tingkat pusat, daerah, hingga perwakilan luar negeri untuk turut menyelenggarakan upacara bendera memperingati Hari Lahir Pancasila.
Selain dengan upacara, Pemerintah menyemarakkan Hari lahir Pancasila dengan menyelenggarakan Pekan Pancasila, dimulai dari tanggal 29 Mei sampai 4 Juni 2017.
Selama Pekan Pancasila, media sosial ramai dengan postingan bertagar “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Selain Presiden Joko Widodo, selebriti papan atas seperti Luna Maya, Sophia Latjuba, Rossa, dan Krisdayanti turut memposting konten ke media sosial dengan tagar ini.
Selama Pekan Pancasila pula, media massa diramaikan dengan pernyataan politisi yang terkait dengan Pancasila. Ade Komarudin, mantan Ketua DPR RI, misalnya, mengatakan setelah berkontemplasi mengenai kondisi negara saat ini, ia melihat sendi-sendi persatuan sangat rapuh. Sebab itu, ia bertekad mendorong terbentuknya Komisi Pelestarian Nilai-nilai Pancasila untuk mempersatukan kembali Indonesia.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, di sela-sela kehadirannya di Forum Jeju untuk Perdamaian dan Kemakmuran, pada 1 Juni 2017, di Korea Selatan, mengingatkan bahwa Pancasila adalah cikal bakal kemerdekaan Indonesia. Megawati juga menyampaikan, jika Pancasila diterapkan oleh negara-negara beradab, maka perdamaian dunia akan tercipta.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, bahkan meminta pihak yang tidak bersepakat dengan Pancasila sebagai ideologi utama dan paling mendasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti HTI, agar hengkang dari Indonesia.
Beberapa partai politik juga tidak mau ketinggalan meramaikan Hari Pancasila. Salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengadakan talkshow bertema “Apa Kata Milenial tentang Pancasila”.
Wartawan rilis.id berkesempatan berbincang dengan sosiolog, penulis, dan aktivis Robertus Robet mengenai semaraknya perayaan Hari Lahir Pancasila tahun ini. Robertus melihat, dalam praktiknya, terdapat dua wujud fungsi Pancasila. Yaitu, fungsi implisit dan fungsi eksplisit. Fungsi implisit Pancasila adalah nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butirnya. Sedangkan fungsi eksplisitnya tergantung pada kekuatan politik yang merangkul Pancasila sebagai kendaraan dalam mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Berikut hasil lengkap wawancaranya.
Dalam sejarahnya, bagaimana fungsi implisit dan eksplisit dari Pancasila ini terimplementasikan?
Pidato Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada intinya hendak mengukuhkan fungsi implisit Pancasila, yaitu mempersatukan Indonesia. Sedangkan fungsi eksplisitnya bersifat kontingen, tergantung dari berbagai macam kekuatan politik yang mencoba mendefinisikan Pancasila untuk keperluan-keperluan sosial politik yang spesifik, partikular.
Dalam pengalaman sejarah Indonesia, sering kali fungsi eksplisitnya jauh lebih menonjol ketimbang fungsi implisitnya. Satu contoh, pada era Demokrasi Terpimpin. Sebelum Dekrit 5 Juni 1959, sebelum Soekarno berubah menjadi seorang otoritarian, dilakukan semacam kongres Pancasila kedua di Yogyakarta, yang kalau dilihat isinya, mengarah untuk menjadi semacam pembukaan yang mendorong Pancasila menjustifikasi Dekrit 5 Juli 1959. (Dekrit 5 Juli 1959 adalah peristiwa yang mengawali era Demokrasi Terpimpin, di mana Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup).
Jadi, kalau ditanya siapa yang menggunakan Pancasila untuk keperluan politik yang bersifat kekuasaan, ya sudah dimulai pada era Soekarno. Setelah Soekarno digulingkan dengan peristiwa kudeta tahun 1965, Soeharto menggunakan Pancasila dengan cara yang hampir sama dengan Soekarno. Yaitu menggunakan Pancasila dalam fungsi eksplisitnya untuk menjustifikasi kekuasaan politik. Tetapi dalam era Soeharto, penggunaan Pancasila dalam kerangka politik kekuasaan itu dilakukan dengan cara yang lebih subtil dan sophisticated. Yaitu, dengan membentuk bangunan filosofis Pancasila. Lima sila itu ditafsirkan sedemikian rupa dengan ditopang oleh filsafat Jawa, lalu dioperasionalkan dalam kebutuhan politik pembangunan dan politik keamanan, dengan istilah pembangunan Pancasila.
Soeharto memanfaatkannya juga untuk membelah (masyarakat), mereka yang pro pembangunan dikatakan sebagai pro-Pancasila dan yang mengkritik pembangunan sebagai anti-Pancasila. Di ujung-ujung masa kekuasaan Soeharto, Pancasila akhirnya dipakai sebagai diskursus politik untuk memukul oposisi. Pancasila pada era Orde Baru betul-betul mengalami penurunan makna, karena lebih banyak dipakai untuk kontrol politik kekuasaan.
Apa Anda melihat Pancasila saat ini juga tengah dipolitisasi?
Seperti juga di masa Orde Baru, kita ini sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak, dimobilisasi untuk bicara tentang Pancasila. Siapa yang bicara tentang Pancasila, itu bukan suatu hal yang penting. Tapi isi dari diskursusnya itu apa, itu yang penting. Isu dari diskursusnya itu Pancasila mau diarahkan dalam fungsi apa. Sebagai fungsi lama yaitu fungsi implisit, atau justru berfungsi untuk membelah masyarakat secara sosial. Kalau saya memperhatikan, diskursus Pancasila yang berkembang, yang disebut-sebut oleh aneka macam orang, itu punya suatu fungsi yang bersifat paradoks.
Pada niat itu dikatakan untuk mempersatukan, tapi sebenarnya dalam cara presentasinya itu justru dipakai untuk membelah, untuk menghasilkan semacam eksklusi bahwa yang Pancasila saya dan kamu bukan Pancasila. Padahal, ketika dia bicara Pancasila, katanya dalam rangka kepentingan persatuan nasional. Tetapi, dilakukan dengan cara mengeksklusi satu pihak sebagai di luar Pancasila atau setidaknya kamu nggak Pancasila sungguhan, saya yang Pancasila sungguhan.
Mengapa kedua kubu ini terkesan sulit berdialog?
Salah satu sebabnya kenapa diskusi politik tidak dipenuhi oleh dua kubu itu, karena tidak ada kubu ketiga yang cukup kuat untuk men-drive perdebatan politik kita untuk keluar dari dua kubu ini. Kubu ketiga seperti apa? Ya, itu yang harus dirumuskan.
Ada partai-partai baru, tapi toh mereka semua kan masuk ke dalam satu diskursus politik yang sudah dominan. Mereka tidak berhasil merumuskan diri, tidak berhasil memetakan dua persoalan dasar demokrasi Indonesia sekarang. Yaitu terkaman populisme negara dan populisme agama.
Melihat kondisi ini, menurut Anda akan jadi seperti apa negara Indonesia ke depan?
Kalau situasinya seperti ini, saya hopeless. Sekarang yang bertarung dua populis, populisme agama dan populisme negara. Dua-duanya konservatif bagi saya. Baik dalam artikulasi kepentingannya maupun dari cara memobilisasi kekuatan politik di sekitar dia. Dua-duanya tidak mencerminkan suatu politik progresif, yang bisa membawa Indonesia lebih maju ke depan.
Jadi, dari segi itu, menurut saya, kualitas demokrasi kita sudah turun, melorot. Ke depannya, kalau hanya ada dua jenis kekuatan populis ini yang bertarung, kita tidak akan ke mana-mana. Dunia luar sudah jauh berkembang, kita justru berkutat pada ortodoksi lama tentang negara, ortodoksi lama tentang bangsa.
Diperparah dengan banyaknya pejabat yang korupsi?
Sudah pasti. Bagi saya, korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang paling jahat. Korupsi persis menghancurkan fungsi implisit Pancasila. Fungsi implisit Pancasila adalah mempersatukan. Sedangkan korupsi itu bersifat menghancurkan, memecah-belah. Kenapa? Karena ketika korupsi, seorang individu mencaplok apa yang semestinya menjadi hak bagi orang banyak. Akibatnya, orang banyak bertanya-tanya. Lho, kok, kamu bisa demikian kaya dengan mencaplok apa yang kami punya? Artinya, rasa kebersamaan sebagai satu komunitas politik rusak. Itu kenapa kata Machiavelli dalam Discourses on Livy, korupsi adalah musuh terbesar dari republik, karena dia menghancurkan common good.
sumber : http://rilis.id/robertus-robet-parad...MHZE4.whatsapp

Tanggal 1 Juni 2017 lalu menjadi kali pertama dijalankannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016, yang menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.
Seperti lazimnya hari-hari besar kenegaraan lainnya, Pemerintah memperingati Hari Lahir Pancasila ini dengan menyelenggarakan upacara bendera. Namun, istimewanya, secara resmi Pemerintah mengimbau lembaga negara di tingkat pusat, daerah, hingga perwakilan luar negeri untuk turut menyelenggarakan upacara bendera memperingati Hari Lahir Pancasila.
Selain dengan upacara, Pemerintah menyemarakkan Hari lahir Pancasila dengan menyelenggarakan Pekan Pancasila, dimulai dari tanggal 29 Mei sampai 4 Juni 2017.
Selama Pekan Pancasila, media sosial ramai dengan postingan bertagar “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Selain Presiden Joko Widodo, selebriti papan atas seperti Luna Maya, Sophia Latjuba, Rossa, dan Krisdayanti turut memposting konten ke media sosial dengan tagar ini.
Selama Pekan Pancasila pula, media massa diramaikan dengan pernyataan politisi yang terkait dengan Pancasila. Ade Komarudin, mantan Ketua DPR RI, misalnya, mengatakan setelah berkontemplasi mengenai kondisi negara saat ini, ia melihat sendi-sendi persatuan sangat rapuh. Sebab itu, ia bertekad mendorong terbentuknya Komisi Pelestarian Nilai-nilai Pancasila untuk mempersatukan kembali Indonesia.
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, di sela-sela kehadirannya di Forum Jeju untuk Perdamaian dan Kemakmuran, pada 1 Juni 2017, di Korea Selatan, mengingatkan bahwa Pancasila adalah cikal bakal kemerdekaan Indonesia. Megawati juga menyampaikan, jika Pancasila diterapkan oleh negara-negara beradab, maka perdamaian dunia akan tercipta.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, bahkan meminta pihak yang tidak bersepakat dengan Pancasila sebagai ideologi utama dan paling mendasar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seperti HTI, agar hengkang dari Indonesia.
Beberapa partai politik juga tidak mau ketinggalan meramaikan Hari Pancasila. Salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengadakan talkshow bertema “Apa Kata Milenial tentang Pancasila”.
Wartawan rilis.id berkesempatan berbincang dengan sosiolog, penulis, dan aktivis Robertus Robet mengenai semaraknya perayaan Hari Lahir Pancasila tahun ini. Robertus melihat, dalam praktiknya, terdapat dua wujud fungsi Pancasila. Yaitu, fungsi implisit dan fungsi eksplisit. Fungsi implisit Pancasila adalah nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butirnya. Sedangkan fungsi eksplisitnya tergantung pada kekuatan politik yang merangkul Pancasila sebagai kendaraan dalam mencapai kepentingan-kepentingan tertentu. Berikut hasil lengkap wawancaranya.
Dalam sejarahnya, bagaimana fungsi implisit dan eksplisit dari Pancasila ini terimplementasikan?
Pidato Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada intinya hendak mengukuhkan fungsi implisit Pancasila, yaitu mempersatukan Indonesia. Sedangkan fungsi eksplisitnya bersifat kontingen, tergantung dari berbagai macam kekuatan politik yang mencoba mendefinisikan Pancasila untuk keperluan-keperluan sosial politik yang spesifik, partikular.
Dalam pengalaman sejarah Indonesia, sering kali fungsi eksplisitnya jauh lebih menonjol ketimbang fungsi implisitnya. Satu contoh, pada era Demokrasi Terpimpin. Sebelum Dekrit 5 Juni 1959, sebelum Soekarno berubah menjadi seorang otoritarian, dilakukan semacam kongres Pancasila kedua di Yogyakarta, yang kalau dilihat isinya, mengarah untuk menjadi semacam pembukaan yang mendorong Pancasila menjustifikasi Dekrit 5 Juli 1959. (Dekrit 5 Juli 1959 adalah peristiwa yang mengawali era Demokrasi Terpimpin, di mana Soekarno ditetapkan sebagai presiden seumur hidup).
Jadi, kalau ditanya siapa yang menggunakan Pancasila untuk keperluan politik yang bersifat kekuasaan, ya sudah dimulai pada era Soekarno. Setelah Soekarno digulingkan dengan peristiwa kudeta tahun 1965, Soeharto menggunakan Pancasila dengan cara yang hampir sama dengan Soekarno. Yaitu menggunakan Pancasila dalam fungsi eksplisitnya untuk menjustifikasi kekuasaan politik. Tetapi dalam era Soeharto, penggunaan Pancasila dalam kerangka politik kekuasaan itu dilakukan dengan cara yang lebih subtil dan sophisticated. Yaitu, dengan membentuk bangunan filosofis Pancasila. Lima sila itu ditafsirkan sedemikian rupa dengan ditopang oleh filsafat Jawa, lalu dioperasionalkan dalam kebutuhan politik pembangunan dan politik keamanan, dengan istilah pembangunan Pancasila.
Soeharto memanfaatkannya juga untuk membelah (masyarakat), mereka yang pro pembangunan dikatakan sebagai pro-Pancasila dan yang mengkritik pembangunan sebagai anti-Pancasila. Di ujung-ujung masa kekuasaan Soeharto, Pancasila akhirnya dipakai sebagai diskursus politik untuk memukul oposisi. Pancasila pada era Orde Baru betul-betul mengalami penurunan makna, karena lebih banyak dipakai untuk kontrol politik kekuasaan.
Apa Anda melihat Pancasila saat ini juga tengah dipolitisasi?
Seperti juga di masa Orde Baru, kita ini sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak, dimobilisasi untuk bicara tentang Pancasila. Siapa yang bicara tentang Pancasila, itu bukan suatu hal yang penting. Tapi isi dari diskursusnya itu apa, itu yang penting. Isu dari diskursusnya itu Pancasila mau diarahkan dalam fungsi apa. Sebagai fungsi lama yaitu fungsi implisit, atau justru berfungsi untuk membelah masyarakat secara sosial. Kalau saya memperhatikan, diskursus Pancasila yang berkembang, yang disebut-sebut oleh aneka macam orang, itu punya suatu fungsi yang bersifat paradoks.
Pada niat itu dikatakan untuk mempersatukan, tapi sebenarnya dalam cara presentasinya itu justru dipakai untuk membelah, untuk menghasilkan semacam eksklusi bahwa yang Pancasila saya dan kamu bukan Pancasila. Padahal, ketika dia bicara Pancasila, katanya dalam rangka kepentingan persatuan nasional. Tetapi, dilakukan dengan cara mengeksklusi satu pihak sebagai di luar Pancasila atau setidaknya kamu nggak Pancasila sungguhan, saya yang Pancasila sungguhan.
Mengapa kedua kubu ini terkesan sulit berdialog?
Salah satu sebabnya kenapa diskusi politik tidak dipenuhi oleh dua kubu itu, karena tidak ada kubu ketiga yang cukup kuat untuk men-drive perdebatan politik kita untuk keluar dari dua kubu ini. Kubu ketiga seperti apa? Ya, itu yang harus dirumuskan.
Ada partai-partai baru, tapi toh mereka semua kan masuk ke dalam satu diskursus politik yang sudah dominan. Mereka tidak berhasil merumuskan diri, tidak berhasil memetakan dua persoalan dasar demokrasi Indonesia sekarang. Yaitu terkaman populisme negara dan populisme agama.
Melihat kondisi ini, menurut Anda akan jadi seperti apa negara Indonesia ke depan?
Kalau situasinya seperti ini, saya hopeless. Sekarang yang bertarung dua populis, populisme agama dan populisme negara. Dua-duanya konservatif bagi saya. Baik dalam artikulasi kepentingannya maupun dari cara memobilisasi kekuatan politik di sekitar dia. Dua-duanya tidak mencerminkan suatu politik progresif, yang bisa membawa Indonesia lebih maju ke depan.
Jadi, dari segi itu, menurut saya, kualitas demokrasi kita sudah turun, melorot. Ke depannya, kalau hanya ada dua jenis kekuatan populis ini yang bertarung, kita tidak akan ke mana-mana. Dunia luar sudah jauh berkembang, kita justru berkutat pada ortodoksi lama tentang negara, ortodoksi lama tentang bangsa.
Diperparah dengan banyaknya pejabat yang korupsi?
Sudah pasti. Bagi saya, korupsi adalah salah satu bentuk kejahatan yang paling jahat. Korupsi persis menghancurkan fungsi implisit Pancasila. Fungsi implisit Pancasila adalah mempersatukan. Sedangkan korupsi itu bersifat menghancurkan, memecah-belah. Kenapa? Karena ketika korupsi, seorang individu mencaplok apa yang semestinya menjadi hak bagi orang banyak. Akibatnya, orang banyak bertanya-tanya. Lho, kok, kamu bisa demikian kaya dengan mencaplok apa yang kami punya? Artinya, rasa kebersamaan sebagai satu komunitas politik rusak. Itu kenapa kata Machiavelli dalam Discourses on Livy, korupsi adalah musuh terbesar dari republik, karena dia menghancurkan common good.
sumber : http://rilis.id/robertus-robet-parad...MHZE4.whatsapp
0
2.5K
13


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan