Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

habibgoogleAvatar border
TS
habibgoogle
Mbok Dimaafkan, Jangan Dendam Terus
Spoiler for Oleh:


Mbok Dimaafkan, Jangan Dendam Terus

Di antara semua majelis ilmu Maiyah, Padhangmbulan adalah yang tertua. Sejak awal, ia dipilari oleh dua tiang penggapaian ilmu: tafsir tekstual (referensial) dan tafsir kontekstual. Tafsir tekstual di sini hendaknya tidak dipahami sebagai tafsir yang skripturalis, sempit, dan terpatok pada makna harfiah saja, tanpa ada upaya mentransformasikan pesan-pesan al-Quran ke dalam kehidupan. Yang dimaksud tafsir tekstual di sini adalah upaya mendapatkan ilmu al-Quran dengan pertama-tama mempelajari dan membaca nash-nash al-Quran itu sendiri terlebih dahulu, kemudian merujuk pada Sunnah Rasulullah serta kitab-kitab para ulama untuk membantu memahami pesan-pesan al-Quran. Seluruhnya itu merupakan tahapan yang memang seharusnya demikian. Itulah yang sejak awal menjadi acuan dan pagar bagi berlangsungnya tematik Padhangmbulan. Di situlah jamaah nyucup ilmunya Cak Fuad, sebagai pengampu utama di majelis ilmu Padhangmbulan.

Sedangkan tafsir kontekstual adalah respons-respons atas pembacaan nash-nash al-Quran yang dikaitkan dengan kenyataan hidup sehari-hari, yang berlangsung sebagai fenomena aktual, baik pada tingkat individu, kelompok, masyarakat, bangsa, hingga lingkup internasional. Dalam posisi itu, kerapkali tafsir yang dihasilkan dari penyimakan atas nash menjadi atau menghasilkan sudut pandang-sudut pandang yang khas atas realitas. Di sinilah, kita nyucup ilmu dari Cak Nun.

Kombinasi dua tafsir itulah yang secara kuat menjadi karakter Padhangmbulan dan telah berlangsung selama 23 tiga tahun. Dan, sebagai majelis ilmu yang paling sepuh di lingkungan Maiyah, Padhangmbulan makin memperlihatkan aura kematangannya. Seperti terasakan pada Padhangmbulan 27 November 2015.

Spoiler for Padhangmbulan:

Malam itu, Cak Fuad memulai Padhangmbulan dengan menjelaskan apa yang dimaksud tafsir. Bagi Cak Fuad, penafsiran tidak akan pernah berhenti sampai hari kiamat, sebab ia adalah upaya menggapai kebenaran sebagaimana yang dimaksud oleh Allah. Tetapi, penafsiran itu sendiri sifatnya tidak mutlak. Cak Fuad kemudian memaparkan tiga jenis penafsiran al-Quran yang selama ini ada dan telah berkembang. Tafsir bir-Riwayah, tafsir bir-Ra’yi, dan tafsir bil-isyarah.

Tafsir bir-riwayah bersumber dari Rasul dan para Sahabat. Tafsir Ibnu Katsir, misalnya, dipenuhi dengan hadis. Sangat dominan warna di mana Ibnu Katsir mencari apa kata Nabi dan Sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran.

Tafsir bir-ra’yi adalah adalah tafsir yang berupaya menjelaskan ayat berdasarkan ra’yu (pandangan, akal) dari sang mufassir. Jenis tafsir ini dulu ditolak, karena dianggap tidak boleh. Tetapi usai Ibnu Katsir, lahir banyak tafsir bir-ra’yi, meskipun dengan tidak mengesampingkan riwayat. Pada jenis tafsir ini, biasa terjadi perbedaan pendapat. Para mufassir juga sangat menyadari hal ini. Maka mereka biasa mengatakan, “Menurut saya seperti ini…, bukan menurut al-Quran langsung. Tetapi di sini orang pun bisa bingung, kata al-Quran begini, kok orang bilang begitu. Maka harus dikembalikan pada proporsinya, dan diakhiri dengan “Wallahu a’lamu bimurodihi (Dan Allah maha lebih mengetahui dengan maksudnya),” jelas Cak Fuad. Ada kerendahan hati yang terbangun di situ. Kitab al-Muwattho’ karya Imam Malik mau dijadikan rujukan oleh Harun al-Rasyid Dinasti Abbasiyah dan ditolak oleh Imam Malik dengan alasan kerendahan hati mungkin di sana al-Muwattho’ kurang cocok atau ada kitab lain yang lebih relevan dengan kondisi di sana. Bahkan ketika Harun al-Rasyid meminta Imam Malik untuk menjadi mufti pun ditolaknya.

Para imam-imam lain juga demikian. Imam Hambali dan Imam Syafi’i saling toleran. Pendapat saya benar, tapi mungkin ada salahnya. Pendapat dia salah, tapi mungkin ada benarnya. Demikian postulat yang sudah sering kita dengar dari Imam Syafi’i. “Seperti itulah seharusnya Maiyah,” tegas Cak Fuad.

Mbok Dimaafkan, Jangan Dendam Terus
Cak Fuad


Adapun tafsir bil-Isyarah adalah tafsir berdasarkan isyarat-isyarat dari Allah. Hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki penafsiran ini. Menurut Cak Fuad, “Seoalah-olah tidak ada hubungan atau kaitan, tapi kalau dipikir-pikir mathuk (pas/cocok) juga. Kata “Rabb” yang dalam penafsiran Cak Nun ditangkap dan dirasakan ada suasana nggendong di dalamnya, seperti terlambangkan pada lengkung huruf ro’ dan ba’, yang seperti menampung, adalah juga tafsir bil-isyarah”. Tentu ada kritik terhadap jenis tafsir ini, tetapi pada prinsipnya, menurut Cak Fuad, tafsir bil-isyarah dapat diterima sepanjang tidak bertentangan dengan makna dhahir ayat, dan berbeda boleh.

Quote:


Quote:

Quote:


Quote:


Quote:


***


Malam itu Majelis Ilmu Padhangmbulan, yang berlangsung di halaman Pesantren Padhangmbulan, tempat para jamaah duduk lesehan di sebidang tanah yang cukup luas di bawah naungan pohon-pohon jatimas, dihadiri sangat banyak generasi muda, yang sangat intens dan khidmat menyimak uraian-uraian dari Cak Nun, Cak Fuad, dan narasumber lain. Sangat mengagumkan militansi mereka datang dari jauh menuju desa Mentoro yang agak terpencil dan jauh dari desa-desa sekitar. Dan di sinilah mereka, meminjam istilah Cak Nun, mengasah gilingan, alias menimba ilmu. “Selama ini kita belum bisa membedakan antara pengetahuan dan ilmu. Ilmu itu gilingan atau metodologi. Nah Maiyah itu berusaha mengasah gilinganmu.” Dan, sebenarnya, yang terjadi bukan saja mereka istiqamah untuk mendapatkan ilmu, tetapi juga belajar bagaimana mendapatkan wisdom atau kearifan dalam melihat dan menyikapi sesuatu. #


Spoiler for penulis:
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 9 suara
Bagaimana Anda Menyikapi Perbedaan Tafsir?
Menentang
0%
Menghormati
67%
Tergantung
33%
Tidak Tahu
0%
Diubah oleh habibgoogle 28-05-2017 13:52
0
5.6K
40
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan