- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pelanggaran HAM Era Jokowi Meningkat


TS
p0congkaskus
Pelanggaran HAM Era Jokowi Meningkat
Pelanggaran HAM Era Jokowi Meningkat

Pengungkapan Tragedi HAM, Belum Ada Kabar (1)

Lanjut bawah.....

Quote:
Alih-alih bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang mengendap bertahun-tahun, pelanggaran HAM di era pemerintahan Jokowi-JK malah semakin menumpuk. Tren pelanggaran HAM sejak selama pemerintahan Joko Widodo mengalami peningkatan, jumlahnya malah makin membuncit setiap tahunnya.
Menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) jumlah pelanggaran HAM mengalami tren meningkat. Pada tahun 2015, Kontras mencatat 98 kasus penyiksaan yang dilakukan penegak hukum. Sedangkan pada tahun 2016 jumlah itu pun meningkat menjadi 108 kasus.
Hal yang sama juga dikonfirmasi oleh anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Otto Samsoedin Ishak. Meskipun tak menyebut angka pasti kenaikan pelanggaran HAM, Otto memastikan ada tren meningkat dari tahun sebelumnya. "Datanya saya enggak tahu. tapi pada umumnya pasti naik," aku Otto di Jakarta, Kamis 19 Mei 2017.
Dia menerangkan lebih jauh soal kenapa angka tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Setidaknya, imbuh Otto, ada dua faktor yang angka selalu meningkat, pertama sejauh mana sosialisasi oleh Komnas HAM soal Hak Asasi Manusia,kedua sejauh mana kesadaran warga terhadap persoalan HAM.
Namun, jumlah itu terkait laporan pelanggaran HAM biasa bukan pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kemungkinan itu terjadi pada daerah-daerah yang sangat pelosok dan wilayah potensi konflik sangat tinggi. Namun begitu, dia melihat potensi pelanggaran HAM itu terjadi pula lantaran instrumen lain yang tidak berjalan dengan baik dalam tatanan masyarakat.
Sejauh ini, memang umumnya hanya terindikasi dengan pelanggaran HAM biasa. Motifnya pun sangat jamak, namun yang paling sering adalah soal konflik lahan.
"Instrumen adat misalnya tidak berjalan baik sehingga selalu kasus itu lari ke arah pidana," ungkap Otto. Dia mengatakan bahwa pelanggaran hukum atau pelanggaran HAM dapat saja diminimalisasi jika semua intrumen lainnya seperti adat istiadat juga bisa berperan untuk mengatasi konflik.
Seperti diketahui, ada banyak kasus yang terindikasi adanya pelanggaran HAM seperti yang kasus kematian terduga teroris Siyono di Klaten. Selainn itu ada pula kasusIndra Pelani (Jambi), Kematian aktivis lingkungan Salim Kancil serta perjuangan ibu-ibu petani pegunungan Kendeng Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen di dekat sumber penghidupannya.
Menurut catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) jumlah pelanggaran HAM mengalami tren meningkat. Pada tahun 2015, Kontras mencatat 98 kasus penyiksaan yang dilakukan penegak hukum. Sedangkan pada tahun 2016 jumlah itu pun meningkat menjadi 108 kasus.
Hal yang sama juga dikonfirmasi oleh anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Otto Samsoedin Ishak. Meskipun tak menyebut angka pasti kenaikan pelanggaran HAM, Otto memastikan ada tren meningkat dari tahun sebelumnya. "Datanya saya enggak tahu. tapi pada umumnya pasti naik," aku Otto di Jakarta, Kamis 19 Mei 2017.
Dia menerangkan lebih jauh soal kenapa angka tersebut semakin meningkat setiap tahunnya. Setidaknya, imbuh Otto, ada dua faktor yang angka selalu meningkat, pertama sejauh mana sosialisasi oleh Komnas HAM soal Hak Asasi Manusia,kedua sejauh mana kesadaran warga terhadap persoalan HAM.
Namun, jumlah itu terkait laporan pelanggaran HAM biasa bukan pelanggaran HAM berat. Menurutnya, kemungkinan itu terjadi pada daerah-daerah yang sangat pelosok dan wilayah potensi konflik sangat tinggi. Namun begitu, dia melihat potensi pelanggaran HAM itu terjadi pula lantaran instrumen lain yang tidak berjalan dengan baik dalam tatanan masyarakat.
Sejauh ini, memang umumnya hanya terindikasi dengan pelanggaran HAM biasa. Motifnya pun sangat jamak, namun yang paling sering adalah soal konflik lahan.
"Instrumen adat misalnya tidak berjalan baik sehingga selalu kasus itu lari ke arah pidana," ungkap Otto. Dia mengatakan bahwa pelanggaran hukum atau pelanggaran HAM dapat saja diminimalisasi jika semua intrumen lainnya seperti adat istiadat juga bisa berperan untuk mengatasi konflik.
Seperti diketahui, ada banyak kasus yang terindikasi adanya pelanggaran HAM seperti yang kasus kematian terduga teroris Siyono di Klaten. Selainn itu ada pula kasusIndra Pelani (Jambi), Kematian aktivis lingkungan Salim Kancil serta perjuangan ibu-ibu petani pegunungan Kendeng Jawa Tengah yang menolak pembangunan pabrik semen di dekat sumber penghidupannya.
Pengungkapan Tragedi HAM, Belum Ada Kabar (1)

Quote:
RILIS.ID, Jakarta— Payung-payung hitam yang berdiri tiap kamis di depan istana negara itu, seperti sebuah monumen. Sebuah pengingat bahwa ada tragedi masa lalu yang dilakukan oleh negara, yang tak boleh dilupakan. Atas nama apapun, kebenaran tidak boleh ditutupi dan dipalsukan. Aksi Kamisan yang berusia 493 kali, adalah pengingat bahwa sebagai bangsa yang beradab, maka generasi kini dan mendatang berhak mengetahui setiap pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.
Kasus-kasus seperti peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius yang terjadi sepanjang tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, tragedi Wasior dan Wamena, harus terus disuarakan agar negara mempertanggungjawabkannya.
elanggaran HAM pada peristiwa 1965-1966 termasuk peristiwa yang paling besar dibanding yang lain. Angka korban akibat keganasan penjahat HAM juga fantastik, sekitar setengah juta orang yang menjadi korban peristiwa yang paling kelam sejak republik ini terbentuk.
Bahkan Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi sepanjang 1965- 1966 merupakan kejahatan genosida. Kejadian yang memakan korban terbesar dalam kejahatan kemanusiaan itu menurutnya sangat terorganisir sejak sebelum meletusnya peristiwa itu.
Kejahatan yang terjadi sepanjang 1966-1965 bahkan telah diputuskan pada persidangan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag. Dalam putusannya IPT menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab terhadap 10 kejahatan HAM berat yang terjadi pada rentang 1966-1965. Dalam persidangan yang berlangsung pada 10-13 November 2015 ini, peristiwa tersebut telah memakan korban sekitar 400.000 hingga 500.000 orang.
Komisioner Komnas HAM Otto Samsoedin Ishak mengapresiasi langkah advokasi yang membawa kasus tersebut ke pengadilan rakyat di Den Haag. Namun, keputusan yang merupakan hasil pengadilan itu tak memiliki tak memiliki tekanan yang kuat untuk mengubah kebijakan pemerintah soal pelanggaran itu.
"Sebagai langkah advokasi itu bagus. Tetapi dia tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan politik di Indonesia itu sendiri," kata Otto Samsoedin (19/5/2017).
Varian yang lain yang dinyatakan dalam putusan IPT itu menyebutkan Indonesia terbukti melakukan dengan memenjara sejumlah korban tanpa melalui proses hukum sama sekali. Indoneaia juga melakukan kejahatan berupa perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan.
Lewat keputusan persidangan itu pula, dalam rekomendasinya menyatakan bahwa pemerintah didorong untuk meminta maaf secara terbuka atas perlakuan negara terhadap para korban dan penyintas kejahatan 1966-1965. Bahkan tak hanya itu saja, rekomendasi juga meminta negara juga agar meminta maaf terhadap peristiwa yang terjadi setelahnya namun masih dalam bagian dan memiliki kaitan dengan peristiwa 1966.
Kejadian itu adalah peristiwa yang tak bisa ditutup-tutupi. Kejadian memang benar adanya. Lewat beberapa saksi yang juga sempat diperiksa serta laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meneliti soal itu menjadikannya tak bisa disangkal. Setidaknya itulah sikap hakim IPT dalam memproses kejahatan tersebut.
Kasus-kasus seperti peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius yang terjadi sepanjang tahun 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, Kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II, tragedi Wasior dan Wamena, harus terus disuarakan agar negara mempertanggungjawabkannya.
elanggaran HAM pada peristiwa 1965-1966 termasuk peristiwa yang paling besar dibanding yang lain. Angka korban akibat keganasan penjahat HAM juga fantastik, sekitar setengah juta orang yang menjadi korban peristiwa yang paling kelam sejak republik ini terbentuk.
Bahkan Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi sepanjang 1965- 1966 merupakan kejahatan genosida. Kejadian yang memakan korban terbesar dalam kejahatan kemanusiaan itu menurutnya sangat terorganisir sejak sebelum meletusnya peristiwa itu.
Kejahatan yang terjadi sepanjang 1966-1965 bahkan telah diputuskan pada persidangan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) di Den Haag. Dalam putusannya IPT menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab terhadap 10 kejahatan HAM berat yang terjadi pada rentang 1966-1965. Dalam persidangan yang berlangsung pada 10-13 November 2015 ini, peristiwa tersebut telah memakan korban sekitar 400.000 hingga 500.000 orang.
Komisioner Komnas HAM Otto Samsoedin Ishak mengapresiasi langkah advokasi yang membawa kasus tersebut ke pengadilan rakyat di Den Haag. Namun, keputusan yang merupakan hasil pengadilan itu tak memiliki tak memiliki tekanan yang kuat untuk mengubah kebijakan pemerintah soal pelanggaran itu.
"Sebagai langkah advokasi itu bagus. Tetapi dia tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kebijakan politik di Indonesia itu sendiri," kata Otto Samsoedin (19/5/2017).
Varian yang lain yang dinyatakan dalam putusan IPT itu menyebutkan Indonesia terbukti melakukan dengan memenjara sejumlah korban tanpa melalui proses hukum sama sekali. Indoneaia juga melakukan kejahatan berupa perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan.
Lewat keputusan persidangan itu pula, dalam rekomendasinya menyatakan bahwa pemerintah didorong untuk meminta maaf secara terbuka atas perlakuan negara terhadap para korban dan penyintas kejahatan 1966-1965. Bahkan tak hanya itu saja, rekomendasi juga meminta negara juga agar meminta maaf terhadap peristiwa yang terjadi setelahnya namun masih dalam bagian dan memiliki kaitan dengan peristiwa 1966.
Kejadian itu adalah peristiwa yang tak bisa ditutup-tutupi. Kejadian memang benar adanya. Lewat beberapa saksi yang juga sempat diperiksa serta laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang meneliti soal itu menjadikannya tak bisa disangkal. Setidaknya itulah sikap hakim IPT dalam memproses kejahatan tersebut.
Lanjut bawah.....
0
3.5K
Kutip
27
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan