Kaskus

News

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Pilih Anaknya Tak Dapat Nilai di Sekolah
Pilih Anaknya Tak Dapat Nilai di Sekolah

ShareTweet+ 1Mail


Pilih Anaknya Tak Dapat Nilai di Sekolah


SM/dok
IKUT KARNAVAL: Penghayat kepercayaan Kapribaden mengikuti karnaval di Wonogiri, beberapa waktu lalu. (Kanan) KTPmilik Rosa Mulya Aji di kolom agamanya tertulis Keyakinan.(24)

KEYAKINAN seseorang tidak bisa dipaksa, meski harus menanggung konsekuensi berat. Kondisi itu dialami penganut Maneges asal Tegal, Rosa Mulya Aji, yang bersikeras menolak anaknya mengikuti agama lain.

Ketua Penghayat Kepercayaan Kejawen Maneges Kabupaten Tegal itu memilih anaknya mendapatkan nilai nol untuk mempertahankan keyakinan. ”Saya diwanti-wanti oleh leluhur untuk tidak ikut agama luar negeri,” kata Rosa Mulya Aji, yang juga ditunjuk sebagai ketua Kejawen Maneges Indonesia yang disebut Bahurekso Maneges itu.

Keyakinan yang diturunkan dari leluluhnya membuat anaknya, Rira Setiana Gari yang baru berumur lima tahun, tidak mendapatkan nilai agama. Rira yang belajar di TK PAUD Star Of Gama Slawi, Kabupaten Tegal, sempat ditawari untuk mengikuti agama lain. Namun, orangtuanya yang turun temurun menganut keyakinan Kejawen Maneges menolak hal tersebut.

”Perjuangan kami membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Nomor 27/2016 tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada satuan pendidikan,” terang Rosa. Menurut dia, penganut Maneges asal Tegal sebanyak 211 orang. Se-Indonesia sekitar 5.000 orang.

Dengan aturan itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) diminta menyediakan guru Penghayat Kepercayaan di setiap sekolah. Selama ini, banyak Penghayat Keyakinan yang terpaksa mengikuti agama lain. Hal itu dinilai sebuah diskriminasi karena tidak sesuai dengan keyakinan.

Dengan peraturan tersebut, para Penghayat Kepercayaan bisa mendapatkan hak dalam pendidikan keagamaan. ”Sekarang, para Penghayat Kepercayaan bisa mendapatkan KTP yang telah mencantumkan Penghayat Kepercayaan dalam kolom agama,” terang Rosa Mulya Aji yang juga menjabat Presidium Himpunan Ber-KTP Penghayat Kepercayaan Republik Indonesia itu.

Beberapa anggotanya telah mendapatkan KTP yang mencantumkan Penghayat Kepercayaan dalam kolom agama. Bahkan, banyak Penghayat Keyakinan yang menghubunginya untuk bisa mendapatkan KTP tersebut. Selain itu, kini Penghayat Keyakinan yang menikah juga bisa mencatatkan dalam pencatatan sipil. Namun, orang yang memiliki keyaninan kepercayaan harus mengikuti organisasi Penghayat Keyakinan. ”Ini juga salah satu diskriminasi di Penghayat Keyakinan.

Mereka harus masuk organisasi Penghayat Keyakinan, jika tidak maka tidak bisa menikah,” ujarnya. Kebanyakan Penghayat Keyakinan terpaksa masuk organisasi yang tidak sealiran. Hal itu dilakukan agar bisa menikah. Kondisi itu seharusnya tidak terjadi, karena Penghayat Keyakinan juga memiliki hal yang sama dengan penganut agama lain.

”Banyak hal yang tidak adil diterima para Penghayat Kepercayaan. Namun, kami hanya bisa mengikuti aturan. Mungkin, suatu saat akan ada keadilan bagi kami,” harapnya. Kendati sebagai kaum minoritas, Rosa tidak merasa dipinggirkan. Pasalnya, masih banyak yang meyakini Kejawen.

Hal itu bisa dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat yang menggunakan adat kejawen, seperti selamatan, 40 hari kematian, hitungan Jawa saat mendirikan bangunan dan adat kejawen lain. ”Saya malah sering dimintai tolong untuk menghitung hari baik untuk perkimpoian, mendirikan rumah dan lainnya. Ini menandakan bahwa akar keyakinan orang Jawa masih kuat, walaupun keyakinanya berbeda,” katanya.

Menanggapi gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar Penghayat Keyakinan bisa diakui sebagai agama di Indonesia, Rosa berkeyaninan aspirasi para Penghayat Keyakinan akan dikabulkan. Bahkan, dirinya akan mengawal langsung sidang di MK untuk mendukung dan mendorong keinginan para Penghayat Keyakinan. Hal itu mengingat Penghayat Keyakinan merupakan warisan leluhur asli Indonesia.

Kolom Agama

Di Wonogiri, terdapat beberapa aliran Penghayat Kepercayaan. Paling tidak ada lima aliran yang terdaftar resmi di Pemkab. Salah satunya adalah Paguyuban Penghayat Kapribaden. Di Indonesia, penghayat Kapribaden terbentuk sekitar tahun 1978. Adapun kepengurusan di Wonogiri baru dikukuhkan pada 2015.

”Kalau Kapribaden lahir sudah sejak 1970-an,” kata Sekretaris Paguyuban Penghayat Kapribaden, Purwanto. Kegiatan rutin yang diselenggarakan adalah doa bersama setiap malam Senin Pahing di rumah para anggota. Setiap malam Senin Pahing, mereka berdoa bersama kepada Tuhan Yang Maha Esa atau Gusti Kang Maha Suci untuk kepentingan pribadi maupun umum, demi keselamatan dunia dan akhirat.

”Dahulu anggota kami ribuan. Tetapi perkembangan zaman dan banyaknya kadhang (saudara/anggota) yang merantau, sekarang kegiatan paling-paling dihadiri pengurus yang jumlahnya sekitar 20-25 orang,” katanya. Purwanto menganut Kapribaden sejak 2015 karena ajakan teman. Dia mengaku tidak mendapat penentangan dari keluarga maupun masyarakat sekitar.

Mereka menghayati kepercayaan Kapribaden bukan sebagai pengganti agama. Melainkan bagian dari kebudayaan spiritual yang memperkaya dan memperkuat kerohanian. Para penghayat Kapribaden di Wonogiri tidak ingin mengosongkan kolom agama di dalam KTP. Hal itu agar tidak muncul kesalahpahaman dengan pemerintah. ”Kami sangat fleksibel mengikuti kondisi masyarakat.

Saya dengar ada penghayat kepercayaan lain yang ingin mengosongkan kolom agama. Kalau kami tetap diisi, sehingga tidak pernah ada masalah dalam kehidupan bermasyarakat maupun administrasi pemerintahan,” imbuhnya. Sejumlah tokoh penghayat kepercayaan Kapribaden bahkan memelopori pembangunan mushala. Sebagian anggotanya merupakan warga Nahdlatul Ulama (NU) yang taat.

Di Semarang, penghayat kepercayaan masih mendapatkan perlakuan diskriminatif pemerintah. Mereka terpaksa mengisi kolom agama, yang bukan keinginannya saat membuat KTP. Bila tidak, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (dispendukcapil) tidak akan memprosesnya. Pengalaman ini dialami Pujiarso (40), salah satu penghayat kepercayaan di Gunungpati, Semarang.

Karena diminta menuliskan agama, dia memilih Islam. ‘’Agama kepercayaan atau penghayat tidak diakui. Ini jelas ada diskriminasi terhadap kami sebagai penghayat,” kata dia. Menurut dia, di Semarang ada banyak penghayat. Namun tidak semua menjadi penghayat. Ada juga orang-orang yang tertarik bergabung namun masih menjalankan ibadah agamanya secara taat.

”Biasanya berkumpul dalam acara diskusi atau sarasehan. Bagi kami tidak selalu ada batasan antara agama dan tidak, semangat kami adalah persaudaraan,” katanya. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kota Semarang, Mardiyanto menuturkan, saat ini belum bisa memfasilitasi pengisian kolom agama di luar yang diakui pemerintah pusat.

Agama yang bisa tercantaum, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Di luar itu, imbuhnya, masih belum bisa difasilititasi. Pengosongan pada kolom agama juga belum bisa. Hal itu dikarenakan sistem pembuatan KTPberasal dari pusat. Bila diisi di luar agama yang diakui, KTP tidak bisa diproses.

‘’Bagus juga bila kolom agama dikosongkan, ini seperti di luar negeri. Namun, kami tetap harus mengikuti aturan dari pusat, tidak bisa memutuskan sendiri. Sejauh ini, kami juga belum menerima pemberitahuan perubahan tersebut,’’ ujar Mardiyanto. (Dwi Putro GD, Arie Wiwiarto, Hendra Setiawan, Khalid Yogi-39)

http://berita.suaramerdeka.com/smcet...ai-di-sekolah/

Lebih baik pendidikan agama dihapus aja
0
3.2K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan