- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Bantar Gebang: Yang Bertaruh Nyawa dan Ketemu Jenazah


TS
p0congkaskus
Bantar Gebang: Yang Bertaruh Nyawa dan Ketemu Jenazah

Imah (45), Pemulung di Bantar Gebang. Foto: C. Bashar/Rilis
RILIS.ID, Jakarta— Hari itu, truk-truk pengangkut sampah masih berderet menunggu antrian menuju “gunung” pembuangan. Truk inilah yang setiap hari mondar-mandir mengangkut 7.000 ton sampah dari Jakarta untuk dilimpahkan ke Bantargebang, Bekasi.
Bau menyengat, jangan ditanya. “Dulu pertama datang sih memang bau. Tapi sekarang mah udah biasa. Hidungnya sudah kebas, kali,” ujar Imah (45), satu dari ratusan pemulung yang bermukim di tempat ini.
Imah tak ingat waktu yang pasti, ia hanya menyebut sudah belasan tahun tinggal di Bantargebang. Ia hijrah dari Jawa Tengah bersama suaminya untuk merantau ke Jakarta. Sampailah ia di pusat pembuangan sampah ini dengan berpindah-pindah kontrakan bersama suami dan anaknya.
Sehari-hari perlengkapan kerjanya adalah keranjang bambu dan pengail sampah, juga lampu di kepala jika ia bekerja di malam hari. Dengan itu ia mengumpulkan sampah plastik, botol hingga kertas bekas. Sampah yang ia pulung itu ia kumpulkan dan setiap 20 hari sekali ia setorkan ke pengepul yang ia sebut sebagai “bos”. Penghasilannya rata-rata 50 ribu rupiah setiap hari.
Menjadi pemulung bukan perkara gampang. Ia harus bersaing dengan ratusan pemulung yang ada di sana yang kerap berebut tiap kali datang truk penganggkut. Tapi yang tak lebih gampang adalah soal resiko. Bertaruh nyawa adalah hal sehari-hari yang kerap terlupakan. Tertimbun longsoran sampah adalah bahaya yang mengancam setiap saat. Seperti yang dialami Sandi alias Paul (25), ia tewas ketika sebuah truk memuntahkan 6 ton sampah di saat ia lengah. Ini kejadi Januari lalu. Dan sebelumnya banyak terjadi hal serupa. Bukan cuma longsoran, resiko terkena alat berat atau tersambar petir, juga tak kalah mematikan. Karena itu, sebagai perhatian dari pengelola TPST, setiap pemulung yang terkena kecelakaan kerja akan mendapatkan bantuan Rp. 200 ribu.
Soal penyakit sudah dilupakan sebagai resiko. Terkena penyakit kulit dan tifus sudah dianggap lumrah. Imah sendiri sudah tidak bisa menghitung berapa kali ke Puskesmas dan rumah sakit untuk mengurusi penyakit ini.
Banyak pemulung yang menyukai bekerja di malam hari. Biasanya mereka berangkat pukul lima sore dan pulang jam empat subuh. Bergelut dengan sampah kadangkala ada peruntungannya. Mereka acap menemukan perabotan rumah tangga yang masih layak pakai, seperti setrika atap panci. Yang paling sering adalah makanan dan buah-buahan. “Biasanya kita cicip dulu. Kalo rasanya belum asem, kita bawa pulang, deh,” tutur Imah.
Tapi ada juga yang mengejutkan, Imah bercerita jika sudah beberapa kali ada pemulung yang menemukan mayat bayi, termasuk yang masih janin seukuran botol. Biasanya pemulung langsung mengurus temuan itu dan memakamkannya.
sumber: http://rilis.id/bantar-gebang-yang-b...u-jenazah.html
0
1.8K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan