tribunnews.comAvatar border
TS
MOD
tribunnews.com
Fahri, Siapa yang Kau Wakili?



Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Angkat topi buat Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Demokrat yang secara institusi menolak hak angket untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disusul kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).

Para “selonong boy” yang menandatangani usulan angket, yakni Desmond Junaidi Mahesa (Gerindra), Arsul Sani (PPP), Daeng Muhammad (PAN), Rohani Vanath (PKB) dan Fahri Hamzah (PKS), kata pimpinan parpol masing-masing, akan ditertibkan.

Presiden PKS Sohibul Iman bahkan menyebut Fahri Hamzah bukan lagi kader partainya, sehingga langkah Fahri menandatangani hak angket, dan kemudian mengesahkannya dalam Rapat Paripurna DPR, sekadar akal-akalan dia saja, bukan bagian dari kebijakan Fraksi PKS.

Fahri memang telah dipecat keanggotannya di PKS, bahkan jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR telah digantikan oleh Ledia Hanifa.

Pemecatan Fahri itu tertuang dalam surat DPP PKS No. 463/SKEP/DPPPKS/1437 tanggal 1 April 2016.

Namun, setelah mengajukan gugatan, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (14/12/2016), mengabulkan sebagian gugatan Fahri terhadap DPP PKS dalam perkara No. 214/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL.

Dalam amar putusannya, selain memulihkan kedudukan Fahri, majelis hakim juga memerintahkan tergugat membayar ganti rugi imateril sebesar Rp30 miliar. Namun, PKS menyatakan banding.

Anggota DPR dicalonkan oleh partai politik dan dipilih melalui pemilu. Pemberhentian anggota DPR pun dilakukan oleh parpol melalui Pergantian Antar Waktu (PAW) yang diproses di Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian disahkan dalam Rapat Paripurna DPR.

Ketika keberadaannya di DPR sudah tak diakui fraksinya lagi, lalu Fahri sesungguhnya mewakili apa atau siapa, termasuk dalam hak angket KPK ini?

Usulan hak angket bermula dari protes sejumlah anggota Komisi III DPR terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, yang menghadirkan mantan anggota Komisi II DPR Miryam S. Haryani sebagai saksi.

Dalam persidangan, penyidik KPK Novel Baswedan yang dikonfrontasi dengan Miryam menyatakan bahwa politisi Partai Hanura itu ditekan oleh sejumlah anggota Komisi III DPR, agar tidak mengungkap kasus korupsi dalam pengadaan e-KTP.

Menurut Novel, hal itu diceritakan Miryam saat diperiksa di KPK. Para anggota DPR yang namanya disebut menekan Miryam pun langsung bereaksi.

Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP, dan kemudian buron, namun pada Senin (1/5/2017) dini hari ditangkap polisi di Kemang, Jakarta Selatan.

Bukan Fahri Hamzah namanya kalau tidak pintar bersensasi. Wakil Ketua DPR itu memutuskan secara sepihak penggunaan hak angket dalam Rapat Paripurna DPR, Jumat (28/4/2017). Fahri yang memimpin sidang langsung mengetok palu meski ada “hujan” interupsi dari para anggota DPR yang hadir.

Apakah Fahri mewakili dirinya sendiri sebagai upaya “balas dendam”, mengingat legislator asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu pernah disebut menerima uang dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M. Nazaruddin terkait korupsi proyek pusat olah raga Hambalang?

Saat bersaksi untuk terdakwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (18/8/2014), Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis menyebut namanya. Fahri disebut sebagai salah satu penerima amplop berisi fulus senilai US$25.000 atau sekitar Rp 292 juta dari Nazaruddin.

Namun, lewat akun Twitternya @Fahrihamzah, Fahri menyatakan tidak tahu soal duit Nazaruddin tersebut.

"Saya belum tahu persisnya. Saya tidak merasa punya hubungan apa pun dengan Yulianis dan Nazar, apalagi soal uang," cuit Fahri, Senin (18/8/2014) malam, seperti dikutip sebuah media.

Fahri juga pernah berupaya menghalang-halangi penyidik KPK yang hendak menggeledah ruang kerja seorang anggota DPR di Senayan, Jakarta. Fahri juga kerap menyerukan pembubaran KPK.

Ataukah Fahri mewakili Ketua DPR Setya Novanto yang dicegah ke luar negeri oleh KPK terkait kasus e-KTP? Sejak Senin (10/4/2017), Setnov dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan ke depan.

Dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kemendagri Sugiharto, nama Setnov sering muncul sebagai salah satu pihak yang berperan dalam pengadaan e-KTP dengan total anggaran Rp5,95 triliun.

Ataukah Fahri mewakili kawan-kawannya yang disebut menekan Miryam? Sejumlah nama yang disebut menekan Miryam antara lain Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo dan mantan Ketua Komisi III DPR yang kini Ketua Badan Anggaran DPR Aziz Syamsuddin, keduanya dari Partai Golkar; Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang juga Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J. Mahesa; anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu, dan anggota Komisi III DPR yang juga Sekretaris Jenderal Partai Hanura Sarifuddin Sudding.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD berpendapat KPK tak perlu galau dengan hak angket DPR. Menurutnya, hak angket yang telah disetujui DPR tidak serta-merta mewajibkan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam kepada DPR.

Apalagi, menurut Mahfud, Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) secara tegas telah mengatur penggunaan hak angket tersebut.

Menurut UU MD3, hak angket itu menyelidiki pelaksanaan UU dan/atau kebijakan pemerintah. KPK itu bukan pemerintah dalam arti UUD 1945. Pemerintah, lanjut Mahfud, memiliki dua pengertian secara luas, yakni mencakup seluruh lembaga negara.

Sementara, dalam arti sempit pemerintah yang dimaksud hanya eksekutif. Adapun di dalam UUD 1945, pemerintah yang dimaksud hanya eksekutif.

Dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, yang dapat diangket DPR adalah pemerintah dan lembaga pemerintah non-kementerian. KPK bukan pemerintah.

Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz juga menilai hak angket DPR untuk KPK sekadar akal-akalan.

Donal pun menilai hak angket tersebut tak sesuai dengan definisi yang dijelaskan dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3 disebutkan tiga unsur penting dalam menggunakan hak angket.

Pertama, untuk penyelidikan. Kedua, terhadap kebijakan pemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas. Ketiga, harus ada dugaan bahwa kebijakan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Sebaliknya, menurut Donal, anggota DPR setidaknya menggunakan dua alasan dalam mengajukan hak angket.

Pertama, adanya dugaan kebocoran data atau informasi terkait proses hukum yang dilakukan KPK. Kedua, mereka menduga ada ketidakharmonisan di internal KPK.

Apa kebocoran informasi atau konflik internal berdampak luas dan berpengaruh pada bangsa dan negara? Apa KPK bertentangan dengan undang-undang? Tidak, kata Donal.

Lalu apa kata Fahri Hamzah terkait pendapat bahwa hak angket tak bisa diajukan ke KPK, lantaran KPK bukan lembaga pemerintah nonkementerian? Ia meminta pendapat tersebut disampaikan dalam rapat Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket KPK.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta. 

Sumber : http://www.tribunnews.com/tribunners...ang-kau-wakili

---

Baca Juga :

- Soal Pengajuan Nama Untuk Panitia Khusus, PAN Akan Lihat Perkembangan Hak Angket KPK

- PPP Akan Kirim Nama Anggota ke Pansus Jika Kuorum Fraksi

- Tak Diakui Sebagai Kader Partai, Fahri Hamzah Sebut PKS Tidak Mengerti Hukum

0
479
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan