- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Akademisi: Intervensi Peradilan Masih Sulit Dihilangkan
TS
sukhoivsf22
Akademisi: Intervensi Peradilan Masih Sulit Dihilangkan
Akademisi: Intervensi Peradilan Masih Sulit Dihilangkan
Tuesday, 25 April 2017 | 23:23 WIB

Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan intervensi terhadap dunia peradilan masih sulit dihilangkan di Tanah Air karena selama ini masih tergantung dalam bidang anggaran.
Menurut Trisno, ada fenomena yang terkesan membingungkan dalam penerapan hukum di Tanah Air. Di satu sisi, katanya, sistem dan materi hukum yang diterapkan di Indonesia memang masih meniru hukum yang digunakan di Belanda dan negara Eropa lain.
Ia mengatakan, pola administrasi dan pengangaran juga masih relatif sama, yakni disiapkan pemerintah melalui kementerian terkait. Namun dalam beracara, lanjutnya, peradilan di Indonesia jauh berbeda dengan Belanda dan negara Eropa lainnya yang bebas dari intervensi, terutama dari eksekutif.
"Meski eksekutif menyusun anggaran peradilan, tetapi tidak bisa mengintervensi. Itu yang belum dapat dilakukan dengan baik di Indonesia," katanya dalam seminar nasional dengan tema "Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia" di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan, Selasa (25/4).
Ia menilai indikasi "mengkristalnya" intervensi tersebut masih terdapat dalam RUU Jabatan Hakim yang sedang disiapkan pemerintah dan DPR. Kekhawatiran itu muncul karena adanya isi dalam RUU tersebut yang menyatakan hakim sebagai pejabat negara.
Pihaknya menilai diperlukan penegasan mengenai ketentuan tersebut guna memastikan hakim sebagai profesi independen atau pejabat negara seperti Aparatur Sipil Negara (ASN). Penegasan tersebut sangat dibutuhkan untuk menghasilkan hakim yang independen dan mampu menghasilkan kinerja yang akuntabel.
Anggota Komisi III DPR RI Raden HM Syafii mengatakan akuntabilitas merupakan salah satu syarat penting untuk menghadirkan peradilan yang dipercaya rakyat. "Independensi saja tidak cukup, tapi harus ada akuntabilitas," kata politikus Partai Gerindra itu.
Menurutnya, independensi hakim memang penting, tetapi tidak cukup karena masih ada peluang untuk dimanfaatkan oleh kelompok mafia peradilan. Dari penelitian yang dilakukan selama ini, mafia peradilan itu memang ada dan pengaruhnya sangat luas di berbagai lini peradilan.
"Mulai dari panitera, panitera pengganti, hakim, hingga jaksa, semuanya bisa dimasuki (mafia peradilan)," kata politisi yang sering dipanggil Romo itu.
Karena itu, kata dia, muncul UU 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menuntut adanya akuntablilitas peradilan di Indonesia.
Red: Bayu Hermawan
Source: Antara
http://m.republika.co.id/berita/nasi...it-dihilangkan
Hmm,,,
Susah kalo mafia peradilan mah,sulit dicari titik awal untuk memberantas hal itu.
Oya hakim yang sudah pensiun sebaiknya jangan langsung jadi advokat atau diberi jarak waktu sekian tahun setelah pensiun dulu baru boleh jadi advokat,karena mereka mantan hakim yang jadi advokat sangat paham seluk-beluk pengadilan bahkan tidak jarang akan berhadapan sama jpu dan majelis hakim dan kelengkapan peradilan yang merupakan bawahannya dulu,hingga ditakutkan budaya segan (ewuh pakewuh) tejadi,dan takutnya faktor kedekatan bisa membuka pintu "bermain".
Jangan sampai kasus mantan hakim agung Harini wijoso yang jadi advokat dalam kasus korupsi malah ikut terseret kasus juga.

Tuesday, 25 April 2017 | 23:23 WIB

Blogspot.com
Palu hakim (ilustrasi).
REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Trisno Raharjo mengatakan intervensi terhadap dunia peradilan masih sulit dihilangkan di Tanah Air karena selama ini masih tergantung dalam bidang anggaran.
Menurut Trisno, ada fenomena yang terkesan membingungkan dalam penerapan hukum di Tanah Air. Di satu sisi, katanya, sistem dan materi hukum yang diterapkan di Indonesia memang masih meniru hukum yang digunakan di Belanda dan negara Eropa lain.
Ia mengatakan, pola administrasi dan pengangaran juga masih relatif sama, yakni disiapkan pemerintah melalui kementerian terkait. Namun dalam beracara, lanjutnya, peradilan di Indonesia jauh berbeda dengan Belanda dan negara Eropa lainnya yang bebas dari intervensi, terutama dari eksekutif.
"Meski eksekutif menyusun anggaran peradilan, tetapi tidak bisa mengintervensi. Itu yang belum dapat dilakukan dengan baik di Indonesia," katanya dalam seminar nasional dengan tema "Independensi dan Akuntabilitas Peradilan di Indonesia" di kampus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Medan, Selasa (25/4).
Ia menilai indikasi "mengkristalnya" intervensi tersebut masih terdapat dalam RUU Jabatan Hakim yang sedang disiapkan pemerintah dan DPR. Kekhawatiran itu muncul karena adanya isi dalam RUU tersebut yang menyatakan hakim sebagai pejabat negara.
Pihaknya menilai diperlukan penegasan mengenai ketentuan tersebut guna memastikan hakim sebagai profesi independen atau pejabat negara seperti Aparatur Sipil Negara (ASN). Penegasan tersebut sangat dibutuhkan untuk menghasilkan hakim yang independen dan mampu menghasilkan kinerja yang akuntabel.
Anggota Komisi III DPR RI Raden HM Syafii mengatakan akuntabilitas merupakan salah satu syarat penting untuk menghadirkan peradilan yang dipercaya rakyat. "Independensi saja tidak cukup, tapi harus ada akuntabilitas," kata politikus Partai Gerindra itu.
Menurutnya, independensi hakim memang penting, tetapi tidak cukup karena masih ada peluang untuk dimanfaatkan oleh kelompok mafia peradilan. Dari penelitian yang dilakukan selama ini, mafia peradilan itu memang ada dan pengaruhnya sangat luas di berbagai lini peradilan.
"Mulai dari panitera, panitera pengganti, hakim, hingga jaksa, semuanya bisa dimasuki (mafia peradilan)," kata politisi yang sering dipanggil Romo itu.
Karena itu, kata dia, muncul UU 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menuntut adanya akuntablilitas peradilan di Indonesia.
Red: Bayu Hermawan
Source: Antara
http://m.republika.co.id/berita/nasi...it-dihilangkan
Hmm,,,
Susah kalo mafia peradilan mah,sulit dicari titik awal untuk memberantas hal itu.
Oya hakim yang sudah pensiun sebaiknya jangan langsung jadi advokat atau diberi jarak waktu sekian tahun setelah pensiun dulu baru boleh jadi advokat,karena mereka mantan hakim yang jadi advokat sangat paham seluk-beluk pengadilan bahkan tidak jarang akan berhadapan sama jpu dan majelis hakim dan kelengkapan peradilan yang merupakan bawahannya dulu,hingga ditakutkan budaya segan (ewuh pakewuh) tejadi,dan takutnya faktor kedekatan bisa membuka pintu "bermain".
Jangan sampai kasus mantan hakim agung Harini wijoso yang jadi advokat dalam kasus korupsi malah ikut terseret kasus juga.

0
453
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan