- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[Cerpen] Elizabeth Granzchesta


TS
redxiv
[Cerpen] Elizabeth Granzchesta
ELIZABETH GRANZCHESTA
Spoiler for Part 1:
Elizabeth Granzchesta melangkah bertelanjang kaki menikmati keindahan pantai di hari itu. Seorang diri menghayati setiap butir pasir yang dipijaknya, hempasan ombak-ombak yang menyapu mata kakinya, serta semilir angin lembut yang mengecup bibir merahnya. Rambut panjang keemasannya terurai mengikuti kemana angin berhembus, gaun putihnya melambai-lambai dengan sesekali memperlihatkan lekuk tubuh mempesonanya. Mata birunya memandang jauh ke batas cakrawala; ke hamparan laut biru bermandikan kilau matahari senja. Di saat ini, di dalam pikiran seorang Elizabeth Granzchesta, tidak ada hal-hal lain kecuali bahwa ia sangat ingin sekali mati.
Lisette—begitu ia biasa dipanggil—memiliki semua yang telah ditawarkan dunia kepadanya. Ia adalah salah satu pemimpin perusahaan raksasa dunia, dan menjadi satu-satunya pimpinan wanita di antara para pria. Namanya masuk ke dalam daftar seratus orang paling berpengaruh, sehingga ia menjadi sangat disegani—dan juga dihormati. Berbagai macam orang dari beragam tempat datang padanya hanya untuk sekedar bisa melihat sosoknya lebih dekat, dan ia menyambutnya dengan tangan terbuka. Bercerita dan mendengarkan kisah-kisah mereka, lalu berakhir sebagai teman baik.
Lisette juga telah merasakan berbagai macam jenis cinta. Dimulai dari seorang pria romantis yang pandai berpuisi; pria romantis yang pintar memainkan segala jenis alat musik dan bernyanyi; pria tak peka yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya; pria yang hanya senang memainkan perasaan wanita; pria religius yang terlalu sibuk mementingkan masalah orang lain; dan pria yang memiliki impian tinggi serta berjuang sangat keras demi mewujudkan mimpi tersebut. Namun sesungguhnya tidak ada seorang pun dari para pria itu yang pernah menjadi suaminya. Dan jika ada satu kekurangan yang dimiliki olehnya, itu adalah sebuah keluarga.
Selama hidupnya, Lisette hanya mengenal neneknya sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki. Itu pun bukan seorang nenek yang memiliki hubungan darah dengannya, semata-mata beliau hanya kesepian dan tak tega mengabaikan sesosok bayi yang terus menerus menangis di sekitar pekarangan rumahnya.
Namun sesungguhnya bukan perkara tak pernah memiliki keluargalah yang mendorong untuk mengakhiri hidup. Sebab baginya memiliki keluarga adalah sebuah pilihan, dan ia hanya belum menemukan pilihan tepat untuk melaksanakan pernikahan. Karena sebenarnya dari sekian banyak pria yang pernah mengencaninya, tak seorang pun dapat mengerti tentang dirinya. Dan ia tak ingin mengambil resiko untuk hidup satu atap, dan melahirkan anak-anak, dari seseorang yang tak dapat memahami dirinya sepenuhnya—meski ia juga sangat mencintai pria tersebut. Baginya, bagi seorang Elizabeth Granzchesta, tak ada yang lebih dapat memahaminya selain suara Yang Lain di jiwanya.
*
Elizabeth Granzchesta kali pertama mendengar suara Yang Lain di jiwanya adalah saat ia berumur enam tahun. Atau tepatnya, sepeninggal nenek yang teramat dicintainya karena tak mampu melawan waktu. Kala itu, dengan terpaksa ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di panti asuhan. Ia merasa begitu kehilangan, kesepian, dan menjadi terlampau sering berdiam diri dengan mencari tempat sepi. Ia menganggap dirinya tidaklah diinginkan—bahkan Tuhan yang Maha Penyayang mengambil satu-satunya manusia yang paling mempedulikannya. Dan ketika itu—bagai sebuah keajaiban—ia mendengar suara-suara lain di jiwanya.
Mulanya Lisette ketakutan dan menduga itu adalah suara iblis, atau sekedar imajinasinya belaka. Namun lama-kelamaan ia menyadari jika suara itu menyenangkan. Suara itu bernyanyi di kala ia ingin menangis, suara itu bercerita di saat ia kesepian, dan suara itu ikut tertawa tatkala ia merasa bahagia. Suara Yang Lain di jiwanya seolah menjadi ibu yang mengajar dan membimbingnya; menjadi kakak yang selalu dapat memberinya nasihat; menjadi sahabat yang selalu ada untuknya; menjadi saudara saat ia ingin bermain bersama; dan menjadi neneknya yang telah tiada di saat ia ingin mendengarkan kisah-kisah. Yang Lain selalu dapat menjadi keluarga yang tak pernah dimilikinya. Yang Lain senantiasa menguatkannya, meyakinkannya, mendorongnya, dan juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan; tentang Janteloven.
Janteloven, atau hukum Jante, dirumuskan oleh Aksel Sandemose pada bukunya yang berjudul: A Fugitive Crosses His Tracks, dan kali pertama diterbitkan pada tahun 1936. Hukum yang diketahui oleh hampir seluruh masyarakat Skandinavia itu lebih kurang berbunyi seperti ini: Jangan pernah berpikir Anda istimewa; Jangan pernah berpikir Anda lebih baik dari yang lain; Jangan pernah berpikir Anda lebih pintar dari yang lain; Jangan berpikir Anda lebih penting dari yang lain; Jangan berpikir orang lain mempedulikan Anda; Jangan menertawakan orang lain; Jangan pernah berpikir Anda mengetahui lebih banyak mengenai orang lain.
Kesimpulannya, Janteloven adalah hukum tak tertulis yang berprinsip pada egaliterianisme ekstrim untuk menjaga harmoni sosial dalam suatu kelompok masyarakat homogen.
Hukum ini pada dasarnya indah karena mengajarkan tentang kebersahajaan dalam bersikap, mengajarkan bahwa sesungguhnya Anda harus tetap rendah hati atas pencapaian dan keterampilan yang dimiliki. Namun menjadi sesuatu yang amat buruk saat hukum ini digunakan untuk mengintimidasi seseorang ingin hidup dengan melawan arus. Meski hukum ini bernama hukum Jante, dan hanya dikenal di wilayah Skandinavia, pada dasarnya hukum ini ada dimana pun di seluruh penjuru bumi walau tak pernah memiliki nama.
Misalkan, saat seseorang itu berpikir, bersuara, atau bertindak berbeda dari golongan masyarakatnya pada umumnya. Maka secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat akan coba mengintimidasinya. Mengatakan bahwa Anda bukanlah siapa-siapa, jadi tak perlu bermimpi terlalu tinggi. Jalani saja hidup seperti biasanya; hidup yang nyaman dan aman dari segala bentuk kontroversi. Ikuti saja arus, seperti saat banyak orang melangkah ke kanan Anda ikut ke kanan, dan saat mereka beralih ke kiri Anda juga tinggal mengikutinya. Tak perlu memusingkan apa jalan yang Anda ambil itu benar atau salah—atau apakah itu sesuatu yang Anda kehendaki. Pokoknya, selama banyak orang melangkah dijalan yang sama itu berarti benar—toh kalau pun salah berarti semua orang juga salah.
Hidup yang amat menyedihkan, dan sama sekali tak pernah terpikir oleh Lisette untuk menjalani hidup dengan cara seperti itu. Ia yakin bahwa dirinya bukanlah robot yang tak memiliki kehendak; yang tak memiliki impian dan cita-cita. Dan walau keinginannya itu berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya; dan meski cita-cita dan impiannya itu diremehkan banyak orang, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk berhenti dan menangis. Meski orang yang dikenalnya coba mengintimidasinya, menyatakan bahwa dirinya sudah pasti gagal, atau menasihatinya bahwa ada jalan yang lebih aman dan mudah untuk dilalui, Lisette tetap bergeming. Ia yakin seseorang hidup bukan untuk di dikte—harus begini, harus begitu, seharusnya melakukan ini, dan seharusnya melakukan itu.
Hidup memang goreskan oleh tangan yang sama, namun tidak serta merta menjadikan semua orang harus melakukan hal yang sama pula. Setiap orang itu berharga; setiap orang itu penting; setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing. Dan Lisette menjalani hidupnya dengan menciptakan hukum anti jante. Berjuang seorang diri meski itu harus menantang arus. Ia tidak pernah membatasi mimpi-mimpinya dengan berkata bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa.
*
Elizabeth Granzchesta berumur tiga puluh empat tahun tepat di hari itu. Dan kemarin malam, ia telah menggelar pesta mewah untuk merayakannya. Dihadiri oleh ratusan teman dan rekan sejawatnya, dan juga oleh perwakilan perusahaan rival bisnisnya. Ia menerima ribuan pesan yang berisi: ucapan selamat, doa-doa, dan permohonan maaf karena tidak bisa menghadiri pesta tersebut. Pagi harinya ia mengunjungi panti asuhan tempatnya dibesarkan. Merayakan ulang tahunnya bersama orang tua asuh, serta anak-anak yatim dan yatim piatu. Pada tengah hari ia menanda tangani sejumlah berkas yang berisi persetujuannya untuk mendonasikan sebagian besar hartanya pada ratusan yayasan panti asuhan. Dan sore harinya, disinilah ia berada, di atas jalanan setapak berpasir putih yang menuju ke puncak lembah di ujung barat pantai itu.
Suatu hari Lisette pernah berkata pada Yang Lain, betapa beruntung dirinya memiliki Yang Lain di jiwanya. Lalu Yang Lain menjawab, jika sesungguhnya semua orang—di dalam jiwa setiap manusia—selalu ada tempat bagi Yang Lain. Hanya saja kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk mengabaikannya. Yang Lain itu ialah suara hati; dia merupakan manifestasi dari kebebasan berpikir serta berimajinasi tanpa dibatasi oleh aturan dan logika. Dia adalah sumber motivasi terdalam. Jiwa yang autentik; diri sendiri yang sebenar-benarnya yang bersemayam di dalam jiwa setiap manusia tanpa mengenakan topeng. Selayaknya anak kecil yang polos, dia selalu meronta saat harus mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Dia selalu berhasrat untuk terus belajar, berpikir, beraktivitas, dan berkarya. Dia adalah potensi unik yang bersembunyi dan menunggu untuk diketemukan. Dia adalah pendorong seseorang untuk memenuhi panggilan jiwanya.
Panggilan jiwa. Manakala seseorang kali pertama mendengar dan mengikuti panggilan jiwanya, dia pasti akan mendapati sebuah jalan mulus tak berliku. Jalan yang tampaknya mudah untuk dilalui; jalan yang seolah akan menuntun mereka pada kebahagiaan dan kesuksesan—mereka biasa menyebut itu sebagai keberuntungan pemula. Namun nyatanya tak pernah ada kebahagiaan tanpa kemalangan, dan tidak ada kesuksesan tanpa berharap kegagalan. Jalan mulus itu pun berlahan berubah menjadi sebuah jalan terjal nan suram. Jalan yang menuntun mereka pada kegagalan demi kegagalan, dan serasa semakin menyakitkan jika terus melangkah di jalan tersebut. Pada fase inilah kebanyakan dari mereka mulai mengabaikan suara hatinya, dan lebih memilih mendengarkan suara-suara orang lain yang tak ada sangkut pautnya.
Semua orang memang selayaknya mendengarkan nasihat dan pendapat orang lain. Semua orang juga haruslah mempelajari ilmu dan belajar dari pengalaman orang lain. Namun jangan pernah terpaku pada hasil dari jerih payah orang lain. Sebab sebesar apapun seseorang mencoba berjalan dijalan milik orang lain, dia tak akan pernah benar-benar bisa menjadi orang tersebut.
Sangat penting artinya bagi Lisette untuk dapat memahami dirinya sendiri. Untuk bisa memilah mana yang selayaknya diambil untuk dipelajari lebih dalam, dan mana yang sepatutnya pantas untuk diabaikan. Dan saat ia tersesat, bimbang, ragu, atau pun frustasi, ia selalu mendengarkan apa yang suara hatinya katakan kepadanya. Kemudian—bagai suatu mujikzat—ia menemukan solusi bagi permasalahan itu.
Lisette juga memahami kegagalan yang dialaminya sebagai jalan yang memang pantas untuk ditempuh. Sebab suara hatinya selalu menginginkannya untuk mencoba semua jalan yang terbentang dihadapannya. Suara hatinya tak pernah mengatakan: “jangan,” atau “berhenti,” atau “tidak.” Tapi selalu mengatakan: “coba saja,” atau “lakukanlah.” Semata karena suara hati memahami benar makna dari sebuah pencapaian. Pencapaian tidaklah pernah bisa diraih tanpa mengenal kerja keras, pengorbanan, ujian-ujian berat, serta kegagalan.
Layaknya seorang pianis yang mengalunkan melodinya dari atas sebuah panggung dan disaksikan oleh ribuan pasang mata. Pianis itu tak menggunakan logika saat memainkan pianonya. Ia juga tidak memiliki aturan-aturan khusus. Yang ada di dalam benaknya hanyalah ia bermain piano karena itu adalah panggilan jiwanya. Ia memainkannya sebab jiwanya turut bersenandung bersamanya; untuk mengisi jiwa-jiwa lain yang juga menikmatinya; dan demi alam semesta yang telah membimbingnya.
Jiwa adalah bagian dari alam semesta, dan suara-suara dalam hati adalah bagian dari jiwa-jiwa. Memercayai suara di dalam jiwa berarti juga memercayai akan adanya keajaiban-keajaiban. Keajaiban melalui bimbingan jiwa-jiwa—melalui alam semesta yang senantiasa datang memandu. Memercayai suara yang berasal dari dalam hati, memahaminya sebagai bahasa-bahasa intuisi, meyakini akan bakat yang bersemayam di dalam diri.
*
Lisette—begitu ia biasa dipanggil—memiliki semua yang telah ditawarkan dunia kepadanya. Ia adalah salah satu pemimpin perusahaan raksasa dunia, dan menjadi satu-satunya pimpinan wanita di antara para pria. Namanya masuk ke dalam daftar seratus orang paling berpengaruh, sehingga ia menjadi sangat disegani—dan juga dihormati. Berbagai macam orang dari beragam tempat datang padanya hanya untuk sekedar bisa melihat sosoknya lebih dekat, dan ia menyambutnya dengan tangan terbuka. Bercerita dan mendengarkan kisah-kisah mereka, lalu berakhir sebagai teman baik.
Lisette juga telah merasakan berbagai macam jenis cinta. Dimulai dari seorang pria romantis yang pandai berpuisi; pria romantis yang pintar memainkan segala jenis alat musik dan bernyanyi; pria tak peka yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya; pria yang hanya senang memainkan perasaan wanita; pria religius yang terlalu sibuk mementingkan masalah orang lain; dan pria yang memiliki impian tinggi serta berjuang sangat keras demi mewujudkan mimpi tersebut. Namun sesungguhnya tidak ada seorang pun dari para pria itu yang pernah menjadi suaminya. Dan jika ada satu kekurangan yang dimiliki olehnya, itu adalah sebuah keluarga.
Selama hidupnya, Lisette hanya mengenal neneknya sebagai satu-satunya keluarga yang ia miliki. Itu pun bukan seorang nenek yang memiliki hubungan darah dengannya, semata-mata beliau hanya kesepian dan tak tega mengabaikan sesosok bayi yang terus menerus menangis di sekitar pekarangan rumahnya.
Namun sesungguhnya bukan perkara tak pernah memiliki keluargalah yang mendorong untuk mengakhiri hidup. Sebab baginya memiliki keluarga adalah sebuah pilihan, dan ia hanya belum menemukan pilihan tepat untuk melaksanakan pernikahan. Karena sebenarnya dari sekian banyak pria yang pernah mengencaninya, tak seorang pun dapat mengerti tentang dirinya. Dan ia tak ingin mengambil resiko untuk hidup satu atap, dan melahirkan anak-anak, dari seseorang yang tak dapat memahami dirinya sepenuhnya—meski ia juga sangat mencintai pria tersebut. Baginya, bagi seorang Elizabeth Granzchesta, tak ada yang lebih dapat memahaminya selain suara Yang Lain di jiwanya.
*
Elizabeth Granzchesta kali pertama mendengar suara Yang Lain di jiwanya adalah saat ia berumur enam tahun. Atau tepatnya, sepeninggal nenek yang teramat dicintainya karena tak mampu melawan waktu. Kala itu, dengan terpaksa ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di panti asuhan. Ia merasa begitu kehilangan, kesepian, dan menjadi terlampau sering berdiam diri dengan mencari tempat sepi. Ia menganggap dirinya tidaklah diinginkan—bahkan Tuhan yang Maha Penyayang mengambil satu-satunya manusia yang paling mempedulikannya. Dan ketika itu—bagai sebuah keajaiban—ia mendengar suara-suara lain di jiwanya.
Mulanya Lisette ketakutan dan menduga itu adalah suara iblis, atau sekedar imajinasinya belaka. Namun lama-kelamaan ia menyadari jika suara itu menyenangkan. Suara itu bernyanyi di kala ia ingin menangis, suara itu bercerita di saat ia kesepian, dan suara itu ikut tertawa tatkala ia merasa bahagia. Suara Yang Lain di jiwanya seolah menjadi ibu yang mengajar dan membimbingnya; menjadi kakak yang selalu dapat memberinya nasihat; menjadi sahabat yang selalu ada untuknya; menjadi saudara saat ia ingin bermain bersama; dan menjadi neneknya yang telah tiada di saat ia ingin mendengarkan kisah-kisah. Yang Lain selalu dapat menjadi keluarga yang tak pernah dimilikinya. Yang Lain senantiasa menguatkannya, meyakinkannya, mendorongnya, dan juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan; tentang Janteloven.
Janteloven, atau hukum Jante, dirumuskan oleh Aksel Sandemose pada bukunya yang berjudul: A Fugitive Crosses His Tracks, dan kali pertama diterbitkan pada tahun 1936. Hukum yang diketahui oleh hampir seluruh masyarakat Skandinavia itu lebih kurang berbunyi seperti ini: Jangan pernah berpikir Anda istimewa; Jangan pernah berpikir Anda lebih baik dari yang lain; Jangan pernah berpikir Anda lebih pintar dari yang lain; Jangan berpikir Anda lebih penting dari yang lain; Jangan berpikir orang lain mempedulikan Anda; Jangan menertawakan orang lain; Jangan pernah berpikir Anda mengetahui lebih banyak mengenai orang lain.
Kesimpulannya, Janteloven adalah hukum tak tertulis yang berprinsip pada egaliterianisme ekstrim untuk menjaga harmoni sosial dalam suatu kelompok masyarakat homogen.
Hukum ini pada dasarnya indah karena mengajarkan tentang kebersahajaan dalam bersikap, mengajarkan bahwa sesungguhnya Anda harus tetap rendah hati atas pencapaian dan keterampilan yang dimiliki. Namun menjadi sesuatu yang amat buruk saat hukum ini digunakan untuk mengintimidasi seseorang ingin hidup dengan melawan arus. Meski hukum ini bernama hukum Jante, dan hanya dikenal di wilayah Skandinavia, pada dasarnya hukum ini ada dimana pun di seluruh penjuru bumi walau tak pernah memiliki nama.
Misalkan, saat seseorang itu berpikir, bersuara, atau bertindak berbeda dari golongan masyarakatnya pada umumnya. Maka secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat akan coba mengintimidasinya. Mengatakan bahwa Anda bukanlah siapa-siapa, jadi tak perlu bermimpi terlalu tinggi. Jalani saja hidup seperti biasanya; hidup yang nyaman dan aman dari segala bentuk kontroversi. Ikuti saja arus, seperti saat banyak orang melangkah ke kanan Anda ikut ke kanan, dan saat mereka beralih ke kiri Anda juga tinggal mengikutinya. Tak perlu memusingkan apa jalan yang Anda ambil itu benar atau salah—atau apakah itu sesuatu yang Anda kehendaki. Pokoknya, selama banyak orang melangkah dijalan yang sama itu berarti benar—toh kalau pun salah berarti semua orang juga salah.
Hidup yang amat menyedihkan, dan sama sekali tak pernah terpikir oleh Lisette untuk menjalani hidup dengan cara seperti itu. Ia yakin bahwa dirinya bukanlah robot yang tak memiliki kehendak; yang tak memiliki impian dan cita-cita. Dan walau keinginannya itu berbeda dengan kebanyakan manusia lainnya; dan meski cita-cita dan impiannya itu diremehkan banyak orang, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk berhenti dan menangis. Meski orang yang dikenalnya coba mengintimidasinya, menyatakan bahwa dirinya sudah pasti gagal, atau menasihatinya bahwa ada jalan yang lebih aman dan mudah untuk dilalui, Lisette tetap bergeming. Ia yakin seseorang hidup bukan untuk di dikte—harus begini, harus begitu, seharusnya melakukan ini, dan seharusnya melakukan itu.
Hidup memang goreskan oleh tangan yang sama, namun tidak serta merta menjadikan semua orang harus melakukan hal yang sama pula. Setiap orang itu berharga; setiap orang itu penting; setiap orang memiliki pemikirannya masing-masing. Dan Lisette menjalani hidupnya dengan menciptakan hukum anti jante. Berjuang seorang diri meski itu harus menantang arus. Ia tidak pernah membatasi mimpi-mimpinya dengan berkata bahwa dirinya bukanlah siapa-siapa.
*
Elizabeth Granzchesta berumur tiga puluh empat tahun tepat di hari itu. Dan kemarin malam, ia telah menggelar pesta mewah untuk merayakannya. Dihadiri oleh ratusan teman dan rekan sejawatnya, dan juga oleh perwakilan perusahaan rival bisnisnya. Ia menerima ribuan pesan yang berisi: ucapan selamat, doa-doa, dan permohonan maaf karena tidak bisa menghadiri pesta tersebut. Pagi harinya ia mengunjungi panti asuhan tempatnya dibesarkan. Merayakan ulang tahunnya bersama orang tua asuh, serta anak-anak yatim dan yatim piatu. Pada tengah hari ia menanda tangani sejumlah berkas yang berisi persetujuannya untuk mendonasikan sebagian besar hartanya pada ratusan yayasan panti asuhan. Dan sore harinya, disinilah ia berada, di atas jalanan setapak berpasir putih yang menuju ke puncak lembah di ujung barat pantai itu.
Suatu hari Lisette pernah berkata pada Yang Lain, betapa beruntung dirinya memiliki Yang Lain di jiwanya. Lalu Yang Lain menjawab, jika sesungguhnya semua orang—di dalam jiwa setiap manusia—selalu ada tempat bagi Yang Lain. Hanya saja kebanyakan dari mereka lebih memilih untuk mengabaikannya. Yang Lain itu ialah suara hati; dia merupakan manifestasi dari kebebasan berpikir serta berimajinasi tanpa dibatasi oleh aturan dan logika. Dia adalah sumber motivasi terdalam. Jiwa yang autentik; diri sendiri yang sebenar-benarnya yang bersemayam di dalam jiwa setiap manusia tanpa mengenakan topeng. Selayaknya anak kecil yang polos, dia selalu meronta saat harus mengerjakan sesuatu yang tidak dikehendakinya. Dia selalu berhasrat untuk terus belajar, berpikir, beraktivitas, dan berkarya. Dia adalah potensi unik yang bersembunyi dan menunggu untuk diketemukan. Dia adalah pendorong seseorang untuk memenuhi panggilan jiwanya.
Panggilan jiwa. Manakala seseorang kali pertama mendengar dan mengikuti panggilan jiwanya, dia pasti akan mendapati sebuah jalan mulus tak berliku. Jalan yang tampaknya mudah untuk dilalui; jalan yang seolah akan menuntun mereka pada kebahagiaan dan kesuksesan—mereka biasa menyebut itu sebagai keberuntungan pemula. Namun nyatanya tak pernah ada kebahagiaan tanpa kemalangan, dan tidak ada kesuksesan tanpa berharap kegagalan. Jalan mulus itu pun berlahan berubah menjadi sebuah jalan terjal nan suram. Jalan yang menuntun mereka pada kegagalan demi kegagalan, dan serasa semakin menyakitkan jika terus melangkah di jalan tersebut. Pada fase inilah kebanyakan dari mereka mulai mengabaikan suara hatinya, dan lebih memilih mendengarkan suara-suara orang lain yang tak ada sangkut pautnya.
Semua orang memang selayaknya mendengarkan nasihat dan pendapat orang lain. Semua orang juga haruslah mempelajari ilmu dan belajar dari pengalaman orang lain. Namun jangan pernah terpaku pada hasil dari jerih payah orang lain. Sebab sebesar apapun seseorang mencoba berjalan dijalan milik orang lain, dia tak akan pernah benar-benar bisa menjadi orang tersebut.
Sangat penting artinya bagi Lisette untuk dapat memahami dirinya sendiri. Untuk bisa memilah mana yang selayaknya diambil untuk dipelajari lebih dalam, dan mana yang sepatutnya pantas untuk diabaikan. Dan saat ia tersesat, bimbang, ragu, atau pun frustasi, ia selalu mendengarkan apa yang suara hatinya katakan kepadanya. Kemudian—bagai suatu mujikzat—ia menemukan solusi bagi permasalahan itu.
Lisette juga memahami kegagalan yang dialaminya sebagai jalan yang memang pantas untuk ditempuh. Sebab suara hatinya selalu menginginkannya untuk mencoba semua jalan yang terbentang dihadapannya. Suara hatinya tak pernah mengatakan: “jangan,” atau “berhenti,” atau “tidak.” Tapi selalu mengatakan: “coba saja,” atau “lakukanlah.” Semata karena suara hati memahami benar makna dari sebuah pencapaian. Pencapaian tidaklah pernah bisa diraih tanpa mengenal kerja keras, pengorbanan, ujian-ujian berat, serta kegagalan.
Layaknya seorang pianis yang mengalunkan melodinya dari atas sebuah panggung dan disaksikan oleh ribuan pasang mata. Pianis itu tak menggunakan logika saat memainkan pianonya. Ia juga tidak memiliki aturan-aturan khusus. Yang ada di dalam benaknya hanyalah ia bermain piano karena itu adalah panggilan jiwanya. Ia memainkannya sebab jiwanya turut bersenandung bersamanya; untuk mengisi jiwa-jiwa lain yang juga menikmatinya; dan demi alam semesta yang telah membimbingnya.
Jiwa adalah bagian dari alam semesta, dan suara-suara dalam hati adalah bagian dari jiwa-jiwa. Memercayai suara di dalam jiwa berarti juga memercayai akan adanya keajaiban-keajaiban. Keajaiban melalui bimbingan jiwa-jiwa—melalui alam semesta yang senantiasa datang memandu. Memercayai suara yang berasal dari dalam hati, memahaminya sebagai bahasa-bahasa intuisi, meyakini akan bakat yang bersemayam di dalam diri.
*
Diubah oleh redxiv 28-04-2017 02:59


anasabila memberi reputasi
1
1.2K
Kutip
7
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan