toruwijayaAvatar border
TS
toruwijaya
Investigasi Allan Nairn: Ahok Hanyalah Dalih untuk Makar


>Allan Nairn menyisir kaitan Prabowo, SBY, Hary Tanoe dan Donald Trump di balik Aksi Bela Islam
>Allan Nairn menujukkan keterlibatan para jenderal aktif maupun pensiunan, termasuk yang ada di kubu Jokowi

Investigasi tentang persekutuan para jenderal mendongkel Jokowi lewat kasus Al-Maidah.

tirto.id - Rekan-rekan Donald Trump di Indonesia telah bergabung bersama para tentara dan preman jalanan yang terindikasi berhubungan dengan ISIS dalam sebuah kampanye yang tujuan akhirnya menjatuhkan Presiden Joko Widodo. Menurut beberapa tokoh senior dan perwira militer dan intelijen yang terlibat dalam aksi yang mereka sebut sebagai "makar", gerakan melawan Presiden Jokowi diorkestrasi dari belakang layar oleh beberapa jenderal aktif dan pensiunan.

Pendukung utama gerakan makar ini termasuk Fadli Zon, Wakil Ketua DPR-RI dan salah satu penyokong politik Donald Trump; dan Hary Tanoesoedibjo, rekan bisnis Trump yang membangun dua Trump Resort, satu di Bali dan satu di dekat Jakarta (di Lido, Jawa Barat).

Laporan tentang gerakan menjatuhkan Presiden Jokowi ini disusun berdasarkan sejumlah wawancara dan dilengkapi dokumen dari internal tentara, kepolisian, dan intelijen yang saya baca dan peroleh di Indonesia, juga dokumen Badan Keamanan Nasional AS (NSA) yang dibocorkan Edward Snowden. Banyak sumber dari dua belah pihak yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya. Dua dari mereka mengungkapkan kekhawatiran atas keselamatan mereka.

Usaha Makar
Protes besar-besaran muncul menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017. Mereka menuntut petahana Gubernur Jakarta Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dipenjara atas tuduhan penistaan agama. Dengan pendanaan yang baik dan terorganisir, demonstrasi berhasil mengumpulkan ratusan ribu di jalanan Jakarta.

Dalam perbincangan dengan tokoh-tokoh kunci gerakan perlawanan terhadap Ahok, diketahui kasus penistaan agama ini hanya dalih untuk tujuan yang lebih besar: menyingkirkan Joko Widodo dan mencegah tentara diadili atas peristiwa pembantaian sipil 1965—pembunuhan massal oleh militer Indonesia dan didukung pemerintah AS. Aktor utama dalam 'serangan pembuka' yang berperan sebagai penyuara dan pendesak adalah Front Pembela Islam (FPI), yang diketuai Rizieq Shihab. Bersama Rizieq, dalam rantai komando, ada juru bicara dan Ketua Bidang Keorganisasian FPI, Munarman, serta Fadli Zon.

Munarman, yang sempat terekam hadir dalam pembaiatan massal kepada ISIS dan Abu Bakar al-Baghdadi, adalah pengacara yang bekerja untuk Freeport McMoran, yang saat ini dikendalikan oleh Carl Icahn, sahabat Donald Trump. Meski koneksi Trump tampak penting dalam plot makar ini, belum diketahui apakah Trump atau Icahn punya hubungan langsung. Sementara Munarman tidak menanggapi permintaan komentar untuk artikel ini.

Arsip Edward Snowden menyimpan banyak dokumen terkait FPI. Termasuk di dalamnya dokumen yang menuliskan bahwa kepolisian Republik Indonesia tak berani menangkap FPI karena takut serangan balik, dan dokumen lain yang memaparkan FPI adalah cabang dari Jemaah Islamiyah, jaringan jihad yang terlibat dalam Bom Bali tahun 2002, dan dokumen pengiriman senjata api dari Kepolisian Republik Indonesia untuk latihan anggota FPI Aceh. NSA dan Gedung Putih tak merespons tulisan ini.

Sementara gerakan protes besar-besaran yang digelar FPI berlangsung selama enam bulan terakhir, saya mendapatkan informasi yang rinci dari lima laporan internal intelijen Indonesia. Laporan-laporan itu disusun oleh tiga agen pemerintah Indonesia. Seluruhnya dikonfirmasi oleh sedikitnya dua tokoh militer, intelijen, atau staf istana.

Salah satu laporan menyatakan bahwa gerakan ini sebagian didanai Tommy Soeharto—anak diktator Soeharto—yang pernah masuk bui gara-gara menembak mati hakim yang memvonisnya bersalah. Sumbangan finansial Tommy juga diakui oleh Jenderal (Purn) Kivlan Zen. Kivlan sendiri, yang membantu FPI memimpin protes besar-besaran di Jakarta pada November 2016, sedang menghadapi ancaman penjara dengan tuduhan makar. Ia juga bekas pemimpin tim kampanye Prabowo dalam pemilu 2014.

Laporan lain menyatakan sebagian dana berasal dari Hary Tanoe, miliuner rekanan bisnis Donald Trump. Para tokoh penting gerakan protes itu—beberapa di antaranya saya temui pada Jumat silam (14/4)—berkali-kali menekankan kepada saya bahwa Hary adalah salah satu pendukung mereka yang terpenting. Mereka berharap Hary dapat jadi penghubung antara Prabowo dan Trump.

Manimbang Kahariady, seorang pejabat Partai Gerindra, mengaku ia berjumpa Hary tiga hari sebelum pertemuan kami. Ia dan tokoh-tokoh gerakan yang lain yakin bahwa Hary memberitahu Trump mengenai pentingnya mendukung mereka dan menyingkirkan lawan-lawan mereka, dan itu dimulai dari Ahok.

Tommy Soeharto tak dapat dihubungi untuk dimintai keterangan. Harry Tanoe menolak berkomentar.

Laporan ketiga menyatakan sebagian dana gerakan FPI berasal dari mantan presiden dan Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—informasi yang membikin jengkel Presiden Jokowi ini terbongkar kepada khalayak dan kemudian ditanggapi SBY dalam mode marah. SBY langsung menyatakan itu dusta belaka dan pemerintah telah menjahatinya dengan cara menyadap teleponnya.

Tujuh staf intelijen/militer aktif dan pensiunan menyatakan kepada saya bahwa SBY memang menyumbang untuk aksi protes FPI, tetapi menyalurkannya secara tidak langsung. Salah satu informan tersebut adalah Laksamana (Purn) Soleman B. Ponto—bukan pendukung gerakan makar—mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dan penasihat aktif Badan Intelijen Negara (BIN). "SBY menyalurkan bantuannya lewat masjid dan sekolah," kata Soleman.

Hampir semua pensiunan tentara dan sebagian tokoh militer, menurut Soleman, mendukung tindakan SBY tersebut. Ia mengetahui hal ini karena—selain keterlibatannya di dunia intelijen—jenderal-jenderal pro makar adalah rekan dan kawan-kawannya, banyak di antara mereka berhimpun dalam grup WhatsApp "The Old Soldier".

Menurut Soleman, para pendukung gerakan makar di kalangan militer menganggap Ahok cuma pintu masuk, gula-gula rasa agama buat menarik massa.

"Sasaran mereka yang sebenarnya adalah Jokowi," katanya.

Caranya tentu bukan serangan langsung militer ke Istana Negara, melainkan "kudeta lewat hukum", mirip-mirip kebangkitan rakyat yang menggulingkan Soeharto pada 1998. Hanya, kali ini publik tidak berada di pihak pemberontak—dan tentara nasional Indonesia, alih-alih melindungi Presiden, lebih senang ikut menggerogotinya.

"Makar ini bakal kelihatan seperti pertunjukan People Power," ujar Soleman. "Tetapi karena semuanya sudah ada yang mengongkosi, militer tinggal tidur," dan presiden sudah terjengkang saat mereka bangun.

Skenario lain: Aksi-aksi protes yang dipimpin FPI bakal menggelembung kelewat besar, membikin Jakarta dan kota-kota lain kacau-balau, lalu militer datang dan menguasai segalanya atas nama menyelamatkan negara. Kemungkinan penuh kekerasan ini dibicarakan secara rinci oleh Muhammad Khaththath, Sekjen Forum Umat Islam, dan Usamah Hisyam saat saya bertemu mereka Februari lalu (Usamah adalah penulis biografi SBY berjudul SBY: Sang Demokrat).

Lebih dari urusan keagamaan, menurut mereka, masalah terbesar Indonesia saat ini adalah komunisme gaya baru, dan militer harus siap turut campur dan menggembalakan keadaan karena Indonesia belum cukup dewasa untuk demokrasi. Jokowi, kata mereka, menyediakan lahan bagi komunisme dan satu-satunya organisasi yang cukup kuat buat menghadapi komunisme ialah tentara nasional.

Mereka mengaku sudah punya daftar orang-orang komunis di Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah yang mereka incar. Di lapangan, mereka mengikuti panduan taktik dan strategi dari seorang jenderal antikomunis yang bekerja bersama mereka. Tentara hanya mungkin ikut campur bila ada kekacauan. Dalam keadaan damai, mereka tak dapat berbuat apa-apa.

Khaththath dan Usamah berkata kepada saya bahwa mereka tidak menginginkan pertumpahan darah. Mereka ingin kudeta damai, tetapi juga menekankan, dalam beberapa pekan ke depan, bakal ada revolusi oleh umat. Istana ketakutan, kata mereka.

Setelah Khaththath ditangkap polisi dengan tuduhan makar, Usamah mengirimkan pesan kepada saya bahwa kini ia mengambil kendali perjuangan di lapangan—sebagaimana peran Khattath setelah imam besar FPI Rizieq Shihab digembosi skandal seks dan masalah-masalah lain.

1965, Lagi
Segera setelah wawancara kami selesai, saya menerima dokumen dari seorang perwira militer, yang bisa dianggap sebagai template untuk komentar-komentar Khaththath dan Usamah tentang aksi-aksi jalan. Berjudul “Analisis Ancaman Komunis Gaya Baru di Indonesia”, dokumen ini ialah rangkaian salindia powerpoint yang digunakan sebagai materi pelatihan ideologis di tangsi-tangsi militer seantero Indonesia.

Komunisme Gaya Baru, disingkat KGB, adalah sebuah konsep yang mengisahkan ancaman komunis melalui cerita-cerita tentang sosok Stalin, Pol Pot, dan Hitler—dan tampaknya ancaman ini cukup luas sampai-sampai mencakup siapa pun yang mengkritik TNI.

Mengacu pada kebijakan yang dituding berwatak komunis seperti “program kesehatan dan pendidikan gratis,” dokumen itu mencela “pluralisme dan keragaman dalam sistem sosial” sebagai ancaman khas “KGB” yang sedang pasang di Indonesia. Dengan menggunakan teknik penilaian ancaman (threat assessment techniques) yang diambil dari nukilan-nukilan doktrin dan teks intelijen Barat—kadang ditulis dalam bahasa Inggris—dokumen ini memperingatkan kaum komunis “sedang memisahkan tentara dari rakyat” dan “memanfaatkan isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi, seraya memosisikan diri sebagai korban demi meraih simpati.”

Pernyataan tentang korban-korban pelanggaran HAM jelas merujuk pada tokoh-tokoh seperti Munir Said Thalib, teman saya, seorang pembela keadilan sosial yang brilian, yang dibunuh pada 2004 dengan dosis besar arsenik yang menyebabkan ia muntah sampai mati dalam sebuah penerbangan ke Amsterdam; atau korban pembantaian 1965 yang berjumlah sekitar satu juta warga sipil, yang dibunuh oleh tentara dengan dukungan AS dalam rangka mengonsolidasikan kekuasaan setelah percobaan kudeta.

Ihwal pembantaian 1965 muncul ketika saya berbincang dengan Jenderal (Purn) Kivlan Zen, yang mengatakan jika Jokowi menolak tunduk pada keinginan tentara, taktik serupa bisa dikerahkan lagi.

Sebagaimana banyak pejabat yang sempat berbincang dengan saya, Kivlan menyatakan gerakan jalanan yang didukung tentara dan krisis saat ini buntut dari Simposium 1965, yang memungkinkan penyintas dan keturunan korban '65 untuk membicarakan secara terbuka atas apa yang telah menimpa mereka dan menceritakan bagaimana orang-orang yang mereka cintai meninggal.

Bagi sebagian besar tentara, simposium itu adalah kekurangajaran yang tak bisa diterima dan dengan sendirinya menjustifikasi gerakan kudeta. Seorang jenderal mengatakan kepada saya, yang paling membuat marah rekan-rekannya adalah karena simposium itu “menyenangkan korban.” Simposium itu, tentu saja, tidak ada hubungannya dengan Gubernur Ahok atau persoalan agama mana pun, melainkan soal tentara dan kejahatannya.

“Kalau bukan karena Simposium itu, gerakan seperti sekarang ini tidak akan ada,” kata Kivlan. “Sekarang komunis sedang bangkit lagi,” keluh Kivlan. ”Mereka ingin mendirikan partai komunis baru. Para korban '65, mereka semua menyalahkan kami.... Mungkin kita akan lawan mereka lagi, seperti tahun '65.”

https://tirto.id/investigasi-allan-n...tuk-makar-cm2X


liberal tercerahkan indonesia mau dibantai kaya komunis 65 sama bos bos dan jendral emoticon-Big Grin


bersambung dikit di bawah
DeadYouRockStarAvatar border
DeadYouRockStar memberi reputasi
2
5.4K
45
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan