Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

heaven.aboveAvatar border
TS
heaven.above
Jualan Politik Basuki-Djarot Lebih Berkelas
Rabu, 5 April 2017 | 10:47 WIB


INILAHCOM, Jakarta - Juru Bicara pasangan Basuki-Djarot, Ansy Lema, mendesak KPUD DKI dan Bawaslu sebagai lembaga penyelenggara pemilu segera mengambil tindakan tegas terhadap setiap bentuk pola-pola kampanye yang dengan sengaja mengeksploitasi sentimen agama, yang terbaru adalah adalah aksi politisasi masjid yang dilakukan Eep Saefulloh Fatah, konsultan politik pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Ansy menilai apa yang dilakukan Eep seperti yang terekam dalam sebuah video yang baru-baru ini menjadi viral di media sosial, telah menciderai demokrasi dan memiliki konsekwensi hukum karena secara terang-terangan menggunakan rumah ibadah sebagai sarana kegiatan politik.

Dalam video berdurasi 3 menit 40 detik itu, Eep secara terang-terangan menyebut masjid sebagai tempat kampanye untuk meraih kemenangan. Ia meniru strategi kemenangan Partai FIS/ Partai Front Keselamatan Islam ( al-jabhah al-islamiyah lil-inqadh ) di Aljazair yang berhasil memenangkan pemilu dengan menggunakan masjid sebagai alat propaganda politik. Menurut Eep dalam video itu, partai FIS sebenarnya bukan partai dengan jaringan yang kuat, tidak memiliki tokoh-tokoh berpengaruh yang tersebar di berbagai daerah bahkan pendanaannya pun biasa-biasa saja.

Namun sejumlah khotib, ulama dan ustadz yang mengisi kegiatan di masjid, terutama ketika salat Jumat, tidak hanya menyerukan ketakwaan, tetapi dilanjutkan dengan seruan politik. Hal itu terus berlanjut hingga hari pencoblosan. Cara partai FIS inilah yang ditiru oleh konsultan politik Anies-Sandi itu sebagai senjata pamungkas untuk mengalahkan Ahok di Pilkada DKI Jakarta.

Ansy khawatir jika hal ini didiamkan saja oleh lembaga penyelenggara pemilu, maka model kampanye seperti itu akan diikuti oleh daerah-daerah lain, mengingat Jakarta sebagai barometer politik di Indonesia. Mendiamkan, menurut Ansy, sama artinya dengan membiarkan praktek-praktek yang menghalalkan segala cara untuk memenangi sebuah kompetisi.

"Ini seharusnya sudah harus ditindak lanjuti oleh penyelenggara pemilu. Kalau pembiaran ini dilakukan, seolah-olah masyarakat merasa bahwa ini praktek yang benar, padahal aturan itu secara tegas, jelas dan lugas mengatakan bahwa rumah ibadah itu tidak bisa dijadikan tempat berkampanye," tegas Ansy di Jakarta, Rabu (5/4).

Apa yang dilakukan Eep itu, lanjut Ansy, otomatis memperlihatkan kepanikan kubu Anies-Sandi, karena merasa tidak mampu bersaing secara sehat dengan beradu gagasan yang sifatnya konseptual.

"Pihak yang menggunakan isu agama untuk berkampanye sebenarnya membuktikan dia tidak punya kepercayaan diri dan kemampuan untuk bersaing dari sisi rekam jejak, visi, misi dan program kerja. Karena kalau dia mampu, mestinya yang didorong adalah kontestasi program, jadi perdebatan yang sifatnya programatik, bukan perdebatan yang mengeksploitasi sentiment sara," kata pria yang juga adalah seorang dosen FISIP di UNAS itu.

Meski menyayangkan masih dipergunakannya isu-isu SARA sebagai bahan jualan politik, namun dengan kemunculan video tersebut, Ansy menggarisbawahi adanya sebuah perbedaan kelas yang tegas antara bentuk-bentuk kampanye yang digunakan pasangan Basuki-Djarot dan Anies-Sandi. Menurut Ansy, bagi Basuki-Djarot, yang utama dalam sebuah kontestasi politik adalah edukasi dan literasi politik kepada masyarakat bukan semata-mata urusan menang atau kalah.

"Jualan politik Basuki-Djarot adalah barang yang berkelas yaitu berupa rekam jejak, visi misi dan program kerja. Kami (kubu) Basuki-Djarot sangat anti dan pantang menggunakan atau mengeksploitasi sentimen SARA, khususnya agama untuk sekedar mendapatkan kekuasaan," tegasnya.

Ansy menambahkan, pasangan Basuki-Djarot selalu mengedepankan akal sehat dalam berpolitik. Meski beragama Kristen dan keturunan Thionghoa, namun dalam setiap kesempatan pertemuan di hadapan komunitas Kristen-Tionghoa misalnya, Ahok tidak pernah meminta mereka memilih seorang pejabat publik berdasarkan kesamaan identitas, melainkan berdasarkan rekam jejaknya sebagai tolak ukur.

"Pak Ahok selalu mengatakan, kalian semua jangan memilih saya semata karena saya ini adalah seorang Kristen atau seorang keturunan Tionghoa, padahal ada calon lain yang sebenarnya dari segi kepemimpinan, rekam jejak, visi misi dan program kerja lebih baik dari saya. Tetapi pak Ahok katakan juga, kalau tidak ada yang lebih baik dari parameter-parameter itu, ya anda harus memiliki Basuki-Djarot. Nah ini sebenarnya bentuk apresiasai terhadap rasionalitas atau politik akal sehat dalam demokrasi ini," pungkasnya. [rok]

http://nasional.inilah.com/read/deta...lebih-berkelas

Eep Saefuloh sudah ketularan wabah ontanisasi, gara-gara kumpul bareng ......."you know who".
0
4.4K
70
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan